Rose segera membuang dan menepis pikirannya itu. Ya, ciuman yang sebentar itu terus berputar dalam angan.
Lampu temaram menerangi sekeliling rumah Rose yang besar. Ia berdenging, sedari tadi kucing yang mengikutinya itu terus berbunyi tanpa henti. Makin berisik, ia harus memikirkan jalan—bagaimana caranya agar kucing itu menjauh. Terlebih, ayahnya mungkin akan datang kapan saja. Jika tahu ada kucing yang menetap di depan rumah, bisa-bisa Aner—ayahnya itu akan membuang kucing itu ke tempat penangkaran hewan.
Meong... Meongg... Meongg...
"Berisik banget sih, Aaaa! Gue gak suka—sama lo!" Unjuk Rose garang ke wajah kucing. "Lo pasti mau 'kan? Manfaatin gue? Minta makan, terus modol sembarangan?? Ogah ih, ogah! Gue jijik, sama lo!"
Cetus Rose sambil melenggang membuka pagar rumahnya. Kucing itu ternyata sangat keras kepala seperti manusia, mengikuti Rose sampai sebelum masuk ke dalam.
"Damn! Lo harus stop, gausah ngikutin gue, gue bukan babu, lo! Paham?!"
Rose mengancam, berhasillah ia masuk ke dalam dan mengunci pagarnya. Meski tahu akan ada kemungkinan dan berbagai cara seekor kucing agar bisa lolos masuk. "Bye miaw!"
|
Sampai pagi itu tiba, Rose bangun dan merenggangkan tubuhnya. Ia merasakan cahaya fajar yang menelusup ke jendelanya pagi-pagi. Rose bangkit dan membereskan tempat tidurnya.
Jiwa yang sudah masuk ke tubuhnya belum benar-benar seratus persen. Karena insiden mabuk sebelumnya, masih meninggalkan jejak pada kepalanya. Terngiang-ngiang, benar, pusing namanya.
Mampir ke minimarket, entah ke berapa kali-nya membeli obat dan minuman pereda pengar. Rose refleks menyentuh bibirnya, ingatannya kembali mencium orang asing itu—rasa salivanya, setelan jas-nya... Ia ingat semuanya. Baru kali ini Rose mendapatkan cecapan dengan sensasi yang berbeda dibanding Rose bercumbuan dengan pria lain sebelum-sebelumnya.
"Ah, gue ngapain ya mikirin itu? Aneh banget. Padahal biasa aja 'kan,"
Rose merutuki dirinya yang kerap teringat hal itu. Ia menghembus nafas lewat mulut dan, "hah" ke telapak tangannya. Bau sisa-sisa hasil semalam masih ada, ia pun lupa untuk berkumur-kumur atau membersihkan diri sedikit saat pulang ke rumah mansion-nya semalam, Rose benar-benar letih dan gegas berangkat ke alam mimpi saat melihat kasur.
Rose menyibakkan korden kamarnya. Melihat pemandangan pekarangan rumah yang luas dan juga menampakkan jalan sepanjang depan rumah mansion.
Rose gegas membersihkan diri ke kamar mandi, selesainya dari itu ia memakai dress lalu berkaca di kamar, agar terlihat rapih dan cantik.
Rose ke luar kamar dan menemukan seorang asisten rumah tangga—sedang membuatkan sarapan. Yah, seperti itulah kehidupan monoton Rose sehari-hari saat weekend. Di hari biasa, pulang ngampus, ngambis, makan, tidur, mandi, berangkat ngampus, dan begitulah roda kehidupannya berputar.
"Nona muda,"
"Ya, bik?"
"Anu... apa non membawa pulang kucing ke rumah?"
Pertanyaan sang ART—yang kerap dipanggil Bibi Velt itu membuat Rose kebingungan. "Kucing yang mana ya Bik? Perasaan tidak ada kucing di rumah, deh?"
"Kucing... Yang saya lihat semalam, di depan rumah. Kucing itu masih tetap berada di depan. Saya khawatir, non. Takutnya mengganggu Tuan Aner saat beliau pulang,"
"Biarkan saja. Aku tidak tahu kucing itu, tidak peduli juga." Rose bergeming. "Udah diusir kan? Kucingnya masih ada disana?"
"Ya, non. Setiap kali diusir, ia datang lagi dan datang lagi. Berbeda dari kucing-kucing yang sebelumnya terjadi, non. Biasanya kucing yang selalu kami bawa pergi jauh, tidak akan kembali ke rumah ini, tapi kucing yang itu... terasa sulit kami bawa pergi jauh, non."
"Haahh..." Rose menghela nafas, menepuk jidatnya. "Nanti akan kulihat deh, memangnya se-penting apa sih soal kucing doang?" Dumal Rose.
|
Rose menilap tangan begitu lihat kucing yang semalam itu—masih setia didepan rumah sambil mengeow. Kali ini, suara yang dihasilkannya terdengar merdu dan manja, meski tidak se-jernih yang ia dengar semalam.
"Meongg... Meong..."
Rose berdecak kecil. Warna bulu kucingnya yang hitam dengan sedikit corak keabu-abuan, ekornya yang panjang... membuat pandangannya mengalihkan pada sesuatu. Apa ya?
"Lo berisik banget."
Rose melihat bekas makan kucingnya yang ludes tak bersisa oleh si pemilik bulu halus itu. Jangan lupakan minumnya, kucing itu terlihat sangat senang begitu Rose menaruh perhatiannya sedikit.
Rose mengajak kucing itu masuk ke dalam. Berhasil, kucing itu menurut dan mengikutinya dari belakang. Seolah paham kalau Rose sudah mulai menerimanya—meski hati sedikit terpaksa. Ugh, kali ini Rose harus membagi perhatian dirinya pada makhluk halus yang ditemukannya semalam itu.
|
"Mulai sekarang, lo di panggil Miaw."
Lihatlah Rose sekarang, semalam dia mencaci maki kucing yang terus mengikutinya itu, tapi sekarang, hatinya mulai meluluh karena tidak ingin kucing itu akan masuk ke penangkaran—atau mungkin diasingkan. The real, Rose menjilat ludahnya sendiri.
"Meong...meong,"