webnovel

Anak-anak Asuh

Rumah itu nampak asri dengan halaman yang luas. Banyak pohon-pohon rindang yang sengaja ditanam oleh pemiliknya. Sebagian adalah pohon buah-buahan yang bisa dipanen jika sudah waktunya tiba.

Bentuk atap rumah itu menyerupai pelana yang dilipat. Jika di lihat dari samping, maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya. Orang Betawi menyebutnya Rumah Kebaya.

"Assalamualaikum. Abah Ummi, Elin datang, nih," ucap Celine saat mengetuk pintu.

Tak lama keluarlah seorang lelaki separuh baya menyambut kedatangannya.

"Waalaikum salam, Neng," jawab Abah sembari menyuruh Celine masuk.

"Ummi mana, Bah?" Celine meraih tangan Abah kemudian menciumnya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua.

"Ke pasar. Biasa belanja. Tau dah nyari apaan."

Mereka berdua duduk berhadapan. Teras rumah ini memang luas. Abah dan Ummi biasa mengggunakannya untuk menjamu tamu atau menjadi tempat bersantai keluarga.

"Ummi rajin ya, Bah."

"Daripada bosan di rumah. Neng ngapain datang dimari?"

"Bah, Elin mau minta tolong. Soal panti. Kasihan anak-anak," pintanya memelas.

Abah menarik napas panjang, bingung harus menentukan apa. Kalau rumahnya tetap dipakai untuk menampung anak-anak yatim piatu asuhan Celine, dia tidak punya uang untuk membantu anaknya. Namun, kalau rumah itu dijual, kasihan mereka juga mau tinggal di mana. Semua menjadi serba salah kalau sudah begini.

"Kami juga mau nolongin. Tapi, kan Neng tau ndiri. Abah sama ummi pengen naek haji. Lagian anak-anak pada banyak utang semua. Kalau ntu panti dijual, pan duitnya lumayan buat bayar semua." Abah menjelaskan panjang lebar alasan mengapa dia harus melepas salah satu asetnya itu.

"Tapi, kami mau pindah ke mana? Sewa rumah di tempat lain mahal. Abah kan tau Elin cuma karyawan biasa. Gaji mana cukup. Donatur juga udah mulai sepi."

Saat ini Celine tidak tahu harus berbuat apa. Mereka masih mencari jalan yang terbaik. Kasihan anak-anak asuhnya kalau sampai diusir dari rumah itu.

"Gini aja. Neng cari dulu rumah buat kontrakan. Mana tau ada yang murah. Kalau belon nemu juga, ntar Abah pikirin. Mau rembukan dulu sama ummi," saran lelaki paruh baya itu memberikan solusi. Dia juga tidak tega hendak mengusir mereka.

"Tolongin ya, Bah."

Seketika Celine merasa lemas. Kata-kata tadi membuat semangatnya hilang. Dia teringat kembali saat pertama kali berkenalan dengan keluarga baik ini.

Waktu itu, Celine tak sengaja bertemu dengan putra sulung mereka. Jali, namanya. Mereka kemudian menjadi dekat dan akrab. Dia bahkan sudah dianggap seperti anak kandung karena mereka tidak memiliki anak perempuan.

Ummi bahkan mengharapkan Celine berjodoh dengan Jali. Tetapi karena waktu itu masih kuliah, dia menolaknya. Akhirnya Jali kecewa dan menikah dengan gadis lain.

Untungnya hubungan silaturahmi mereka tidak putus. Abah dan Ummi tetap meminjamkan rumah mereka yang tidak terpakai, sebagai tempat penampungan anak-anak asuhnya.

Rumah singgah itu awalnya dibuka secara tidak sengaja, saat Celine bertemu dengan seorang gadis kecil yang dibuang oleh orang tuanya. Dia membawanya ke kantor polisi, tetapi berhari-hari tidak ada kabar.

Setelah rembukan dengan Jali, Abah dan juga Ummi, akhirnya Celine dipinjami rumah itu. Mereka mengelolanya, mencari anak-anak yang sudah tidak diinginkan keluarga.

Celine melamar pekerjaan sebagai kasir di salah satu mini market untuk biaya kuliah dan menampung anak-anak. Sayang, karena sesuatu lain hal, pendidikannya terpaksa berhenti.

Jali juga menghilang, mungkin karena kecewa. Sejak saat itulah, dia berjuang sendiri menafkahi mereka. Berat, tetapi dia harus kuat. Celine menjadi tangguh karena sejak dulu dipaksa oleh keadaan.

"Iye, Neng. Abah juga kesian sama ntu anak-anak. Udah kayak cucu ndiri," ucap Abah berusaha menenangkan.

Suasana seketika menjadi hening. Celine menjadi tak enak hati. Padahal biasanya mereka begitu akrab dan dekat.

"Yaudah Elin pulang dulu. Dari tadi anak-anak nungguin. Salam sama Ummi."

"Iya, ntar Abah sampein."

"Assalamualaikum." Celine kembali mencium tangan Abah saat berpamitan.

"Waalaikum salam. Ati-ati, Neng. Awas kepentok cowok cakep."

Celine tertawa sambil melambaikan tangan. Abah, sudah tua tetapi masih suka bercanda. Kalau sedang berada di sana, dia merasa seperti di rumah sendiri. Keluarga mereka hangat dan saling melindungi. Hal yang sudah lama tak pernah Celine dapatkan sejak dulu.

* * *

"Kakaaak ...."

Dua puluh anak-anak berusia tiga sampai enam tahun menyerbu saat pintu rumah terbuka. Celine mengabsen satu per satu dari yang kecil sampai yang besar. Lengkap, semua berkumpul jika dia datang.

Celine memperlihatkan palstik hitam yang sedari tadi disembunyikan di balik punggung. Sengaja, ingin memberikan mereka kejutan.

"Hem ... harum."

Celine mencium plastik itu di depan mereka, sehingga membuat anak-anak itu menjadi penasaran.

"Apa itu, Kak? Apa itu, Kak?"

Mereka berebutan ingin mengambilnya. Celine kembali menggoda. Plastik itu diangkatnya lebih tinggi sehingga mereka melompat-lompat karena ingin menggapainya.

"Ayo, cuci tangan dulu. Habis itu kita bagi. Oke?"

"Okeee ...."

Mereka berlarian ke belakang. Anak-anak, tiada hari tanpa berlari. Seolah-olah jatuh tak pernah membuat mereka jera.

Celine duduk di meja makan dan menghela napas panjang, lalu mengelap keringat yang tadi menetes. Wanita itu mengencangkan ikat rambut, kemudian mengeluarkan isi plastik dan menyusunnya dipiring. Masing-masing anak akan memdapatkan satu potong. Hanya yang berusia lebih tua dapat potongan lebih besar daripada adik-adiknya.

"Kue boluuuuu ..."

Mereka berlari lagi menuju meja makan saat melilhat ada makanan enak telah tersaji.

Bukan meja sebenarnya. Hanya papan-papan biasa yang bentuk disusum panjang, bahkan tidak dicat dan tidak ada alasnya. Setiap pagi dan malam tugas mereka untuk membersihkannya secara bergantian.

"Ayo duduk. Makan kuenya pelan-pelan. Habis itu diminum tehnya. Jangan berebutan."

Celine mengatur posisi duduk mereka. Anak yang suka bertengkar dengan yang lain, akan dipisahkan duduknya. Sehingga saat makan suasana tetap tenang, tidak berisik karena suara tangisan. Anak yang paling kecil juga ikut duduk, dan dibantu karena tidak sampai kakinya.

Celine tertawa geli melihatnya.

"Awas keselek. Baca doa dulu sebelum makan."

Serentak mereka mengulurkan tangan, membaca doa yang sudah diajarkan. Anak-anak itu harus menghafalnya, jika tidak nanti dapat hukuman.

"Alloohumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar.”

"Enakkkk ...."

Mereka makan dengan lahap. Beberapa anak bahkan berdiskusi merek keju apa yang di tabur di kue bolu sehingga rasanya begitu enak. Bahkan ada yang iri-irian karena keju di kuenya lebih sedikit.

Kalau sudah begini Celine akan tergelak. Rasa sedih, lelah dan pusing selama ditempat kerja menjadi hilang semua.

Celine sengaja memotong kuenya di pantry mini market sepulang jam kerja, karena akan berisik jika dia bawa pulang ke panti. Anak-anak pasti ingin ikut membantu. Itu cukup merepotkan karena mereka bukannya membantu, tetapi malah berebutan yabg akhirnya akan menimbulkan pertengkaran.

"Dah pulang Neng?"

Seorang wanita sepuh keluar dari dapur membawa membawa secerek teh panas. Ada wadah plastik yang disusun bertumpuk di sebelahnya. Dia meletakkan gelas itu dan menuang isinya ke dalam gelas. Nanti selesai makan, anak-anak akan mengambil sendiri minumannya.

Onah nama wanita itu. Dialah yang sejak awal membantu Celine mengurus panti ini. Mengurus anak-anak dengan sabar. Menasehati dan membimbing layaknya seorang ibu.

"Baru nyampai, Bik." Dia mnyerahkan dua potong kue bolu untuk Onah. "Makan, Bik."

"Ga usah Neng. Buat anak-anak aja." Onah menolak. Dalam hatinya juga ingin sebenarnya. Kue bolu siapa yang tidak suka. Tapi jika buat anak-anak saja tidak cukup, dia lebih baik mengalah.

"Ada kok. Tadi Elin beli banyak." Celine kembali menyodorkan piring plastik itu ke hadapan Onah.

"Lagi promo ya, Neng. Kue bolunya?"

"Iya, Bik. Tiga bulan lagi mau expired, tapi masih bagus kok. Tadi Elin sama temen-temen udah nyobain di pantry." jawabnya enteng. Kalau memang tidak punya uang berlebih, barang expired yang dilelang menjadi pilihan. Asal tidak berjamur atau berubah rasa tetap dibeli. Sekalipun mempertaruhkan kesehatan diri.

"Oh." Onah melahap kuenya. "Enak, Neng. Ada kejunya."

Mereka berdua tertawa geli. Sudah biasa.

* * *

Celine merebahkan tubuhnya di dipan kayu. Tubuhnya sangat lelah sepulang dari kantor Bisma. Tadi dia membujuk Pak Andre untuk bisa izin dan bekerja hari ini. Tapi hasilnya nihil. Dia baru bisa bertemu Bisma besok jam tiga sore sesuai dengan perjanjian.

Dia memandang buku rekening yang siang tadi dibawanya berkunjung ke bank. Setelah dari kantor itu, dia mampir sebentar untuk mengecek saldo.

Ada transferan masuk. Lumayan, lima ratus ribu. Kebetulan di mini market sebelah bank tadi sedang ada promo makanan. Dia mampir melihat-lihat dan dapatlah kue tadi. Beli dua gratis satu, dengan masa expired tiga bulan ke depan.

Dia berharap ada nugget atau sosis promo karena anak-anak suka, tapi belum beruntung. Mungkin dua atau tiga bulan lagi akan diobral kalau sudah tidak laku.

"Neng. Beras habis. Telur juga." Onah datang menghampirinya. Celine memang tidur sekamar dengannya. Anak-anak dikamar masing-masing dengan tempat tidur bertingkat.

Ada empat ruang di rumah ini. Tiga ruang dipakai sebagai kamar. Satu ruang dipakai sebagai ruang tamu merangkap ruang makan, nonton tv dan bermain. Kamar mandi merangkap tempat cuci baju.

Ada dapur kecil di belakang, tanahanya diambil sedikit untuk membuat dapur dari kayu seadanya untuk tempat masak dan cuci piring. Sisa tanah masih luas sekali. Mungkin itulah pertimbangan para kontraktor untuk membeli rumah ini, karena sisa tanah masih bisa dibangun lagi.

Biarpun rumah ini biasa saja, tapi kebersihan tetaplah utama. Celine tidak mau sembarangan mengelola panti sekalipun tempat mereka hanya sederhana. Lagi pula tidak mungkin juga dia bangun, ini rumah sewa.

"Besok Elin pergi belanja, Bik. Mau lihat mini market sebelah. Kali ada promo lain. Di tempat Elin masih mahal."

"Iya, Neng."

"Apalagi yang habis, Bik?"

"Hampir semua. Minyak goreng masih ada dikit, cukup sampai minggu depan."

Celine mengangguk.

"Anu, Neng." kata Onah sedikit ragu.

"Si Ijal minta susu. Nangis dia kalau tidur ga dodot."

"Kan udah ada yang kalengan Elin belikan minggu lalu."

"Ga mau dia. Minta susu bubuk. Katanya yang kalengan ga enak."

Nyut ... Nyut ... Nyut ....

Kepalanya seketika bereaksi. Teringat wajah lucu Ijal, anak asuhnya paling kecil, belum tiga tahun. Memang masih butuh susu, dia menjadi tidak tega. Semoga ada susu promo. Biar berbeda merk nya juga tidak apa-apa yang penting murah.

"Iya, Bik. Nanti Elin carikan."

Dia menatap kembali saldo di buku rekening. Transferan donatur tadi pagi bakal ludes besok. Sedangkan saldo sebelumnya sudah tipis. Kemana lagi dia akan mencari tambahan.

Mudah-mudahan tidak ada yang sakit. Dia memijit kepala. Setiap hari harus memikirkan bagaimana mengelola keuangan membuat kepalanya pusing. Perlahan dia memejamkan mata. Sebelum tidur dia berdoa. Tak meminta apa-apa. Hanya ini diberikan kecukupan rezeki untuk membesarkan anak-anak kesayangannya.

Tuhan Maha Adil. Selalu ada jalan untuk setiap permasalahan.