webnovel

Menikah tapi benci

"Jangan karena orangtuaku berhutang budi padamu, aku tidak bisa menghancurkan hidupmu! Sebaiknya kamu tolak lamaran ini jika kamu tidak ingin hidup menderita!" Ancaman itu terdengar jauh lebih menyakitkan karena terucap dari mulut cinta pertamaku. Tapi aku sudah bukan lagi gadis polos yang bodoh, "Lakukan saja, setidaknya aku bisa mendapatkan setengah harta mu saat kita bercerai nanti." Aku mendengar dia menggeram, aku yakin dia sedang mengeratkan rahangnya sekarang. "Katakan berapa yang kamu inginkan, aku akan memberikannya sekarang juga tapi setelah itu menghilang lah dari kehidupan ku!" Aku tersenyum, aku yakin dia akan segera meledak sekarang juga melihat wajahnya yang memerah menahan amarah. "Aku mau semuanya..." "Apa maksudmu?" "Semua hartamu sekarang juga jika kamu ingin aku menghilang dari hidup mu jadi cepatlah hubungi notaris karena lima belas menit lagi aku akan menemui ibu mu dan menerima lamarannya!" *** Laura Milanov bosan hidup dalam situasi pemain figuran yang tidak berarti dan tersingkirkan. Keluarganya, pertemanannya bahkan kisah cintanya selalu mengecewakannya. Ia muak ketika cinta pertamanya Dimas Dirgantara lebih memilih sahabatnya Wendy karena dia lebih cantik sehingga Laura sempat berpikir untuk bunuh diri. Tapi patah hati pada kehidupan yang selalu mengkhianatinya membuatnya menjadi keras dan mencari jalan lain untuk membalas setiap hal tidak adil yang pernah ia alami. Laura diam-diam bekerja di perusahaan milik orangtua Dimas dan mengambil simpatik mereka sehingga mereka menjodohkannya dengan Dimas. Bertekad mengubah hidupnya yang sebelumnya hanya figuran menjadi pemeran utama dalam spotlight meskipun harus menjadi wanita antagonis.

mrlyn · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
183 Chs

Semua di luar kendali

"Baiklah, kalau begitu ajak dia saat Dimas dan Laura menikah nanti..." Tukas Dita sebelum akhirnya pergi menuju meja yang telah mereka pesan bersama dengan Pratama.

Kini Felix hanya bisa terduduk lemas, sementara Laura menatapnya tajam dari balik buku menu.

"Maafkan aku, Laura... Semua di luar kendali ku." Ucap Felix memelas.

"Awas saja kalau aku sampai ketahuan." Ancam Laura pelan.

"Duduk di meja nomor berapa mereka?" Tanya Laura lagi, ia tidak berani menoleh kebelakang karena itu sama dengan bunuh diri.

"Mereka ada di meja nomor delapan." Jawab Felix yang juga ikut berbisik.

"Delapan?" Laura merasa ada yang janggal dengan nomor yang biasa dianggap sebagai nomor keberuntungan itu dan saat ia mengecek kembali nomor meja mereka barulah ia sadar jika sinyal buruk yang di kirimkan ke otaknya itu karena meja yang ia tempati dan Felix adalah nomor tujuh.

Meskipun jarak diantara satu meja dengan satu meja lainnya cukup jauh tapi tetap saja itu sangat beresiko.