"Rose, kuharap kau tak menentang kami kali ini," kata Richard. "Karena Aleysha melakukannya untuk kita semua."
Rose pun menoleh ke Richard meski payah. "Menentang apa?" tanyanya. "Aleysha bisa jelaskan padaku?"
Mendengus, Aleysha tetap mengatakan segalanya. Tentang idenya menghubungi Renji tiba-tiba. Katanya, hal ini memang lebih baik. Daripada Haru terlanjur berulah di pengadilan, dia dan Richard memutuskan memberangus pria itu di rumah mereka.
Pertama-tama, Aleysha menggunakan ponsel Rose. Namun berikutnya, dia menggunakan nomor baru tiap kali menghubungi Renji. Wanita itu langsung mengancam Renji dengan Haru. Dia bilang, dia dan Richard tak akan melukai Haru lagi bila Renji memberikan beberapa aset kekayaannya. Bahkan, pria itu diperbolehkan menjemput Haru di lokasi perjanjian setelah semua selesai diurus.
Sangat cepat, kontrak gila itu pun akhirnya disepakati. Aleysha sendiri kaget pada awalnya. Dia kira Renji akan menolak penawarannya. Namun tidak. Begitu mendengar situasi yang dia paparkan, Renji mengiyakan. Pria itu mungkin sudah gila. Tapi Aleysha sudah tak peduli lagi bila rencananya sangat sukses. Faktanya, Renji selalu memberikan jawaban positif tiap kali dihubungi.
"Aku meminta uang hasil penjualan penthouse, launching film, produksi buku terbaru, 30% saham usaha, promes, dan tiga pulaunya yang ada di Brazil," kata Aleysha. Tatapan wanita itu samasekali tidak ragu. Dia memaparkan apapun yang Rose mau, tapi samasekali tak peduli reaksi yang didapatkan. "Tenang saja. Dia sudah mengurus satu per satu apa yang kuminta. Jika semua sudah selesai, Haru akan kita bawa kepadanya."
Saat itu, Rose kalap. Dia hampir mencelakai Aleysha dengan gelas yang dilempar, namun Richard lebih dulu menggamparnya hingga pingsan. Situasi sangat kacau saat itu. Pasalnya, mereka tak pernah bertengkar selama mendekam di balik punggung Haru. Ini adalah yang pertama, dan Richard cukup gentar dengan tangannya sendiri setelah membuat telinga Rose berdarah-darah.
"Aku memang tidak suka Haru, tapi ini sudah kelewatan, Richard," bantah Rose tiap kali mereka diskusi lagi. Wanita itu terus menentang rencana Richard dan Aleysha, namun tidak lagi keras kepala setelah Sheila dan Sherly dijadikan umpan.
"Lihat mereka," kata Richard sambil menunjuk Sheila dan Sherly dari jendela kamar. Kedua bocah itu main-main di halaman. Mereka disewakan seorang pengasuh wanita, dan hanya boleh menemui Haru saat malam tiba. "Jika kau tetap seperti ini, aku takkan segan-segan melibatkan semuanya."
DEG
"Apa maksudmu, Richard?"
"Bukankah Haru sosok yang mereka cintai?" kata Aleysha. "Aku akan menggamparinya di depan mereka kalau perlu. Biar semua tahu, ini bukan dunia tempat mereka senyum tanpa beban. Apalagi saat penjara mengincar kita semua. Paham?!"
"A-Aleysha…" kata Rose terbata-bata. Richard memeluk Rose segera kala wanita itu menangis. Dia tahu, sampai titik ini mereka ada di ujung jurang.
Hanya saja, menggunakan Haru
dan Renji setelah semua kebaikan mereka, hati nurani Rose menolak ini semua. Terutama Renji. Dia sungguh ingat ekspresi pria itu saat membawa Haru menikah dengannya di altar. Bagaimana sorot mata sakitnya setiap kali dirinya muncul. Namun, ketika kelahiran Sheila dan Sherly tiba, Renji tetap sudi hadir di sisinya.
"Maaf, Ren. Ini sudah di luar kendaliku."
Meski Rose tahu tak ada gunanya menangis, dia tetap terisak-isak sendirian setiap kali tersadar telah tinggal hanya seorang diri.
"Aku mungkin harus berhenti…" kata Rose dalam hati. "Perceraian sepertinya hal yang paling tepat sekarang. Tapi, jika itu benar-benar kulakukan. Haru, menurutmu siapa yang masih bersedia menemaniku?"
Rose meremas seprai sekuatnya tanpa sadar.
.
.
.
Pukul 10, Ginnan membuka mata perlahan. Tenggorokannya terasa panas. Dia menoleh, ada wajah Renji di sana. Menoleh lagi, ada air putih dan teh blooming flower tersedia di atas nakas. Oh, Renji pasti menyiapkannya sebelum tertidur lelap di sisinya.
"Ugh…" keluh Ginnan. Rasanya aneh mengucek mata yang bengkak seperti ini. Satu tegukan air gelas pasti tidak cukup untuk meredakan mood-nya. Dia minum dengan cepat, terburu, dan habis tepat saat Renji bangun.
"Kau kenapa?"
Ginnan menoleh. Renji menarik perutnya agar mendekat lagi.
"Umn, aku haus…" kata Ginnan. "Kau tidur lagi saja, Ren."
Renji justru duduk agak lebih sadar. "Mau kemana?" tanyanya. Bahkan sebelum Ginnan beringsut turun.
"Pipis, sebentar," kata Ginnan. Dia menggeser lengan Renji dari pinggangnya. "Aku sudah tidak tahan."
Renji pun melepaskannya meski Ginnan tahu pria itu paling tak suka ditinggal ketika tidur. Yang tidak dia sangka adalah Renji ikut turun mengikutinya.
"Serius, Ren. Kau ini di luar saja," kata Ginnan. Dia menahan dada Renji sebelum masuk ke kamar mandi. Wajahnya sebal. Namun Ginnan hanya berdecih saat Renji tetap menyusul dan duduk di atas tutup toilet.
"Jangan begadang kalau bangun jam segini," kata Renji. Pria itu menutup mata dan menyandarkan punggung ke dinding. Meskipun begitu, telinga Ginnan tetap merah kala dia benar-benar pipis. Pelan-pelan, dia menurunkan celana begitu memunggungi Renji.
"Aku tidak berpikir akan bisa tidur lagi," kata Ginnan. Aneh, memang. Harusnya dia tak perlu semalu ini. Hanya saja… "Mungkin aku akan ke dapur dulu untuk makan sereal," kata Ginnan. "Dan kau tidak perlu memaksakan diri untuk ikut aku. Tidur saja, please."
Renji tidak menuruti perkataannya. Pria itu bangun ketika Ginnan selesai. Dia menggandeng tangan Ginnan, membawanya ke dapur, dan benar-benar duduk di depannya setelah mengambil sereal.
"Kau ini sebenarnya kenapa?" bingung Ginnan. Dia cemberut, tapi tetap menuang sereal yang Renji ambilkan ke mangkuk. "Aku bukan anak kecil. Aku bisa makan sendiri lalu kembali. Tidak bisakah kau percaya padaku?"
Mendadak Renji menidurkan kepalanya di meja. Lalu melipat tangan di sana.
"Ah…"
Sejujurnya, Ginnan heran. Renji pasti mengantuk sekali. Tapi sejak dirinya meninggalkan Renji di ranjang malam itu, dia benar-benar menempeli Ginnan. Oh, Tuhan. Fans Renji pasti menggebuk meja kalau melihat perilaku menggemaskannya.
Tidak tega, Ginnan pun berhenti menyuap makan malamnya. Sebetulnya dia tidak lapar. Tadi juga tidak ingin pipis. Hanya saja, Ginnan ingin berkeliling sebentar karena sudah terjaga. Tapi kalau begini caranya…
Aku seperti memelihara kucing besar…
"Ren?" bisik Ginnan. "Ayo kembali. Aku sudah selesai makan."
"Hm?"
Ginnan langsung merah melihat pantulan mukanya di mata Renji. Ya ampun. Acak-acakan sekali. Emosinya tadi siang pasti parah sekali. Terlebih, kata-katanya yang menyakitkan keluar begitu saja—
"Ayo?"
Renji meraih wajah hangatnya sebentar sebelum mau beranjak. Pria itu seperti memastikan Ginnan nyata sebelum mau mengikutinya. Aneh lagi? Ginnan langsung meremas celana ketika sadar detail bentakannya.
"Apa kalau aku yang hilang, kau juga akan begini?"
"…"
"Kau hanya peduli uangmu! Asetmu, kerjaanmu, projekmu—segalanya."
DEG
Astaga, Ginnan makin tak enak hati saja. "Sini, Ren. Kau yang harusnya cepat tidur lagi," Dia menarik Renji segera duduk kembali ke ranjang. "Bukankah besok ada kerjaan?" tanyanya.
Renji tak menolak kala didorong hingga Ginnan menimpanya. "Hmm."