webnovel

Gaun Mewah

Lima menit kemudian.

“Kalian sudah datang,” seorang pria berusia sekitar empat puluhan muncul menyapa mereka. Potongan rambutnya agak gondrong menyentuh telinga. Gaya pakaiannya terlihat lebih santai serta sederhana. Kemeja biru mudanya serasi dipadukan dengan celana jeans dan sepatu kulit cokelat. “Kau pasti yang bernama Soa. Perkenalkan, aku Teddy,” sapanya sambil mengulurkan tangan.

Gensi yang sebelumnya terpatri pada pakaian indah di depannya langsung teralih perhatian. Ia berjalan cepat menghampiri Soa dan pria itu. Edzard yang sedang duduk di sofa bersama Ken juga sampai menarik tangan anak itu untuk bisa mendekat pada Teddy yang baru pertama kali dilihatnya. “Kau Teddy Kors? perancang busana terkenal itu?” Edzard tak dapat menutupi sikap antusiasnya.

Pria itu tersenyum malu-malu. “Terima kasih sudah mengenalku,” balasnya sopan.

“Wah. Jadi kami akan mengenakan rancanganmu?” tambah Gensi.

Teddy mengangguk tanpa lepas dari senyumnya. Ia lalu memanggil seorang asisten dan memberi perintah untuk mengatur karyawan lain agar segera membantu Gensi, Edzard, dan Ken untuk memilihkan pakaian yang cocok untuk mereka kenakan pada acara makan malam. Terkhusus untuk Soa, ia akan menangani gadis itu secara langsung.

Begitu girangnya hati Gensi dan Edzard bisa merasakan pelayanan yang luar biasa dari seorang Teddy Korz. Sosok yang hanya dilihatnya melalui layar televisi selama ini. Tak lupa pasangan suami istri itu berfoto bersama dengan Teddy dan memajangnya di sosial media mereka masing-masing. Soa yang mendapati tingkah kedua kakaknya tak dapat berkata apa pun dan hanya bisa geleng-geleng kepala merasa risi.

Dua jam kemudian.

Soa bukan saja mendapatkan gaun yang indah, akan tetapi ia juga mendapatkan perias wajah yang andal. Entah kenapa kenyamanan yang tidak semua orang mudah mendapatkannya itu, justru malah membuat batinnya merasa tidak enak. Soa bertanya-tanya dalam diri, “apa persiapan seperti ini memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga Jorell, apa bila mengadakan acara makan malam? Kalau iya, jelas orang-orang kaya itu sangat senang repot dan membuang uang. Atau ... apa sebetulnya Bibi memiliki rencana lain? Persiapan ini begitu istimewa kalau hanya untuk sebuah makan malam biasa.” Tiba-tiba Soa jadi teringat kembali dengan ancaman wanita itu, dan sangat amat menakutkannya jika Molly sampai berbuat semena-mena. Akh! Semakin dipikirkan ia merasa perutnya jadi mual, mungkin itu akibat dari ketakutan di dalam dirinya yang semakin berkecamuk.

“Sempurna,” begitu seruan Teddy Kors saat melihat hasil kerja kerasnya bersama tim untuk mempercantik Soa selesai dilakukan.

Soa sedikit berjalan mengarah pada sebuah cermin besar di dekatnya. Rasa penasaran menggoda untuk melihat seperti apa sentuhan seorang Teddy Kors baginya. Memekur gadis itu kala melihat diri sendiri. Ia terkesima oleh penampilannya, mengenakan gaun elegan berbahan sutra satin yang jatuh dan lembut, dan bawahannya bergelombang seperti lari ombak biru menuju tepi. Warnanya merah tua, dengan model bahu terbuka. Rambutnya yang dibuat ikal ditambah hiasan bando dengan sedikit rangkaian bunga. Juga tak lupa, anting-anting berlian yang memantulkan cahaya menempel di cuping telinga.

Riasan wajah Soa terkesan kuat bersama pewarna bibir yang senada dengan bajunya. Soa bahkan sampai tak mengenali dirinya sendiri, dan justru penampilannya mengingatkannya kepada keanggunan seorang perempuan bernama Molek.

“Kau sangat cantik Soa,” puji Teddy membuyar lamunan gadis itu.

Soa hanya terdiam, tak peduli dengan pujian itu. Baginya yang terpenting adalah bagaimana ia bisa segera menyelesaikan malam ini karena riasan itu terlalu berat baginya, dan gaunnya juga sangat merepotkan jika berjalan.

“Kau sudah lama melayani Bibi Molly?” Soa justru mengatakan hal lain.

Teddy Kors mengangguk. “Dia pelanggan yang sangat penting untukku.”

“Oh, sangat penting,” balas Soa. Diam-diam merasa curiga dengan arti tersirat dari kata ‘sangat penting’ yang Teddy ucapkan. “Kalian pasti sudah saling mengenal lama.”

“Ya. Berkatnya aku bisa sukses seperti sekarang.”

“Oh ya?”

“Begitulah. Aku sangat berhutang budi padanya.”

Pikiran nakal semakin mengganggu di kepala Soa. “Dengan segala kesuksesan, kemewahan, dan popularitas yang Teddy Kors miliki. Mungkinkah dia satu sekutu dengan keluarga Jorell seperti ayah, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan itu semua? – Siapa? Siapa orang yang Teddy cintai untuk menjadi alat tukar pembayarannya? – Ah! Tidak-tidak. Tidak seharusnya aku berpikir seperti ini.” Buru-buru ia tepis segala prasangka negatif itu. Soa tidak mau berlama-lama diburu oleh hal yang menggema namun hanya sebatas kecurigaan pribadi semata. Ia memahami, tidak seharusnya pengalaman yang ia miliki membuatnya jadi berprasangka buruk pada setiap orang sukses yang ia temui.

Waktu telah mempertemukan Soa dengan malam, menjadi tanda saatnya tiba. Perasaan gadis itu semakin bercampur aduk. Takut dan waspada mendominasi hati. Mobil yang dikendarai memasuki pintu gerbang, ke sebuah rumah megah dengan pilar-pilar kokoh yang tak asing buatnya sekaligus menyimpan kenangan. Semakin mendekat rasanya Soa ingin turun dan berlari menghilang menembus kegelapan.

“Apa makan malam ini bukan hanya untuk kita?” Edzard bertanya ketika kebingungan memancingnya dengan pemandangan ramai. Satu persatu mobil mewah harus mengantre menurunkan pemiliknya untuk memasuki istana milik Molly.

“Hem, sepertinya begitu,” Gensi terdengar meragu.

Tibalah giliran anak-anak Mannaf turun dari mobil. Edzard memberikan kunci mobilnya kepada salah satu pelayan juru parkir yang sudah dipersiapkan. Lalu setelahnya dua orang penerima tamu menyambut mereka di depan pintu megah dan begitu sopan mempersilahkan mereka untuk masuk.

Ketika pintu telah dibukakan, betapa terkejutnya anak-anak Mannaf karena di dalam sudah ramai para tamu lebih dari yang mereka kira. Mereka jadi saling melempar pandangan, canggung sendiri harus bagaimana. Orang-orang itu terlihat berasal dari status sosial kelas atas. Menyebar membuat kelompok-kelompok kecil yang saling sibuk berbicara sambil menggenggam segelas minuman masing-masing. Selain puluhan tamu yang keluarga Mannaf lihat, terdapat pula sebuah panggung rendah dengan sekelompok musisi yang memainkan alat musik menjadi nada-nada yang terdengar amat menenangkan.

Sempat Edzard berbisik pada Gensi, “aku yakin kalau mereka adalah orang-orang berpengaruh di Denzel. Ini kesempatan kita memperluas pertemanan dengan golongan atas.”

Soa yang berdiri di belakang Edzard dan Gensi tidak sedikit pun melepas gandengan tangan Ken. Anak itu merasa asing sekali, yang dilihatnya hanyalah orang-orang dewasa berpakaian indah dan tidak ada satu orang pun yang seusia dengannya.

“Lihatlah, itu ayah!” dari jauh Edzard menemukan mertuanya berada di posisi paling dekat dengan panggung. Ia terlihat sedang asyik berbincang dengan Daiva dan Molly, Karen pun setia berada di sampingnya. “Ayo kita temui mereka,” lanjut Edzard mengajak.

Anak-anak Mannaf melangkah menapaki lantai aula megah di atas karpet merah. Berjalan beriringan menembus para tamu yang beberapa di antaranya memberi pandangan tertarik dengan kehadiran mereka. Soa bahkan menangkap ada yang berbisik sambil melihat ke arahnya. Entah apa yang mereka katakan, tetapi sungguh kejadian itu semakin membuat Soa digelayut perasaan risi. Ken tak suka sorot mata mereka, ia merasa persis seperti sedang di tatap Molly. Buatnya mereka manis ketika pertama kali berjumpa, namun akan berubah menyeramkan ketika seorang bocah tak mampu membalas harapan mereka.

“Kalian sudah datang,” Karen lebih dulu menyambut anak-anak Mannaf.

“Oh Soa, kau terlihat cantik sekali. Aku tidak salah memerintahkan Teddy untuk membantumu.” Molly tak segan memuji sekaligus membanggakan diri.

Batin Soa jadi tergelitik, “perintah? Bahkan sekelas Teddy Kors pun bisa diperintah oleh wanita yang kukira ibu rumah tangga biasa.” Lalu memberi senyuman tipis kepada Molly sebagai bentuk kepura-puraannya menerima dengan senang pujian itu.

“Selera istri anda memang sangat bagus Tuan Daiva,” Edzard mulai berani menjadi penjilat.