webnovel

Kenyataan Pahit

Bandung, 2027

Yasmine

Wajah itu, aku mengenalinya. Dia laki-laki yang mengantarku pulang dari rumah sakit, namanya June. Baju yang dia kenakan kini lebih formal, celana hitam dengan kemeja berwarna hijau army, hanya saja dia menggulung lengan kemejanya hingga siku.

"Hei, jangan melamun, ngapain di sini?" ucapnya sambil mengibaskan tangan di depan wajahku.

"Aku… aku sedang jogging saja," sahutku asal.

Dia mengamatiku dari atas sampai bawah, ia tersenyum yang lebih terlihat seperti menyeringai. "Sejak kapan jogging pakai dress seperti ini dan tidak pakai sepatu? Kamu lebih mirip seorang putri yang kabur."

Sejak di sini aku jadi merasa bodoh, begitu pulang sekarang. Kenapa aku jawab jogging. Aku memutuskan untuk ikut June daripada menggelandang tidak jelas. Ia sempat menawariku untuk mengantar ke rumah, tentu saja dengan berbagai alasan aku menolak. Sebagai gantinya aku harus ikut dengan menuju kantor.

"Di belakang ada sepatu sport, pakai itu saja daripada tidak pakai apa-apa."

Kakiku memang tidak memakai apa-apa, tadi terburu-buru lari begitu saja. Aku segera mengambil sepatu dengan susah payah di jok belakang mobil.

***

Jakarta, 2027

Rose

"Sudah jangan tanya-tanya tentang hal ini lagi. Istirahatlah ke kamarmu, mama sedang menyiapkan makan malam untukmu dan suamimu, kasihan Jay semenjak kamu amnesia, kalian seperti dua manusia asing yang dipaksa hidup dalam satu atap."

Kali ini aku tidak ingin menuruti mama. Aku merasa mama bohong padaku. Dan jika tidak bisa mendapatkan jawaban memuaskan dari mama, maka aku akan bertanya pada Yura. Jadi aku segera berdiri dan beranjak ke pintu depan.

"Yasmine," panggil mama. "Mau ke mana?"

"Ke rumah Yura," jawabku singkat.

"Kamu baru saja pulang. Ke rumahnya kan bisa besok. Mama tidak mau kamu kelelahan dan kamu tidak mau menyambut suamimu pulang?"

Aku tidak bisa menunggu sampai besok. "Hanya sebentar, ma," lalu buru-buru keluar rumah sebelum mama sempat berbicara lagi.

Kata Jay, semenjak menikah Yura pindah ke Jakarta dan jarak rumahnya memang cukup jauh dan aku memutuskan naik taksi online. Tak sampai 10 menit aku sudah sampai di depan rumahnya. Dia sedang sibuk dengan menidurkan anaknya ketika aku sampai. Dia mengajakku ke ruang tamu yang sangat berantakan karena anaknya baru selesai bermain. Anaknya agak terobsesi dengan boneka, sehingga tidak heran seisi rumah ini penuh dengan boneka. Sambil menyingkirkan beberapa boneka dan menepuk-nepuk sofa, Yura menyuruhku duduk.

"Mukamu terlihat sangat suntuk," aku memutuskan untuk tidak langsung menyerangnya dengan pertanyaan tentang kecelakaanku.

"Aku sedang strees karena suamiku sedang dinas di luar kota," keluhnya. "dan ART ku juga sedang cuti. Rasanya aku ingin kembali ke Surabaya, jadi Nana bisa diurus oleh neneknya."

"Aku justru ingin punya anak," kataku. "Setidaknya kalau aku punya anak, aku ada kegiatan, jadi tidak hanya bengong di kamar saja seperti sekarang."

"Seandainya kitab isa bertukar," desah Yura.

"Oh iya, Yura, ada yang mau aku ceritakan," kataku, memutuskan untuk bercerita tentang June. "Beberapa hari yang lalu aku bertemu sama lelaki di taman dan tadi aku ketemu sama dia lagi."

Yura yang tadinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri langsung menatapku dengan bingung.

"Oh ya? Siapa?" tanyanya.

"Namanya June," kataku. "Anehnya, aku langsung merasa nyaman sama dia, bahkan aku bisa menceritakan tentang kecelakaan itu. Padahal kan kamu tahu sendiri kalau aku susah bergaul. Dan biasanya aku memang tidak suka bicara sama orang asing. Tapi di aini berbeda."

"Aku jadi penasaran," kata Yura.

"Apa kamu kenal orang yang namanya June?" tanyaku ingin tahu. "Siapa tahu aja kamu ternyata kenal sama dia."

"Tidak ada yang namanya June, dalam lingkar pertemanan kita selama ini," sahut Yura.

"Hmm.. Yura, aku boleh tanya satu hal?" tanyaku hati-hati.

"Boleh. Mau tanya tentang apa?"

"Soal kecelakaanku," kataku pelan.

Yura langsung memasang wajah waspada. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik.

"Kamu kan tahu kalau aku tidak bisa memberi tahu apa-apa tentang kecelakaan itu," katanya.

"Aku hanya mau tanya satu hal saja," kataku. "Aku janji tidak akan memaksa kamu untuk memberi tahu yang lainnya, asal kamu jawab satu pertanyaan ini."

Yura terlihat gusar, namun dia tidak membantah lagi. Sepertinya dia menungguku mengajukan pertanyaan.

"Apa aku sendirian waktu kecelakaan itu?" tanyaku.

Yura tersentak. Tampaknya dia tidak menyangka kalau hal itulah yang akan kutanyakan. Sejenak kulihat seperti ada konspirasi dalam pikirannya mengenai jawaban yang akan diberikan padaku. Tapi mungkin dia melihat tatapan penuh harap yang kuarahkan kepadanya, sehingga akhirnya dia mengalah.

Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Seharusnya aku tidak boleh mengatakan hal ini sama kamu, karena aku mau kamu mengingatnya sendiri. Tapi karena kamu benar-benar ingin tahu, maka aku akan jujur."

Aku menunggunya melanjutkan kata-kata. Aku benar-benar tegang mennantikan jawabannya.

"Di pesawat first class menuju jepang saat itu, kamu memang duduk besebelahan dengan seseorang yang kita kenal," kata Yura akhirnya. "Dan orang ini kita kenal cukup lama, dia teman lama kita."

Aku terpana mendengarnya. Ternyata memang benar-benar ada seseorang yang kulupakan. Selain kecelakaan itu sendiri, aku juga tidak bisa mengingat orang yang saat itu bersamaku.

Banyak hal yang ingin kutanyakan pada Yura mengenai orang itu, tapi suaraku tidak bisa keluar. Aku terlalu terkejut mendengar hal ini.

"Tapi menurutku," kata Yura lagi, "akan jauh lebih baik kalau kamu tidak bisa mengingat orang itu."

"Kenapa?" tanyaku bingung.

Tentu saja Yura tidak menjawabnya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi soal orang yang sudah kulupakan itu. Aku pun segera pamit pulang padanya.

"Aku antar kamu pulang ya?" tawar Yura.

"Tidak usah," tolakku. "Taksiku masih menunggu."

Yura akhirnya mengantarku pulang sambil menggendong anaknya. Selama perjalanan kami tidak banyak bicara, sesampainya di rumah aku pun langsung masuk ke kamar dan membaringkan tubuh.

Aku berbaring di ranjang sambil memikirkan kata-kata Yura tadi. Aku berusaha membayangkan siapa yang telah kulupakan. Kalau memang orang itu sangat penting untukku, kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingatnya?

Aku benar-benar ingin tahu di mana orang itu sekarang dan kenapa dia tidak pernah menemuiku. Apa yang terjadi padanya setelah kecelakaan itu? Apa dia tidak mengkhawatirkan keadaanku? Atau dia takut untuk menemuiku? Mungkin orang itu tidak mau menemuiku karena menyakitkan baginya melihatku tidak bisa mengingatnya.