webnovel

17. Konser

Bandung, 2027

Rose

Selama perjalanan menuju tempat konser, aku dan June sempat membicarakan pertemuanku dengan Ka Ocha, dan teleponnya beberapa hari yang lalu untuk makan siang denganku minggu depan.

"So, aku dengar kamu pergi makan siang sama Haris hari kamis kemarin," June membuka pembicaraan.

Aku mengangguk, meskipun bingung mengapa dia menanyakan hal yang tidak penting seperti itu.

"Kenapa mau?" lanjutnya dengan nada bingung sekaligus menuduh.

Mendengar nadanya yang menurutku terdengar sedikit menghina, aku tersinggung.

"Memangnya Haris kenapa?" tanyaku balik.

"Dia terlalu tua untukmu."

"Dia cuma setahun lebih tua dari kamu," balasku.

"Really?" tanya June tidak percaya.

Aku mengangguk. "Dia kelihatan jauh lebih tua dariku," gumam June. "Tapi kamu jangan pergi lagi sama dia," lanjut June dengan nada lebih keras.

"Aduhhh, kenapa lagi sih?" tanyaku tidak sabaran.

"Karena Haris suka digosipkan yang tidak-tidak," jawab June.

"Kamu juga sering digosipkan yang tidak-tidak di kantor." Aku mencoba untuk mencari penjelasan atas tingkah laku June sore ini.

"Oke, tapi Haris itu playboy," jawab June tanpa memandangku.

"Apa bedanya sama kamu," balasku. Aku tidak percaya bahwa kami bertengkar karena urusan laki-laki. Selama ini June tidak pernah peduli dengan siapa aku pergi lunch, kenapa dia jadi marah sekarang? Satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah karena Haris sering disebut-sebut sebagai 'Manajer Paling Tampan' di kantorku dan June merasa tersaingi

"Maksudmu tidak ada bedanya?" Kini June memandangku dengan kening berkerut.

Jelas-jelas aku membuatnya tersinggung. Bagus!!!

"Kamu dan Haris sama playboy-nya, tapi mungkin Haris sedikit lebih metroseksual daripada kamu."

"Kenapa kamu bisa bicara begitu?" Suara June mulai agak meninggi. Nadanya terdengar aneh, nada yang tidak bisa kutebak karena tidak pernah kudengar sebelumnya dari June.

"Oke, penting tidak kita berdebat soal ini?" tanyaku dengan nada setenang mungkin. Aku tidak mau bertengkar dengan June. Tidak sekarang setidak-tidaknya. Mungkin nanti kalau kami sudah sampai di Vanue dan perhatian June tidak terbagi antara mengemudikan mobil dan debatnya denganku.

"Ini bukan debat, tapi diskusi," balasnya.

"Kalau gitu... bisa tidak kita mendiskusikan ini nanti saja? Aku tidak mau kamu nabrak karena... diskusi ini."

Mendengar alasanku yang masuk akal, June terdiam.

"Omong-omong, aku dengar kamu menolak tawaran buat jadi brand manager-nya Clean?" tanyaku. Clean adalah produk sabun pencuci baju terbaru Good Life dan promosinya akan besar-besaran.

"Oh itu... ya... aku tolak karena aku tidak siap," jawab June enteng.

Jawaban santai June membuatku melotot. Inilah salah satu dari banyak hal yang membuatku terkadang naik pitam padanya. Dibandingkan dengan kolega-kolegaku di Good Life yang sepantar dengannya, sebetulnya June bisa lebih cepat naik ke jenjang karier yang lebih tinggi kalau dia menginginkannya. Tapi sepertinya dia selalu mencoba menahan diri dan membiarkan orang lain untuk menjadi lebih sukses daripada dirinya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti alasannya.

"Kalau aku yang ditawarin, siap tidak siap kerjaan itu pasti aku ambil karena itu berarti stepping stone untuk karierku." Aku mencoba untuk menunjukkan kepada June bahwa keputusannya untuk menolak itu salah.

"Ya... orang kan beda-beda, Rose."

Sekali lagi June kupelototi. Tapi bukannya takut, June malah tersenyum.

"Tahun depan kamu sudah tiga puluh dua, seharusnya kamu bangga bisa dipercaya untuk menangani kerjaan ini. Kamu calon termuda yang pernah ditunjuk Good Life untuk jadi brand manager tiga produk sekaligus."

"Kalau aku terima kerjaan itu, aku tidak akan punya waktu untuk hal lain."

"Lho... memangnya lo ada hal lain apa yang lebih penting?"

"Banyak," jawab June polos. "Clubbing, dating, jalan-jalan sama teman-temanku, pokoknya hal-hal normal yang banyak dikerjakan oleh laki-laki single dan heteroseksual sepertiku," lanjutnya.

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bukanlah orang yang menyukai kekerasan, tapi pada saat itu aku ingin sekali menampar June hingga babak-belur agar dia sadar. Akhirnya aku hanya bisa menarik napas sebelum pelan-pelan mengeluarkannya.

"Apa kamu tidak pikirkan ini sekali lagi, dengan jadi brand manager Clean berarti gajimu naik dan masa depan keluargamu bisa lebih terjamin?" ucapku pelan. Aku mencoba untuk mengganti taktik.

"Keluargaku terjamin. Ayah kan sudah urus itu semua."

"Bukan keluarga yang itu maksudku. Maksudku keluargamu nanti. Istri, anak..." Aku membiarkan kata-kataku menggantung.

"Oh, soal itu... Aduh, kamu jadi mirip ibuku. Bawel."

Bukan kata—kata yang tepat untuk diucapkan tentangku pada saat itu.

"Aku tidak bawel," ucapku berapi-api.

"Oh ya? Apa tidak pernah ada yang bilang ke kamu bahwa kamu bawel?" balasnya ketus.

Mulutku terbuka karena kaget. Apa maksudnya dengan kata-kata itu?

"Aku tidak pernah sangka kalau kamu ternyata seperti ini," akhirnya aku berkata pelan.

"Aku seperti apa?" tanyanya.

"You are mean," jawabku.

Kini giliran mulut June yang ternganga. "I am NOT mean."

Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan menatap ke luar jendela. Ada jarum-jarum yang menusuk-nusuk mataku, menandakan bahwa aku akan menangis sebentar lagi. Itulah kebiasaan yang sangat kubenci, entah bagaimana tapi sepertinya emosiku sangat berhubungan dengan saluran air mataku. Kalau sudah sangat marah aku justru akan menangis. Aku mengedipkan mata berkali-kali untuk mencegah hal itu terjadi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau aku sampai menangis di depan June. June mungkin tidak bermaksud apa-apa dengan kata itu, tapi kata "bawel" tidak berkonotasi baik di kepalaku. Aku tidak akan berkeberatan kalau orang bilang aku "nyentrik", "aneh", "hermit", bahkan "perawan tua", tapi tidak "bawel". Itu penghinaan.

Melihat reaksiku sepertinya June sadar bahwa dia telah mengatakan hal yang salah. Tiba-tiba tanganku bagaikan disengat listrik. Secara refleks dia menarik tanganku. Tangan June menggenggam erat tanganku. Kuletakkan tanganku kembali di pangkuanku, tapi aku tidak membalas genggaman June.

"Kamu marah?" tanya June pelan.

Aku berpikir sesaat sebelum kemudian menggeleng.

"Kecewa?" tanyanya lagi.

Tentu saja aku kecewa. Aku kecewa karena kata-katanya.

Ketika aku tidak menjawab, June berkata, "Rose, aku tidak ambil kerjaan itu karena aku tahu ada banyak orang lain yang juga bisa mengerjakan pekerjaan itu. aku mau kasih mereka kesempatan."

Meskipun aku kaget dengan penjelasannya, tapi aku tetap berdiam diri. Lagi pula, itu bukan kenapa aku kecewa dengannya.

"Terimakasih buat penjelasannya, tapi itu tidak penting," ucapku pelan.

"Jadi apa yang penting?" Kini June mencoba untuk mencuri pandang ke mataku. Tapi aku menolak menatapnya.

"Aku tidak suka dibilang bawel. Kalau aku bawel, sudah dari lama aku ceramahi kamu tentang aktivitas... seksualmu yang sering melibatkan perempuan yang menurutku punya reputasi yang harus dipertanyakan."

June sepertinya akan memotongku, tapi aku belum selesai meluapkan perasaanku.

"Aku tahu bahwa aku sering terlalu sok tahu dan banyak orang yang tidak suka kalau aku bicara terlalu jujur. Aku minta maaf kalau pendapatku membuatmu tersinggung, tapi aku bicara itu karena aku tahu kamu mampu untuk lebih maju. Selama ini aku pikir kamu mengerti maksudku, tapi sekarang aku tahu aku sudah salah sangka," ucapku perlahan-lahan.

June melepaskan genggamannya. Kami terdiam seribu bahasa. Aku melihat beberapa kali mulut June terbuka seperti dia akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia menutupnya kembali.

"I'm sorry," ucap June akhirnya.

"Yeah, me too," balasku.

"No, no... I'm really sorry."

Aku tetap tidak mengangkat pandanganku dari pangkuanku.

"Rose, bisa tolong lihat aku," pinta June.

Aku ragu sesaat, kemudian aku mengalihkan perhatianku pada jalan raya di depanku sebelum kemudian memandangnya. Ketika yakin bahwa aku tidak akan berpaling lagi, June memulai penjelasannya. "Kamu salah satu orang di dunia ini yang pendapatnya sangat aku hargai karena kamu selalu jujur. Kalau kamu tidak suka sesuatu tentang orang... tentangku terutama, kamu selalu ungkapkan."

Aku menunggunya untuk melanjutkan. "Sorry, tapi mungkin memang hari ini aku sedang banyak pikiran... soal kerjaan, soal pertunangan Ka Ocha, soal Haris sama kamu..."

Mendengar nama Haris disebut-sebut lagi darahku langsung naik ke kepala.

"Aku hanya pergi makan siang. Itu saja," ucapku. Ketika sadar dengan kata-kataku, aku menggigit lidah. Aku tidak harus menjelaskan ini kepada June.

"Tapi aku tidak suka," ucap June dengan nada agak keras.

Aku tidak peduli apa dia suka atau tidak aku berhubungan dengan Haris, dan kata-katanya yang menggurui membuatku kesal. "Kamu orang paling manja dan egois yang aku kenal, tau?"

Sekitar pukul 17.30 ketika kami tiba. June menawarkan untuk menggandengku dan aku memutuskan untuk meraih tangannya karena aku tidak mau hilang di tengah keramaian aku memutuskan untuk meraih tangannya karena aku tidak mau hilang di tengah keramaian malam ini.

To Be Continued