"Sayang sekali, itu sudah menjadi sifatku sejak terlahir menjadi peri. Dan rupanya masih terbawa sampai aku menjadi manusia!" Milena mengecilkan suaranya, ia melirik ke arah pintu, rupanya David dan pamannya berdebat mengenai suatu hal, seperti biasa, mereka berdua berbicara sejauh mungkin agar dirinya tak mendengar percakapan itu.
"Bagus. Kalau begitu permainan ini akan semakin menarik." Ia menegakkan kepala, mengedip nakal.
"Hentikan tindakan bodohmu itu!" bentaknya dalam suara nyaris tak terdengar.
"Maaf, kau bilang apa?" Max pura-pura tuli, tangan kanannya berada di balik daun telinganya.
"Keluar!" Milena mengerang sebal.
"Apa kau tahu?" Ia mendekat, tubuhnya dicondongkan, "Itu juga adalah ciuman pertamaku. Kurasa diantara kita sudah terjalin sesuatu yang istimewa, huh? Tampaknya aku kini jauh istimewa daripada David. Tak ada yang melupakan ciuman pertama mereka, kecuali mereka amnesia." Max menggigit bibirnya dengan gaya yang sensual dan nakal, mendekatkan wajahnya hingga bibir Milena menegang.
"Itu bukan ciuman. Itu palsu. Hanya nafsu yang ada, tak ada rasa sayang atau pun cinta di dalamnya, dan, oh, yeah, aku bisa pastikan itu." Milena memejamkan mata, menahan segala dorongan yang ada di dalam dirinya untuk tidak menjambak rambut lelaki itu dengan cara yang liar, lagi. Ada rasa bersalah di hati terhadap David, namun perasaan anehnya pada Max sulit untuk dienyahkan begitu saja.
Sekilas ada tatapan terluka di sorot mata lelaki itu, "sungguh?" lalu dengan cepat berganti dengan tatapan yang berkilat-kilat penuh amarah.
"Kau itu seperti pesona kaum bangsa Elf! Apa pun yang kau masukkan ke dalam cokelat itu, tak akan mempan untuk kedua kali. Karena aku tak akan memakan apapun pemberianmu mulai detik ini."
Sudut bibir Max tertarik, mata yang sinis melirik ke arah pintu. "Kau yakin?"
Sial! Dia bisa membujuk David memakan apa pun pemberian darinya! Sang peri memberanikan diri, berusaha agar dirinya tak didominasi oleh intimidasi Max. "Aku bisa menolaknya selama itu terkait denganmu."
"Keras kepala." Ia terkekeh, lalu dengan suara penuh rayuan ia berkata, "apa kau yakin ciuman tadi bukan ciuman sesungguhnya? Coba tanyakan dalam lubuk hatimu."
"Aku yakin itu." Ucapnya tegas, tapi berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkannya. Milena ragu saat itu juga. Selain penipu, Max jago dalam mempengaruhi orang lain. Tidak heran dia tak pernah ketahuan David.
"Mudah saja kalau begitu, kita buat lain kali menjadi ciuman yang sesungguhnya..."Max mendekatkan bibirnya ke bibir Milena, tapi dengan cepat telunjuk kanan Milena diletakkan pada bibirnya, itu membuat Max mendengus geli. Alih-alih gagal mencium bibir Milena, ia mengecup kening perempuan itu dengan tulus dan lembut.
Milena tertegun, salah tingkah.
"Kuharap itu mengganggu pikiranmu mulai sekarang."
Salah satu sudut bibirnya melengkung, menampakkan kelicikan nyata yang dimiliki Max. Milena hanya menelan ludah berat. Sesuatu dalam hatinya terasa janggal. Ada apa dengan pria itu? keluhnya dalam hati.