webnovel

Berhadapan Dengan Raja

Tersungging sebuah senyum terpuaskan dari bibir sang kakak. “Itu bagus, Dik. Kau memang yang paling bisa kuandalkan.”

Molly langsung melengos berniat meninggalkan Kalevi. Akan tetapi sebelum langkah kakinya menapak maju, teguran Kalevi seketika membuatnya tertahan.

“Seharusnya kau sudah puas hanya dengan penyerahan dirinya.”

Sama sekali Molly tak tersentil, wanita itu justru mendengus tersenyum lebar mendengarnya.

“Puas katamu? Tidak, Kal. Aku belum puas sebelum aku melihatnya merendahkan diri di hadapan uang. Aku ingin melihatnya memohon untuk tidak mencabut nyawanya, mengemis padaku untuk membiarkannya hidup lebih lama agar bisa terus menikmati surga yang kuberikan.”

Lalu dengan yakinnya Molly pergi membiarkan Kalevi kalah seorang diri.

Pria itu terduduk lemah, pandangannya mengarah pada langit-langit ruangan. Matanya sesaat terpejam, kerut di dahinya tampil di permukaan. Batin Kalevi merasa lelah, dalam diam menantikan kebebasan.

Momentum bersama Megha melintas di pikirannya. Saat di mana mereka menikmati hari berdua, dengan pakaian serasi, berkemeja putih dan celana denim biru.

Kalevi tak pernah bosan memandangi Megha, perempuan itu sungguh menawan baginya. Matanya bulat kebiruan, lesung pipi menghias pada senyuman yang selalu ia lukiskan. Rambut cokelatnya panjang terurai, harumnya tak pernah membosankan setiap kali ciuman lembut Kalevi mendarat di kepalanya. Sikap dan tutur lembut Megha tak pernah pudar. Selalu ada di tengah perjumpaan mereka.

Hari itu, di sebuah ruang santai yang nyaman dengan nuansa putih. Kalevi berbicara dengan penuh kesungguhan, untuk ke sekian kalinya ia berjanji akan menikahi Megha, bahkan ia rela jika harus menanggalkan nama Jorell di belakang namanya.

Megha begitu bahagia, karena ia tahu itu adalah cara satu-satunya mereka bisa bersama. Ia memberikan kesetiaannya, menunggu Kalevi melamarnya secara resmi.

“Sudah kukatakan kan, kalau aku akan menunggumu,” Megha tak kalah meyakinkan Kalevi.

“Ya, aku ingat. Tetapi aku masih ingin terus mengatakannya agar kau tidak lupa.”

Megha terbahak-bahak mendapati kecemasan Kalevi. “Kalau begitu ayo kita berfoto.”

“Hah? Untuk apa?”

“Ini kelima kalinya kau berkata ingin menikahiku. Di janjimu yang kelima ini, aku ingin kau menyimpan foto kita. Katakanlah jika kau akan menikahiku setiap melihatnya, dan dengarlah dengan telinga hatimu bahwa aku menjawab, ‘ya, aku masih di sini menunggumu melamarku’ kau mengerti anak baik?”

Ganti kini Kalevi yang dibuat terbahak-bahak.

Kalevi membuka matanya, ruang kerja yang merekam banyak pembicaraan penuh siasat ia dapati kembali. Megha sudah tak ada di sisinya, ia diam tertegun dalam.

Sesaat kemudian tangannya kanannya merayap, mengambil sebuah foto yang terpasang pada bingkai di dalam laci meja kerja.

Dipandanginya foto itu dengan wajah sendu. Foto yang diambil saat ia bersama dengan Megha. Mengenakan pakaian dan di ruang yang sama dengan kenangan janji kelima yang melintas di pikirannya. Duduk di sofa berdua dengan dua cangkir minuman dan kudapan di depan mereka.

Mata Kalevi berkaca-kaca. Ada kesan cinta mendalam yang dapat ditangkap rasa bagi siapa saja yang melihatnya.

“Tunggulah aku, Megha. Aku akan datang menjemputmu untuk menikahimu,” begitulah kata yang selalu terucap, setiap ia memandangi foto mereka bersama.

Hanya Megha yang menjadi tujuan Kalevi, meski ia harus mengorbankan harga diri untuk bisa menikahi.

***

Masih bergelut dengan amarah di dalam hatinya, Arandra nekat menemui sang raja. Ekspresinya keras tidak ada sedikit pun gambaran ketakutan yang menjadi bumbu. Pengakuan Soa menjadi guncangan hebat untuknya, memberi daya untuk melindungi meski dirinya lemah tak menggenggam perisai.

Pintu maligai itu terbuka. Hamparan ruangan luas membentang di depan mata. Langit biru di sertai awan putih menjadi atapnya. Dua pilar besar mengapit singgasana raja.

Tanpa ragu Arandra berjalan gagah, menjejaki lantai emas berkilau mendekati Raja Osbert yang terduduk dengan wajah dingin di kursi kekuasaannya.

Penampilan sang raja terlihat tua. Rambutnya telah memutih hingga ke kumis dan jenggotnya. Matanya biru tak kalah indah dengan Arandra. Tubuhnya tinggi tegap, ia tidak gemuk tetapi juga tidak kurus.

Tentu saja, perawakannya sekarang sangat mudah ia ganti semaunya. Bahkan lebih mudah dari manusia hidup yang mengganti pakaian. Mengubah diri menjadi pria muda dan menawan dapat Raja Osbert lakukan hanya dengan kekuatan supernatural yang ia miliki.

Mahkota dengan batu berlian dikepalanya dan jubah sutera yang lembut. Semua bisa begitu gampangnya menjadi topi bermerek dan jaket berbulu.

Dia penguasa tanpa belas kasihan, Grazian adalah permatanya. Siapa yang melawan, maka bersiaplah menerima hukuman di lembah ciptaannya yang kelam.

Raja Osbert beranjak dari duduknya. Terdiam berdiri menunggu Arandra melangkah semakin dekat. Dalam benaknya ia tak menduga, pria muda itu memiliki nyali untuk menemuinya.

“Apakah gadis itu yang membawamu kesini?” langsung saja Raja Osbert bertanya dengan terkaannya.

Arandra yang berdiri di bawah singgasana Raja tanpa ragu membenarkan. Dengan tegasnya ia meminta pihak kerajaan untuk melepaskan Soa. Namun tentu saja, permintaan Arandra hanya menjadi bahan tawa bagi sang raja.

“Apa kau sedang tidak sadar diri?” ejek Raja Osbert.

“Aku sadar sepenuhnya dengan permintaanku. Silakan kau hukum aku jauh lebih lama, asalkan jangan kau jadikan dia budakmu.”

Lagi-lagi Raja Osbert tergelak.

“Apa kau pikir kau sangat berarti untukku?” lanjut pria berkuasa itu.

Dan Perkataan Raja Osbert seketika membuat Arandra tertunduk lemah.

“Aku tahu kau pandai memikat manusia untuk takluk pada kekuasaanku, Arandra. Tetapi itu bukan berarti hanya kau satu-satunya yang ahli di sini.”

Sekejap Arandra langsung berlutut memohon. “Aku mohon Raja, jangan Soa,” pintanya dengan wajah pantas dikasihani.

Mata sang raja berbinar, tampak benar ia menikmati Arandra mengemis kepadanya. “Luar biasa. Hambaku bahkan rela berlutut untuk manusia yang sudah mencelakakan keturunanku.”

“Tapi itu bukan salahnya.”

“Diam, kau! Kalau bukan karena kau telah berjanji setia kepadaku pasti aku sudah memiliki rasa benci yang sama padamu karena sudah menghianati keturunanku!”

Bentakan Raja Osbert menampar perasaan Arandra.

“Dengarlah! Aku tidak akan membiarkan gadis itu lolos lagi! Jika kau ingin memintanya dariku, maka kau harus menemukan Sancho untukku!”

Arandra tergemap oleh syarat sang raja.

“Ya. Aku bersedia menukar gadis itu dengan keturunanku.”

Arandra terbangun dari berlututnya. “Itu permintaan yang mustahil, Raja!”

“Kalau begitu jangan harap aku mengampuni gadismu!”

Pertemuan Arandra dengan Raja Osbert sama sekali tidak membuahkan hasil. Keinginan sang raja bukanlah hal mudah yang dapat Arandra penuhi, ia sama sekali tidak tahu di mana Sancho berada, dan terlahir di keluarga siapa dia sekarang. Bahkan untuk tahu apakah Sancho telah terlahir kembali ke bumi pun, tidak.

Arandra merasa didorong untuk berputus asa, akan tetapi keteguhan dihatinya masih ada sisa. Dalam hati ia berjanji pada diri sendiri, apa pun caranya, apa pun itu, ia akan terus berusaha menggagalkan upacara pengorbanan jiwa Soa.

Dalam pikirannya hanya itu cara satu-satunya yang terlintas. Soa memang tidak bisa lepas dari jerat jiwa Raja Grazian, tetapi Arandra yakin, ia bisa menunda penyerahan jiwa Soa sebanyak waktu ia mampu.