Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Apartemen Starla
"Gretta! Kamu tidak apa-apa?" Kali ini suara Starla terdengar bertanya kepada Gretta yang terduduk lemas di lantai apartemenya.
Merasa tidak mendapatkan tanggapan berarti dari Gretta, ia menatap Elena yang kembali mengangguk ke arahnya, hingga kemudian terdengar suara pintu terbuka.
Ceklek!
Tap! Tap! Tap!
Langkah kaki yang mendekat terdengar seakan menggema di apartemen itu, menambah kesan dramatis bagi mereka yang mendengar. Padahal jelas, jika di dalam musik yang diputar Elena masih mengalun memenuhi setiap sudut hunian.
Tap!
Seorang pria kini berdiri di pintu masuk ruang tamu, menjulang tinggi di sana dengan senyum miring yang tidak repot disembunyikannnya. Sedangkan Gretta, ia tidak memperhatikannya sama sekali saat rasa pusing menyerangnya semakin hebat.
Elena terlihat bersimpuh di samping Gretta, membuat gadis itu menoleh dan mengenyit saat mendengar bisikan Elena yang nada suaranya terdengar aneh.
"Gretta! Apa kamu sudah merasakan sesuatu yang aneh di tubuhmu?"
Deg!
Seiring dengan rasa dingin dari nada suara itu, Gretta seakan dibawa sadar dengan apa yang dirasakannya kini. Gretta menengadahkan wajahnya, menatap dengan pandangan kabur ke arah seorang pria yang berdiri menjulang di hadapannya.
"Jadi, apakah pesta sudah dimulai?" tanya si pria ini dengan nada main-main, masih berdiri dan menurunkan pandangannya menatap Gretta yang sudah kepayahan.
Seringai kejinya semakin terulas lebar, seakan tidak sadar ingin segera memulai apa yang disebutnya dengan kata bermakna menyenangkan, 'pesta'.
"Kamu telat, tapi tidak setelat itu. Karena 'pesta' pun baru dimulai, tenang saja," sahut Elena seraya beranjak dari duduk jongkoknya dan bersedekap dada, berjalan untuk kemudian berdiri bersisihan dengan Starla yang wajahnya tidak terbaca.
"Oh! Syukurlah," gumamnya masih berpura-pura menyesal.
Kemudian, si pria ini berjongkok di depan Gretta yang hampir terkulai di depannya. Ia memegang dagu Gretta dengan cengkraman lembut, mendongakkannya agar gadis ini hanya melihat ke arahnya.
Grep!
"Look at me, baby," desisinya dengan seringai miring terulas, saat melihat wajah tak berdaya Gretta meskipun netranya masih melayangkan tatapan tajam "Wow! Kukira sudah benar-benar lemas," lanjutnya mencemooh.
"Lepaskan aku. Jauhkan tangan kotormu dari wajahku, sialan!" maki Gretta dengan suara lemah.
"Keh! Masih melawan rupanya-
Cuih!
Plak!
Brugh!
"Darren! Kenapa kamu memukulnya!"
Ucapan si pria ini terpaksa berhenti saat Gretta yang memasang wajah cringe meludahinya tepat di wajah. Hingga sebuah tamparan melayang dari si pria dan Gretta sendiri terhempas sangking kuatnya tamparan itu.
Starla yang melihatnya berjenggit dan tentu saja refleks berteriak, namun Elena di yang berdiri di sampingnya memegang lengan dan menggelengkan kepala.
Darren yang dipanggil menoleh dan tersenyum sinis, menatap dua wanita di belakangnya tidak peduli "Diam, jangan ikut campur."
"Darren-
"Starla," sela Elena, kemudian menatap Darren dengan tajam "Cepat lakukan dan selesaikan ini," lanjutnya dingin.
"Lena-
"Diam Starla! Kita sudah susah payah menyeretnya sampai sini. Lalu, kenapa berhenti di tengah jalan?" Lagi-lagi Elena menyela ucapan Strala tajam, menatap seakan mengatakan jika mereka tidak bisa mundur.
Starla terdiam dan menatap Gretta yang mencoba berdiri dengan tatapan menyesal, sebelum akhirnya melengos mengeraskan hati.
"Lakukan dengan cepat, Darren. Tapi jangan sakiti atau memukulnya," pinta Starla tanpa menatap si pria.
Darren tentu saja terkekeh sinis dan kembali melihat ke arah Gretta yang akhirnya bisa berdiri meski sempoyongan.
"Keh! Kita lihat saja, kalau dia melawan aku tidak menjaminnya," jawab Darren seraya mengangkat bahunya tak acuh "Nah! Gretta sayang, kita kan dulu 'sepasang kekasih' sebelum kamu memutuskanku. Anggap saja kompensasi untuk satu bulan aku jadi kekasihmu yang diabaikan. Mengerti?" lanjutnya dengan seringai kejam.
"Tidak! Jangan dekati aku!" teriak Gretta dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
Gretta melihat ke arah dua temannya yang berdiri dengan wajah melengos, mengerti jika keduanya tidak mungkin bisa dimintai tolong dan kembali melihat Darren yang melangkah mendekatinya.
Ia refleks mundur teratur dengan kepala menggeleng. Sesekali ia terhuyung dan hampir jatuh, jika saja ia tidak berpegangan dengan nakas di sampingnya.
"Jangan dekati aku," usir Gretta dan tersandung hingga ia jatuh terjerembab.
Brugh!
Aww…
Gretta meringis, saat bokongnya menghantam lantai kayu sedangkan netranya menatap nanar Darren yang semakin mendekatinya.
Ha-ha-ha…
Tawa kejam mengalun dari bibir Darren, menatap Gretta lapar saat melihat terusan itu tersingkap dan memperlihatkan short hitam yang dikenakan mantan kekasihnya ini.
Mantan kekasih, pria yang ditemui Gretta beberapa hari lalu, pria yang meminta balikan menjadi kekasih namun ditolak mentah-mentah olehnya, kini justru mulai kurang ajar memegang pahanya dan mengusapnya seduktif.
Plak!
Gretta menghempaskan tangan itu hingga si empunya tangan menatap tajam dan mulai bertindak kasar, menjambak surai emas Gretta yang menjerit kesakitan.
"Bitch, berani sekali kamu memukul tanganku, hah?" desis Darren marah.
Gretta meringis kesakitan, air matanya sudah berlinang dan sesekali menatap dua temannya yang justru kini duduk santai seakan tidak melihat kejadian yang menimpanya.
"Lepaskan aku sialan!"
Plak!
Sudut bibir Gretta mulai mengeluarkan cairan besi berwarna merah, menandakan jika tamparan itu kuat dan menyakitkan.
"Ini pantas untuk wanita sombong dan berharga diri tinggi sepertimu," bisik Darren murka. Ia mengusap sudut bibir itu lembut, sebelum akhirnya mencengkramnya kuat "Diam dan terima saja, maka aku jamin hanya akan ada kenikmatan setelahnya," lanjutnya dengan senyum sinis, saat Gretta membulatkan bola matanya.
"Tidak! Jangan kumohon! Tidak Darren!"
Gretta mulai histeris, memohon dengan suara lemah saat tubuhnya digendong ala karung beras dan memasuki sebuah kamar.
"Tidak! Starla! Elena! Tolong aku! Bukankah kita teman? Kenapa seperti ini?"
"Diam dan jangan berisik, sayang!"
Blam!
Suara teriakan Gretta yang meminta tolong berakhir dengan debaman pintu setelahnya. Kedua gadis yang dimintai tolong oleh Gretta hanya bisa termenung di sofa, keduanya juga tiba-tiba saja menjadi patung saat rasa aneh mulai menyerang.
Rasa tersayat, saat Gretta menyebut mereka ini seorang taman.
"Tidak! Jangan dekati aku! Pergi kamu sialan!"
"Jangan melawan Gretta sayang! Aku mencintaimu!"
"Pergi!"
Prang!
Suara jeritan dan juga benda pecah hanya mampu keduanya dengar dengan keadaan linglung. Starla menoleh ke arah Elena yang juga terdiam, kemudian menoleh ke arah pintu yang telah tertutup rapat.
"Elena, apakah ini benar?" tanya Starla berbisik lirih.
Elena tidak langsung menjawabnya, melainkan tersentak kecil dan menatap meja dengan makanan tersaji tidak fokus.
Kepalanya menggeleng guna mengembalikan kesadarannya, kemudian mengambil minuman wine yang dibawanya dan meminumnya santai, seakan tidak terjadi apa-apa tepatnya mencoba biasa saja.
"Apa maksudmu 'apakah ini benar'?" sahut Elena balik bertanya.
Hatinya memang merasakan sedikit rasa tersengat sakit. Namun, ia dengan cepat mengelak dan membuang jauh-jauh.
"Maksudk-
"Tidaaak!"
Deg!
Bersambung.