"Ssshh... sshh..."
"Aku tidak suka, tidak nyaman, Ren...!" pekik Ginnan. "...badanku sakit semua..."
Sudah tak terhitung berapa kali Ginnan merubah posisi tidurnya. Dia membentak Renji, memarahinya, dan sempat menjerit-jerit karena mendadak ingin pipis tapi tidak kuat untuk bangun.
"Oke, oke... sebentar," kata Renji. Pria itu sigap menggendong Ginnan dan membawanya dari ranjang. Dadanya sudah penuh oleh cakaran dan Ginnan tidak ingat apa-apa setelah duduk di atas kloset. Seingatnya, dia pipis. Dia mengeluarkan semua urin yang tadi tertahan. Namun segalanya jadi gelap lagi. Ginnan!
Ginnan rasa, di sudah kehilangan rasa malu saat itu. Tubuhnya mau diapakan terserah. Dia tak peduli lagi dan hanya ingin tidur setahun. Suara Renji, suara gemericik air di luar kesadarannya, suara-suara yang lain juga... semua hilang perlahan-lahan.
.
.
.
Tahu-tahu hari sudah berganti lagi. Kali ini Ginnan dibalut piama merah cerah. Dia bangun dengan mata yang terasa bengkak, layu, namun Renji masih di sana seperti tak pernah berpindah. Pria itu masih memeluknya. Hangat. Sayangnya Ginnan melihat bayang-bayang di bawah matanya makin gelap saja. "Ren?"
Apa yang sebenarnya sudah terjadi?
Gelisah, Ginnan pun merabai pipi dan leher pria itu. Untungnya suhu normal, namun titik-titik keringat yang basah di kening Renji jelas bukan artifisial yang bisa dia abaikan begitu saja. "Dia tidur," gumam Ginnan. Lalu mengucek matanya. "Ini sudah tanggal berapa?"
Ginnan baru sadar suaranya sejak tadi hampir hilang.
CKLEK
"Oh? Kau sudah bangun, Nak?" tanya Nana. Wanita itu mendadak muncul dari balik pintu dengan baskom baru di tangan. Senyumnya tipis, dan Ginnan lebih dari lemas untuk terlalu peduli bagaimana isi pikiran wanita itu saat melihat betapa Renji memeluknya sangat dekat saat ini.
"Iya, Ma."
Nana pun mendekat dan memperbaiki selimut mereka yang hampir melorot ke bahu. "Baguslah, itu artinya kondisimu sudah membaik," katanya. Lalu duduk di tepi ranjang untuk mengusap pipi Ginnan. "Mama minta maaf, ya? Aku tidak tahu kejadiannya akan begini..."
Ginnan pun menggeleng pelan sebisanya. "Itu bukan salah Mama," katanya. "Biasanya aku tidak selemah ini, tapi—umn… mungkin sudah waktunya sakit saja."
Kini Nana terlihat benar-benar ingin menangis. "Kau harus segera sembuh, oke?" katanya, lebih seperti meminta. "Aku tidak tahu Renji bisa seperti itu saat kau sakit. Dan, kumohon, sebagai ibunya aku tidak bisa lagi melihat kondisi tersebut terulang lagi."
Dada Ginnan pun berdebar keras. Dia menatap Nana yang ternyata memiliki bayang-bayang mata, lalu bertanya. "M-Memang Renji kenapa, Ma?" Nana hanya menangis waktu itu. Ginnan pun bingung, gemetar hebat, apalagi ketika wanita itu pamit keluar karena tak kuat lagi. Usut punya usut, selama Ginnan pingsan beberapa hari, Renji ternyata menelpon dokter terdekat agar segera datang ke rumah. Tugas sang dokter adalah mengusahakan kesembuhan Ginnan. Dan Renji hanya mengizinkan orang itu turun tangan selain dirinya sendiri. Nana sempat berkali-kali ingin masuk kamar untuk ikut merawat Ginnan. Namun, rupa-rupanya Renji terlalu marah hingga tak membiarkannya ikut campur karena dinilai telah melukai.
"Diam di sana, biar aku yang ganti baju Ginnan sendiri," kata Renji, pada suatu hari. Nana adalah seorang Ibu. Maka meski sedih, dia tetap hafal tatapan mata tajam Renji, diamnya, dan bagaimana cara pria itu membanting pintu kamar sebagai penolakan yang paling keras pada keluarga sendiri. Itu pun sudah cukup baik. Jika orang luar, apapun yang Renji balaskan pasti lebih dari itu.
"Ahh… sakit… sakit…" keluh Ginnan. Beberapa hari lalu telapak tangannya terus menggenggam kuat karena terlalu panas. Dia juga hampir kejang bila Renji tak menautkan jari-jari mereka dan meniupinya secara berkala.
Sepuluh menit berlalu.
Saat dokter panggilan datang, infus yang dipasang pun menjatuhkan cairannya begitu cepat sebagai bentuk penanganan sejauh apa Ginnan harus segera menurunkan suhu. Dia panik. Pandangannya kabur dan kepalanya serasa ditimpa batu ratusan kilo hingga hilang kesadaran dengan sendirinya.
Ginnan tidak melihat mimpi apa pun yang menghiasi tidurnya sejak saat itu. Saat bangun, hari sudah sore dan dia ragu sekarang masih akhir tahun. Sebab di di luar sana terdengar ada parade berjalan yang merayakan hadirnya Bulan Januari dengan sorak sorai "HAPPY NEW YEAR" disertai terompet serta alat-alat kordofon lainnya.
Ada begitu banyak aroma obat yang mengambang di sekitar, dan Ginnan merasakan pergelangan tangannya kebas karena bekas tusukan jarum infus yang sudah entah berapa kali. Di atas meja, ada tiga handuk kompresan yang mengambang di baskom, bungkus-bungkus coolfever dewasa yang berceceran di lantai, dan dia mengalami kebingungan pasca tidur panjang.
Ahh… sungguh! Ginnan pun melakukan apapun agar mendukung kepulihannya sendiri sejak saat itu. Dia mau makan banyak, tidur banyak, dan tidak melawan Renji setiap kali pria itu mengurus rangkaian pil yang harus diminum. Lima hari setelahnya, Ginnan baru tahu apa yang membuat Nana menangis begitu dinyatakan sembuh total oleh sang dokter sewaan.
Di depan pria berjas putih itu, Ginnan mungkin tersenyum manis. Namun setelah ditinggal pergi, matanya langsung panas melihat sayatan besar di punggung Renji. "Ren?" Pria itu sedang berganti kemeja, dan Ginnan tak bisa lepas memandang luka yang ada di sana.
Sial.
Ginnan tak bisa membayangkan bagaimana bentuk luka itu ketika masih basah dengan darah yang mengalir dari sana.
"Hm?"
Renji berbalik dengan ekspresi yang tak berubah.
"Kau kenapa?" tanya Ginnan. Dia ingin segera menghambur memeluk, namun beranjak pun masih sulit karena seluruh tubuhnya lemah.
"Aku? Oh…" Renji segera mengancingi bajunya begitu tersadar Ginnan memperhatikan lukanya. "Tidak ada. Apa kau mau makan malam sekarang? Lebih awal? Aku akan mengambilkannya—"
"Tolong…" sela Ginnan. Dia pun beranjak dari duduk dan berjalan sempoyongan ke arah pria itu. "Jujur padaku kenapa? Tadi itu… aku melihat sesuatu."
Renji Isamu hanyalah manusia biasa. Itu adalah konsep yang sering tidak dipahami sebagian besar orang, haters-nya, fans-nya, bahkan oleh Ginnan sendiri karena terlalu fokus mengagumi. Namun pria itu sejatinya bisa tumbang juga bila penyakitnya kambuh. Seperti sekarang, bukan Ginnan, namun Renji lah yang hampir terseok jatuh kala akan menangkap langkah limbung sang kekasih.
"Hei, kau!" jerit Ginnan. Dia terengah-engah dan lega hati seketika karena mereka berdua tak jadi jatuh. "Astaga… bisa jelaskan padaku dulu? Kau juga jangan sembunyikan apapun, Ren—"
Renji merampas ciuman pertamanya setelah sekian lama.
Pria itu mengecap bibir Ginnan dengan mata terpejam dan lidah yang bergelut rakus. Emosional sangat kental dari tubuhnya, dan Ginnan nyaris tak sanggup menangani jenis ciuman itu. Kakinya lemas. Dan beberapa detik kemudian, dia bisa jatuh bila Renji tak memeluk dengan seeratnya.
"Kau yang bagaimana bisa," kata Renji. Marah. Ada api yang murup dalam sorot mata tajamnya.