"Hai juga..."
Hiro pun tersenyum segan ke arah Renji. "Maaf mengganggu waktunya, he he. Tapi aku benar-benar ingin lihat kondisi temanku," katanya. "Setidaknya saat kekacauan luar cukup dikatakan parah?"
Renji hanya mendengus pelan. "Baik, bicaralah," katanya sambil menepuk kepala Ginnan. "Aku juga akan ganti baju."
"Mn, oke."
Hiro langsung bersiul kala Renji sudah pergi. "Uhu~"
DEG
"K-Kau ini—brengsek sial, Hiro!" maki Ginnan sembari melepasi bathrobe-nya sekalian. Niat awalnya memang agar Hiro tidak menyangkanya malu-malu (sebagai sesama lelaki tentunya). Jadi dia pun langsung ganti baju, merapikan diri, dan mengabaikan segalanya. Sayang salah ... pria itu justru merona kala menatap beberapa kissmark Renji di tubuhnya.
Di bawah puting.
Di perut.
Lalu di bawahnya lagi—
Glek.
"Tahu tidak? Renji akan menghajarmu kalau dia tahu jenis muka itu," kata Ginnan ketus. Dia pun menyalakan hairdryer dengan tekanan penuh tenaga. Wuuunng~ wuuung~ wuung~ (Suaranya lembut namun mengalihkan debaran di dada Ginnan).
"Ha ha... Iyakah? Parah," kata Hiro.
"Hm."
"Walau aku mengakui, agak menyesal tidak memperhatikanmu lebih jeli sebelumnya," kata Hiro. "Soalnya badanmu ternyata bagus sekali... ehem..."
DEG
"Maksudmu apa, heh?"
"Ya, bisa jadi aku ingin menidurimu juga?"
DEG
"B-Bodoh! Hiro!" bentak Ginnan refleks. "Ingat kau sudah bertunangan, sinting ini!"
Hiro pun tertawa keras. "Tidak, tidak. Bercanda saja, Nan-kun," katanya pada akhirnya. "Ngomong-ngomong, aku benar-benar cemas. Yuka-chan juga titip salam agar kau bisa menghadapi pers nantinya," imbuhnya serius. Ketulusan bisa Ginnan rasakan pada matanya, sehingga dia pun tersenyum tanpa sadar.
"Ah, terima kasih..." kata Ginnan. "Memang dia kemana sekarang?"
"Ada jam. Biasa lah. Klien bagus sayang sekali ditinggal."
"Oh..." desah Ginnan. "Kapan hari sebenarnya aku ingin bertemu kalian, Hiro. Di rusun."
"Iyakah?" kaget Hiro. "Bohong, hm?" tudingnya separuh percaya.
"Benar kok. Tapi, tidak sempat saja," tegas Ginnan. "Rusun rasanya kosong sekali. Jadi cuma barang-barang saja yang kuambil."
"Hoo..." desah Hiro. "Baiklah, it's okay. Penting kau baik-baik di sana."
"Ha ha, iya."
Pembicaraan mereka pun mengalun lancar. Ini, itu. Ginnan juga cukup nyaman ditemani ngobrol masa lalu hingga gugupnya berkurang, namun tidak lagi saat Hiro tiba-tiba memelankan suara.
"Psstt... Ngomong-ngomong boleh aku tanya sesuatu?"
"Eh, apa?"
Waktu itu Ginnan sudah hampir selesai bersiap. Dia kembali rapi dengan baju baru dari Renji, juga menyemprotkan parfum khas pilihan dari Deby.
"Kalian benar-benar akan menikah, ya?"
DEG
"T-Tentu saja, Hiro," kata Ginnan seketika gugup. "Memang kenapa, ya? Itu aneh?"
"Iya, jujur saja," kata Hiro. "Terutama jika ingat kau membenci penis para pria."
Ginnan nyaris menjatuhkan sisir karenanya. "A-Apa katamu?"
Hiro pun langsung tertawa geli. "Ha ha... Tidak kok. Hanya gemas saja dengan reaksimu," katanya. "Tapi, senang melihat kalian nyaman satu sama lain. Tahu tidak? Aku sempat berpikir kau diancam Renji-sensei atau semacamnya."
"Oh..." Ginnan pun tersenyum masam. "Soal itu, aku juga tak menyangka," akunya. "Tapi, Hiro. Selama ini aku bisa saja salah. Karena nyatanya aku memang baik-baik saja, kan?"
"Hm, benar."
"Dan terima kasih sudah jadi teman yang luar biasa sampai sekarang," kata Ginnan.
Jika Hiro dekat, dia mungkin akan memeluk Ginnan sebelum melepaskannya pergi berjuang di luar sana. "Tentu saja, Buddy. Kau juga, terima kasih tidak lupa kami setelah dapat suami luar biasa."
"Ha ha, fuck!" maki Ginnan separuh menahan tawa. "Aku yang suaminya, oke? Lagipula mood sekali merusak suasananya ya? Astaga!"
"Ha ha ha! Biar tidak tegang."
"Bullshit."
"Sudah sana, jangan buat tuan tampanmu menunggu," kata Hiro. "Good luck."
Panggilan pun berakhir. Ginnan sendiri tak menyangka bisa tertawa seringan itu setelah sekian lama. Bagaimana pun Renji memblokade sebagian besar komunikasinya dengan orang luar sejak mereka berhubungan. Jadi, ini seperti hadiah besar, meskipun sederhana.
"Sudah selesai?"
"Iya."
Ginnan memejamkan mata kala Renji menciumnya begitu kembali. "Kau sempurna."
Mereka menatap kebersamaan ini di pantulan cermin.
"Bukan, itu tidak benar," kata Ginnan. Dia membelai rahang tegas Renji dengan tatapan tetap lurus ke dapan. "Tapi, kita saling melengkapi."
Renji pun tersenyum tipis. "Itu kalimat yang tidak buruk."
"Ha ha."
Namun, Ginnan berhenti tertawa kala tatapan Renji berubah. Mata pria itu tajam, menyelidik, tetapi cara mengambil dagunya masih lembut.
"A-Apa? Kenapa?" bingung Ginnan.
"Tadi, kau pasti sudah diberitahu macam-macam oleh wanita itu," kata Renji.
"Oh..." Ginnan sempat mengalihkan pandangan, namun dia tetap menyinggungkan senyum. "Iya, tapi kita kan sudah pernah membahasnya. Kita setara kalau soal masa lalu. Jadi, aku tidak masalah, Ren."
"Tidak, ini tidak sama."
"Eh?"
Renji mendadak berjongkok di depan Ginnan. Pria itu menggenggam dua tangannya, tetap menatapnya lekat, dan tampak ragu-ragu.
Hal yang tak biasa untuk seorang Renji Isamu.
Ginnan pun mengusap bahunya lembut. "Ada apa? Bilang saja, hm? Aku janji tidak akan marah."
"Untukmu, orang-orang itu tidur dengan memberikan bayaran," kata Renji. "Mereka memang menginginkan seks, iya kan? Jadi, ketika kau selesai dengan pekerjaan hari itu, kecil kemungkinan muncul lagi di depanmu."
Ginnan membalas genggaman itu sama erat, meski bingung akan membalas apa.
"Hal yang dimulai dengan uang akan mudah diakhiri jika memiliki uang," kata Renji lagi. "Tapi, kau sudah tahu itu tak berlaku untukku. Mereka datang dan pergi. Mereka punya harapan macam-macam saat berusaha mendekati. Jadi, meski yang ingin kuakui sama banyaknya, aku tetap kesulitan percaya pada satu orang saja."
"Aku tahu, Ren. Kau bisa lupakan itu sekarang."
"Tidak, kau harus dengarkan aku seluruhnya."
"O-Oke."
Renji tiba-tiba menghela nafas kasar. "Malam ini, kau hampir menghadapi duniaku yang sebenarnya. Juga besok-besok. Akan banyak orang yang membencimu, meski tidak pernah kau sangka darimana datangnya. Jadi, jangan anggap aku berlebihan soal R dan yang lain. Dan aku minta maaf memberimu beban seperti ini."
Entah kenapa, Ginnan tidak takut atau sedih mendengar pengakuan Renji. Dia justru sangat lega. Melihat sisi rapuh dan jujur pria tersebut merupakan momen yang sungguh ingin dia abadikan jika bisa.
"Aku kuat kok, ha ha," tawa Ginnan. "Kalau tidak, mana mungkin kakiku bisa sampai titik ini."
"Begitu?"
"Yeah? Memang siapa yang tidak rela membunuh demi seorang Renji Isamu?" kata Ginnan. Ketularan nada jenaka Hiro, dia tak ingin membawa situasi saat ini jadi gelap hanya karena percakapan mereka. "Tapi, janji jangan terlibat dengan mereka lagi, oke? Kau sudah punya aku sekarang."
"Hm."
"Sekarang berdiri. Semua orang sudah menunggu di luar."
"Hm."
Ginnan pun mengecup kening sang kekasih untuk membuatnya merasa sungguh-sungguh dimaafkan. Dia sendiri merasa kuat setelah menggandeng tangan pria itu keluar hotel. Sebanyak apapun orang yang menyerbu seperti zombie gila, dia tidak gemetar barang sedikit pun.
R, E, N, J, I, dan G juga bergerak cepat menyisir halaman Tokyo Hall menuju mobil mereka yang sudah menunggu. Mereka membuka jalan. Berteriak sama kerasnya untuk mengimbangi amukan media dan jepretan lampu flash-nya yang memusingkan. Anehnya, Ginnan sungguh baik-baik saja. Dia hanya melihat ke arah mereka dengan heran sebelum dibawa ke Mayumi Kurikawa Central.