"Ginnan."
Kalau Renji sudah seperti itu, Ginnan yakin perdebatan ini tak akan berakhir hingga mereka berangkat pergi. Maka meski berat hati, dia pun mengeluarkan ponsel usangnya dari kantung, lalu mengerucutkan bibir ketika Renji memberikan benda itu ke Furi.
"Tolong simpankan ini, Furi."
"Baik, Tuan."
"Tapi aku bisa bosan di perjalanan," kata Ginnan. Dia masih merajuk hingga Renji menggandengnya keluar menuju lift mereka. Meskipun begitu, dia tetap menahan diri dan sembunyi di belakang tubuh Renji hingga masuk ke mobil.
"Hati-hati di perjalanan…" kata Takano sambil melambaikan tangan. Renji mengangguk, sementara Ginnan masih dongkol hingga pria itu membuka kotak rahasia di bagian punggung kursi sopir. Raut wajah Ginnan baru cerah saat melihat apa isinya.
"Wow…"
Renji mengambil mp3 portable dan setumpuk komik shoujo seperti yang sering diakses Ginnan dari sana. "Suka?"
"Hehe… iya."
"Ini lebih aman untuk perjalanan."
Ginnan pun menerima dua benda itu satu per satu. "Terima kasih," cengirnya. Dia tidak tahu Renji begitu detail memperhatikannya sampai-sampai Furi tersenyum geli di depan. Sayangnya kali ini Ginnan tidak sadar. Dia terlalu asyik memilih komik-komik di depannya dan mengabaikan apapun.
"Kurasa aku tahu kenapa Tuan Renji memilihnya…" kata Furi dalam hati. Lelaki itu memandang Ginnan beberapa kali dari kaca depan. Beruntung Renji memilih memejamkan mata di perjalanan. Dia jadi tidak cemas mendapat tatapan tajam dari sang majikan.
Sejujurnya Furi sering membicarakan Ginnan di belakang bersama Takano. Ada banyak topik tentunya. Yang pasti, paling kentara adalah betapa cantik lelaki itu, betapa menggemaskan perilakunya, dan betapa Renji memanjakan dia. Selain itu, banyak hal hingga mereka sendiri lupa. Yang pasti, Furi dan Takano yakin Ginnan sadar dia diperhatikan selama mereka bertugas di penthouse Renji.
Selama Renji bekerja, ada banyak momen yang membuat Furi dan Takano bisa bicara dengan kekasih pria itu. Hanya saja, mereka memilih menghindar. Mereka tahu Ginnan agak antipati. Mungkin takut. Mungkin malu. Yang jelas mereka takkan mendekat hingga Ginnan sendiri yang mengajak mereka bicara—atau saat ada perlu saja.
"Tuan Ginnan?"
Seperti sekarang.
DEG
"Eh, ya?"
"Kita sudah sampai di lapangan penerbangan," kata Furi.
Ginnan pun langsung melepas headset mp3-nya. "Eh? Di sini?"
"Iya, Tuan," kata Furi. Dia menurunkan jendela Lamborghini Adventador itu perlahan-lahan. Di sana, Ginnan bisa melihat gedung yang tampak seperti barisan flat biasa. Hanya saja, saat Ginnan dipandu Renji, lelaki itu baru sadar apa yang di hadapannya.
"T-Tunggu… ini?"
Pesawat jet berwarna putih itu sangat mengkilat. Badannya minimalis, aromanya wangi, dan lupakan soal inisial sang pemilik. Nama Renji benar-benar tertulis di badannya menggunakan kombinasi kapital serta kanji rumit yang diatur dalam kaligrafi Jepang kuno.
Melihatnya, seketika tangan Ginnan berkeringat dingin di genggaman Renji. "Ayo masuk."
"T-Tunggu…"
Ginnan melirik panik ke Furi. "Kita tidak ke bandara?" tanyanya.
Furi hampir saja membuka mulut. Hanya saja mendadak pintu pesawat itu dibuka dari dalam. Tangganya turun. Beberapa pramugari bercelana menyambut di depan, dan Ginnan dibawa Renji mendekat ke sana.
"Selamat jalan, Tuan," kata Furi di belakang. "Saya tunggu kepulangan Anda kembali."
Dulu, ketika Ginnan berada Fiordalisso Shopping Center, sensasi ganas ini menggamparnya pertama kali. Tiap langkah terasa seperti terbang. Suara di sekitar jadi bisu. Lantas Ginnan balas meremas genggaman Renji dengan wajah memucat.
"Ren, jangan bilang aku lagi mimpi…" Ginnan memandang para pramugari cantik di tangga dengan raut merah biru.
"Hm? Kalau iya berarti mimpimu indah," balas Renji dengan senyuman tipis.
"Apa? Ini sih mimpi yang mengerikkan!" bisik Ginnan. Namun Renji tetap tak mengindahkannya hingga pintu pesawat itu ditutup perlahan. "Kau… tidak pernah bilang kalau punya hal-hal yang seperti ini," katanya dengan tatapan yang masih kosong.
"Untuk pamer?"
"Bukan lah, ya ampun…" Wajah Ginnan berkerut-kerut kala Renji mendudukkan dia di sebuah kursi. "Tapi kenapa selama ini kemana-mana pakai pesawat biasa? Suka?"
"Hm."
"Serius? Terus kenapa beli benda ini—eh?" Ginnan tersentak kaget kala Renji ikut duduk dan mengangkatnya ke pangkuan. Tanpa malu, pria itu melakukan cuddling dan membiarkan aanya mondar mandir mempersiapkan perjalanan.
"Tebak."
Seperti Furi dan Takano, sepertinya mereka terlatih menghadapi Renji. Mereka hanya melirik sekilas, diam, dan terus bekerja memburu waktu.
"Tidak mau," Ginnan justru memandang ke sekitar. Dia takjub. Pasalnya dalam kabin yang minimalis ini, fasilitas ringan tetap ada untuk meredup rasa jenuhnya. Ada ruang santai, ruang makan, tempat main game, bahkan Ginnan yakin di ujung sana ada kamar lengkap ranjang dan shower mandi. "Tapi mungkin, kalau begini tidak akan ada yang tahu kita kemana."
"Hmph, benar."
Ginnan memandang Renji heran. "Dan aku tetap bisa disembunyikan."
"Benar lagi," kata Renji. "Sepertinya kecerdasanmu bertambah akhir-akhir ini."
Ginnan refleks membuka mulut ketika Renji mencium. Lumatan mereka terasa santai. Ginnan cukup merasa nyaman hingga seorang pramugari datang dan Renji melepas bibirnya.
"Tuan?"
Renji menoleh ke gadis yang bersemu itu. "Ada apa."
"Semuanya sudah siap," kata si pramugari. Di depan Renji, dia tetap menunduk seolah dilarang menatap Ginnan. "Apa Anda bersedia lepas landas sekarang?"
Renji justru menoleh ke Ginnan. "Bagaimana."
"Eh? Aku?"
"Mau tetap di sini atau masuk ke dalam," kata Renji. "Saat landas mungkin ada sedikit guncangan. Tapi aku bisa memegangmu kalau memang senang tidak pindah."
"Oh…" Ginnan memandang pramugari itu dengan semu pipi tak kalah tebal. "A-Aku ingin masuk saja."
Renji menoleh kembali ke gadis pramugari. "Dengar dia? Hitung mundur 5 menit baru jalankan penerbangannya."
"Baik," kata pramugari itu. "Kalau begitu permisi…"
Saat gadis itu berlalu, Ginnan tanpa sadar memeluk leher sang kekasih sangking malunya. "Mnn, Ren. Kita sebenarnya mau kemana?" tanya Ginnan. Lengannya begitu tegang. Tubuhnya juga sangat kaku ketika dibawa menuju gendongan.
"Kau akan tahu nantinya."
Ginnan pun menyurukkan wajahnya ke leher Renji kala melewati beberapa pramugari lagi. "Dan aku sepertinya dituntut untuk terbiasa."
"Hm?"
"Cepat atau lambat anak buahmu kenal wajahku semua," kata Ginnan. "Ahh… Dasar Renji Sinting Gila."
Renji hanya tertawa kecil. Pria itu membawa Ginnan rebah di ranjang bulu, menendang pintu agar tertutup, dan guncangan pesawat saat landas membuat mereka nyaris bertimpa.
"Perhatian kepada seluruh penumpang, penerbangan akan dihitung mundur dalam 5, 4, 3, 2…"
Ginnan tahu, dia pasti segera dikunyah Renji setelah pesawat ini di langit biru.
.
.
.
"Ahh…" desah Ginnan. Adrenalin darahnya cukup mendidih kala sadar tubuhnya dicumbu di atas langit. Melayani nafsu pria ini, dia tak apa jika selalu lengah. Jaketnya disingkap, kausnya didorong, dan putingnya sangat panas di dalam mulut hangat itu. "Ahhh… ahh…" Ginnan meremas rambut Renji ketika punggungnya terlonjak. "Ahh… sudah—ugh! P-Pindah, Ren…"
Ginnan baru bernafas lega kala sesapan Renji kini beralih ke puting kiri. Di berdebar. Dia semangat. Dan dia membiarkan Renji melucuti celananya tanpa melepaskan alas kaki.
"Sekarang sudah tidak lagi bosan?" tanya Renji. Dia menyingkirkan tangan Ginnan yang menutupi organnya. "Bukankah game dariku lebih menyenangkan?"