webnovel

MELEPAS RINDU

Bagas sangat fokus, setiap pekerjaan yang dihadapinya tak pernah dibiarkan terbengkalai. Apa pun yang sedang dikerjakan itu mesti harus tuntas dan dikerjakan secara profesional, artinya tidak pernah melibatkan urusan pribadi dengan pekerjaan.

Seperti sekarang ini, tengah malam tetap bangun setelah tidur dua jam lebih untuk melakukan perbaikan naskah yang sudah diperiksa Liza.

Padahal Liza sempat menawarkan untuk membantu melakukan perbaikan, apalagi yang harus diperbaiki bukanlah tentang gambar desain.

Namun Bagas tetap tak mau. Tak ingin ada yang terlibat dalam setiap penulisan karya bukunya. Mesķipun itu Liza sekalipun. Editor bukunya yang akhir-akhir ini sudah cukup dekat dengannya.

Selesai melakukan perbaikan, Bagas langsung mengirim lewat email.

"Sayang, perbaikan naskah udah aku email," informasinya lewat WA. Lalu meletakkan handphone diatas meja lampu tidur.

Baru menarik bedcover, handphone Bagas sudah bunyi. Kemudian dijangkaunya, terlihat Liza yang duduk diatas tempat tidur dengan mengenakan baju tidur transparan warna hitam.

"Ah, cantik banget kamu malam ini sayang," puji Bagas.

Liza tersenyum lebar.

"Baru bangun tidur ya, Bang?"

"Iya, selesai kelas terus makan dan mandi. Kemudian tidur." Jelas Bagas.

"Masih padat jadwal kelas ya?" Tanya Liza berharap bisa bertemu.

"Iya sayang, sorry ya?" Bagas mencoba menghibur.

"Nggak apa-apa kok, Bang."

"Udah lama nyampe dari kantor?"

"Dua jam lalu."

"Terus kenapa nggak bobok?"

"Habis liat Abang Baru bobok."

Bagas tersenyum.

"Senang nggak di kangenin?" Goda Liza.

"Jelas dong..., apalagi yang ngangenin kamu."

"Uuh, si Abang mulai keluar tuh gombalannya."

"Aku serius kok, sayang."

"Bang... aku mau nanya nih. Ini serius Bang."

"Dari tadi aku serius loh, sayang."

"Emang Abang suka sama aku ya? Sampai nulis surat waktu itu?"

"Ya iyalah, kalo jelek ngapain aku...," ucap Bagas terputus.

"Hahahaaaa...," sambung Liza tertawa lebar.

"Lagian..., ngapain sih nanya kayak gitu?"

Liza berusaha menghentikan tawanya.

"Padahal yang ikut lomba banyak yang Cakep loh Bang."

"Iya sih, tapi waktu itu yang paling cakep diantara yang lain kayaknya cuma kamu deh sayang."

"Bang, aku serius nih."

"Terus kenapa kamu nggak balas surat aku yang kedua?" Bagas mengingatkan Liza.

"Bukannya aku nggak mau balas waktu itu Bang," ujar Lisa sambil mengingat kembali.

"Terus?"

"Waktu itu hebo banget pokoknya pas terima surat pertama dari Abang," jelas Liza.

"Maksudnya?"

"Aku kan nggak lolos ketahap selanjutnya, tapi teman-teman terus gangguin aku. Mereka bilang gini : pantesan nggak lolos, penggemarnya aja cuma satu orang. Gitu Bang kata mereka," jelas Liza.

"Padahal kamu lolos atau nggak waktu itu sama sekali tidak ada hubungan dengan surat aku," jelas Bagas.

"Betul sih, Bang. Tapi..., waktu itu emang aku sempat stres. Maafin aku ya Bang nggak balas lagi surat kamu?"

"Nggak apa-apa sayang, yang terpenting kamu masih tetap ingat aku."

"Betul Bang, mana mungkin nyimpan foto kamu kalo aku nggak suka."

Bagus merasa tersanjung. Kemudian terseyum lebar.

"Jangan godain aku lagi, Bang."

"Aku akan godain kamu selamanya."

Liza balas tersenyum lebar.

"Udah sayang kamu tidur aja, minggu depan buku Abang naik cetak."

"Oya?"

Liza terseyum seperti menyemangatinya.

* * *

Seperti biasanya, Lusi dan Rara akan bertemu sepanjang koridor kampus menuju kelas untuk mengikuti mata kuliah.

Sejenak Rara memperhatikan wajah cantik sahabatnya. Sepertinya ada sesuatu yang telah terjadi.

"Kamu nangis semalaman?" Tanya Rara tak percaya melihat wajah Lusi yang terlihat sembab.

Lusi hanya terdiam.

"Ini namanya adik menangis satu malam," ujar Rara menggoda.

"Aaah kamu, bukannya ngedukung aku," sungut Lusi.

"Kamu serius?" Tanya Rara.

"Maksudnya?" Lusi balik tanya.

"Suka banget sama si someone?"

"Kok kamu nanya seperti itu, sih? Ya jelas aku suka dong..., kalau nggak ngapain juga aku buang-buang waktu mikirin dia."

"Secara fisik atau...," ucap Rara terputus.

"Awalnya sih saat melihat fisiknya. Tapi lama kelamaan aku jadi jatuh hati," sambung tanpa malu Lusi mengakui.

Rara terseyum tipis.

Dirinya sangatlah mengenal Lusi, terlebih untuk urusan cowok.

Jangan harap seorang Lusi yang memiliki wajah cantik dan rupawan serta bentuk tubuh yang ramping namun berisi akan tertarik sama cowok yang bukan seleranya.

Akhirnya banyak cowok yang menjadi Korban penolakannya. Hingga diantara mereka berubah menjadi sangat membencinya.

Namun ada juga yang masih berusaha menyakin Lusi, seperti Winata Prakoso putra salah satu pengusaha sukses di kota mereka.

Tapi kalau hanya mengandalkan harta kekayaan Bapaknya, Winata salah jika ingin merebut hati Lusi.

Apa yang tidak dapat di beli Lusi dengan harta kekayaan orang tuanya melebihi sepuluh kali lipat dengan harta keluarga Winata.

Dengan status putri satu-satunya, suatu ketika harta kekayaan keluarganya akan dikuasai Lusi.

Gaya hidup Lusi yang terlihat sederhana, seperti ingin menunjukkan kesemua orang bahwa dia tidak memiliki apa-apa.

Cueknya Lusi kepada setiap laki-laki yang mengejarnya dan dipadukan dengan Gaya hidup sederhana, itu yang membuat Rara tetap ingin mempertahankan persahabatan mereka. Rara sangat mengagumi Lusi.

Rara tersenyum sambil mencolek pinggang Lusi.

"Apa-an sih...? Lusi menepis tangan Rara yang masih melekat dipinggangnya.

Bagi Lusi yang terbayang selalu dengan si someone memang hanya bentuk fisiknya.

Tapi setelah semalam baru ia menyadari jika  cintanya kepada si someone tak hanya fisik semata yang dimilikinya; meskipun dirinya tak menyangkal sangat menyukai tubuh si someone.

Sampai sering mengenakan kimono sehabis mandi tanpa dalaman, terus tidur dan memeluk bantal guling. Berharap bermimpi Indah dan guling  berubah menjadi tubuh si someone. Yang akan dipeluknya seerat mungkin.

* * *

Bagas dengan peserta lainnya sedang menghitung azimuth matahari, tiba-tiba getaran ponselnya pada notifikasi WA.

"Sayang, nanti makan siang di kamar aku ya? Lantai tiga." Bunyi WA Liza.

Tentu saja Bagas tidak percaya. Liza sekarang nginap di hotel yang sama dengannya.

"Oke sayang," balas Bagas dengan perasaan yang campur aduk. Ingin rasanya kelas berakhir secepatnya.

Ah, rasanya baru tadi malam Liza video call dengannya. Sekarang wanita pujaannya itu sudah datang jauh-jauh dari Jakarta.

Jantung Bagas berdegup saat kelas berakhir.

Kedua kakinya seakan ingin melayang dan terbang mendahului lift yang membawanya ke lantai tiga.

Saat dilorong kamar lantai tiga, Bagas kirim WA ke Liza.

"Sayang, kamar nomor berapa?" Tanyanya tak sabar.

Liza menjawab sambil menjulurkan kepalanya dari balik pintu kamar.

Bagas tersenyum nakal dan mendekati pintu kamar Liza.

Membuka pintu lebar dan terlihat tubuhnya terbalut handuk, sepertinya baru saja mandi.

Senyumnya yang mereka, membuat Bagas sudah tak tahan lagi. Dipeluknya erat tubuh Liza yang hanya terbalut handuk yang hampir melorot.

Keduanya tenggelam dalam cumbuan, membuat tubuh keduanya mulai memanas.

"Kamu kangen aku, sayang?" Liza berbisik ditelinga Bagas dengan suara manja.

Bagas tak menjawab. Kulumannya masih tertuju pada sepasang belahan dada wanita yang dirindukannya itu.