webnovel

Kecurigaan

“Dari mana kau tahu aku di sini?” Soa mengalihkan pembicaraan seraya mengambil posisi kembali duduk.

“Aku barusan ke restoranmu, Gensi bilang kau sedang kesini untuk beristirahat,” jawab Zoe ikut menyusul Soa lungguh sampingnya. “Aku, Dori dan Hanna sangat terkejut mengetahui soal Ken. Lantas apa rencanamu sekarang?”

Gadis itu tertunduk lemas. “Apa lagi, kalau bukan menerima nasib.”

Dahi Zoe mengerut, tatapannya semakin serius. “Kapan mereka akan membawa Ken ke luar negeri?”

Soa mengangkat bahunya. “Kami tidak tahu. Mereka sama sekali melarang kami untuk mencari tahu. Bahkan sekedar untuk menanyakan kabar Ken pun kami tidak diperbolehkan.”

“APA!”

“Ya. Yang aku takutkan kini terjadi. Bibi Molly memutus hubungan Ken dengan keluarga kandungnya.”

Zoe meraung geram, terpicu meluapkan kekesalan. “Akhh! Apa hati wanita tua itu terbuat dari batu?! – meski dia mengadopsi Ken, tapi dia tidak berhak memisahkan Ken dengan kalian. Aku tidak menyangka bibi Molly diam-diam punya sisi kejam begitu!”

Soa tertegun mengamati Zoe. Mendengar amarahnya membuat ia teringat, bahwa ia tidaklah sendirian.

“Kenapa?” Zoe melirik terheran-heran.

Tanpa ragu gadis itu langsung menepuk-nepuk bahu sang sahabat di sampingnya. “Terima kasih, atas kata-kata pembelaanmu. Tapi aku tidak ingin, suasana hatimu ikut buruk karena bibi Molly,” ucap Soa dengan suara yang terdengar lemah.

Zoe lantas menyahut layaknya jagoan. “Bahkan jika kau butuh bantuanku untuk menggunduli wanita itu, aku siap!”

Tawa Soa pun langsung saja membuyar. “Apa kau yakin?”

“Yaaa. Meski setelahnya aku akan bersembunyi seperti kucing yang takut air.”

Soa pun semakin tenggelam dalam kolam tawa yang dibuat oleh Zoe.

Sungguh, Zoe menjadi orang kedua yang mampu menghiburnya. Lelucon Zoe, juga senda gurau Arandra, seperti penerang bagi gelapnya perasaan Soa.

Barangkali itulah yang disebut fungsi seorang teman. Mereka menjadi energi senang di dalam kesedihan. Hiburan dari mereka seperti kain pel basah yang sudah wangi dan siap membersihkan segala jenis kotoran bernama duka. Meski mungkin, lantai hati yang sudah bersih bisa kembali muncul noda. Namun sejenak saja bisa merasakan kebersihannya, itu sama dengan memberi waktu bagi sang bahagia menari di atasnya. Kalau sudah begini, pasti ada yang bagian yang merasa lebih baik.

“Kau tidak ingin minum sesuatu?” tanya Soa sebelum melanjutkan obrolan mereka.

Akan tetapi Zoe sama sekali tak merespons. Ia terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya. Raut muka lelaki tambun dengan potongan rambut model mangkok itu sungguh jelas menarik perhatian bagi Soa. Samar-samar tergambar bahwa ada hal yang ingin Zoe ungkapkan, tetapi lelaki itu juga terlihat kehilangan arah, buah dari perasaan ragu yang Soa duga sedang berkuasa.

‘BUKK’ Soa meninju lengan Zoe hingga membuat lelaki itu tersentak.

“Katakanlah, aku siap mendengarkan!” susul gadis itu terasa sangat memahami.

Zoe pun sampai menganga memandang Soa yang telah menawarinya bercerita terbuka. “Wah, kau semakin ahli membaca ekspresi wajah.”

“Jelas saja. Ini salah satu senjata pentingku melawan Gensi.”

Lelaki itu seketika mendengus dengan senyum kecil disusul geleng-geleng kepala mendengar pengakuan sahabatnya. Merasa mendapat peluang, Zoe pun tergerak untuk meyakinkan diri namun tetap berhati-hati menata kata.

“Hmm... begini Soa, aku merasa masih ada yang aneh dengan sikap menyerah orang tuamu.”

“Aneh bagaimana?” sahut Soa

“Apakah menurutmu keputusan ini sudah cukup adil untuk keluargamu? Hutang ayahmu untuk restoran itu menurutku tidak seberapa jika dibanding dengan Ken.”

Soa pun membuang nafas pasrah. “Tidak ada yang adil di sini Zoe. Ken orang yang paling berkorban di antara kami. Sayangnya, kami tidak bisa berbuat apa-apa.”

Zoe masih merasa tak tenang. “Apakah kau pernah melihat orang tuamu melakukan perlawanan atas permintaan bibi Molly?” sekarang ia malah lebih terdengar menyelidik.

Sahabatnya pun mencoba mengingat-ingat. “Aku tidak tahu banyak, apa saja yang ayahku lakukan untuk mengubah keadaan kami. Yang aku tahu, semenjak hutang itu hampir jatuh tempo dia memang jarang pulang. Ibu bilang, Ayah sedang sibuk mencari bantuan ke temannya yang lain. Oh ya, kau pasti juga ingat, aku pernah diminta Ayah untuk bernegosiasi langsung dengan bibi Molly agar ia mau memberi kami waktu. Sayangnya, aku gagal.”

Zoe masih belum puas, pikirannya masih memberi ruang untuk ia tunduk pada praduga. “Tapi yang aku rasa, orang tuamu menyerahkan anak kandungnya begitu saja tanpa perlawanan keras. Bahkan mereka bisa menerima keputusan bibi Molly yang berniat membawa Ken ke luar negeri dan ingin komunikasi kalian terputus.”

Soa sangat terkejut mendengar ungkapan Zoe. Benaknya keberatan, ingin mematahkan pendapatnya yang terkesan menyudutkan. Tetapi juga heran, kenapa Zoe harus mengatakan hal seperti itu kepadanya.

“Apa maksudmu, Zoe? Aku sudah mengatakan ditelepon pada kalian, bukan? Kondisi kami sangat sulit untuk memilih. Bibi Molly tidak ingin memberi waktu lagi, kami akan kehilangan segalanya jika tidak menyerahkan Ken. Jika hidup kami bertambah susah, itu sama saja membuat Ken ikutan sengsara. Jadi orang tuaku berpikir, masih lebih baik jika Ken tinggal bersama mereka.”

“Yaa. Aku paham soal itu. Tapi yang aku tahu proses adopsi tidak sesingkat ini, Soa. Bukankah ini terlihat seperti pengambilan paksa? Aku yakin ayahmu memahami bahwa dia bisa saja melaporkan bibi Molly ke polisi. Sayangnya dia tidak melakukannya. – maaf, aku hanya merasa masih ada yang janggal di sini.”

“Janggal? Bicaralah lebih jelas. Jangan bertele-tele.” Soa semakin kesulitan membaca, apa dasar dari setiap kalimat Zoe yang tercetus.

Begitu dalam sorot mata sahabat lelakinya itu berusaha menembus dinding pertahanan Soa.

“Yang kubahas di sini hanyalah tentang orang tuamu, Soa. Pilih satu jawaban yang tepat untukku berdasarkan penilaianmu. Tak peduli itu benar atau salah. Karena penilaianmu hanya akan menjadi bahan pertimbangan kecil untukmu sebelum memilih, tindakan paling baik mana yang mau kau ambil,” Zoe terdengar begitu tegas.

Soa yang tergeming, sedikit pun tak mampu berpaling dari keseriusan sahabatnya.

“Ayah ibumu–mereka tidak bisa! melakukan apa pun untuk mengubahnya? Atau mereka memang tidak ingin! mengubahnya?”

Tidak bisa atau tidak ingin, dua kata bertolak belakang itu amat ditekankan oleh Zoe di hadapan Soa, membuat otak gadis itu ikut terangsang untuk menguliknya.

“Kenapa kau bertanya begitu, Zoe? Kau membuatku cemas,” ucapnya belum menemukan jawaban tepat.

Zoe menarik nafasnya dalam-dalam. “Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir apa lagi berprasangka buruk kepada orang tuamu, Soa,” katanya meluruskan. “Tapi menurutku, tidak mustahil–ada kesepakatan lain di antara orang tuamu dan bibi Molly yang lebih menguntungkan daripada sekedar pelunasan hutang.”

Soa merasa langsung dihunus oleh tajamnya pendapat yang lahir dari pikiran Zoe. Gadis itu mendadak hilang akal. Pikirannya memburu ingin mencari tahu. Suara-suara prasangka menggema berasal dari keyakinan dan keraguan yang saling bertabrakan.

Soa yakin orang tuanya tidak mungkin tega melakukan hal yang melampau batas hingga mengorbankan anaknya. Akan tetapi ucapan Zoe yang telah merasuk, berhasil membuatnya merasa ragu, kesulitan membantah segala kecurigaan karena hal itu bisa di terima logikanya.

“Kau harus mencari tahu, Soa.” Kalimat Zoe kembali masuk di tengah perasaan Soa yang masih kusut. Gadis itu balik mengamati sahabatnya. “Kau harus mencari tahu kebenarannya lebih dulu. Dan semoga pendapatkulah yang keliru di sini.”