webnovel

DISETIAP WAKTU

Liza masih menatapnya.

"Kapan kembali ke Jakarta, sayang?" Tanya Bagas.

"Besok siang, Bang," sahut Liza.

Makanan yang dipesan sudah datang, juga minuman.

Saat makan, topik pembicaraan mereka berganti pada pekerjaan. Tentang pekerjaan Liza sebagai editor dan pekerjaan Bagas sebagai penulis.

Menyambung, itu yang terjadi. Apalagi Bagas semakin menyukai dan mendapat wawasan tentang buku seperti apa sebenarnya yang banyak diterima pembaca.

Ah, Liza tak hanya seorang wanita dewasa yang cantik dan menawan. Tapi juga yang memiliki pemikiran yang cerdas, gumam Bagas dalam hati.

Sebenar ada yang masih mengganjal dihati Bagas. Bagaimana mungkin Liza bisa bertahan dengan waktu yang cukup lama untuk menunggunya dan berharap dirinya suatu saat akan muncul dihadapannya.

Terbuat dari apa sebenarnya hati wanita yang duduk dihadapannya ini?

Bagas benar-benar tidak dapat menemukan jawaban.

"Bang, lagi mikir apa sih?"

"Aku kan lagi makan sayang," sangkal Bagas.

"Yang bener, nggak lagi mikir?" Liza mulai menggoda.

"Iya..., aku nggak mikirin apa-apa," Bagas masih menyangkal.

"Oke, sekarang aku mau nanya," ujar Liza.

"Nanya apa?" Tanya Bagas menantang.

"Saat pertama kali video call, apa sih yang terlintas dalam pikiran Abang?" Tanya Liza mengenang peristiwa lima tahun lalu.

Bagas tersenyum.

"Sayang, ngapain sih nanya itu lagi?" Tanya Bagas balik.

"Pengen tau aja, ayolah sayang," ujar Liza sambil membujuk.

"Mmmmhhhh, walaupun aku sempat kaget ketika membaca nama kamu sebagai editor yang saat itu memberitahu naskah buku aku lolos, sepertinya nama yang tidak asing...," jelas Bagas berhenti sejenak.

Liza tersenyum.

"Tapi aku saat itu tidak mau gegabah...," sambung Bagas terputus. Lalu menatap Liza lebih lama seperti ingin melihat apa yang sedang terlintas dalam pikiran Liza.

Tatapan Liza tampak serius untuk mendengar pengakuan Bagas.

"Kemudian seiring waktu yang berjalan ke tahun-tahun berikutnya aku pun tidak mau, bahkan tidak ingin membahas tentang kemiripan nama kamu dengan gadis yang aku kenal," sambung Bagas masih tak lepas dari wajah Liza.

"Padahal setiap naskah buku aku masih kamu yang memeriksa. Dimana saat itu komunikasi yang kita lakukan hanya lewat email, SMS dan telephon. Jadi sama sekali tidak ada alasan untuk mau mengatakan bahwa kamu orang yang sama dengan gadis yang aku kenal. Pokoknya nggak luculah jika aku membenarkan hal tersebut. Kamu pun pasti akan menyangkalnya jika aku melakukannya," jelas Bagas.

"Justru aku sebaliknya, Bang," ucap Liza.

"Maksud kamu?" Tanya Bagas hampir tak terpercaya.

"Setelah buku Abang yang kedua terbit...," ujarnya terputus

"Aku sempat googleing, sih. Dan aku nemu blog Abang, terus liat picture di profile. Ada kemiripan dengan foto yang pernah Abang kasi ke aku," sambung Liza.

"Dan akhirnya saat pertama Abang video call, aku semakin yakin," lanjutnya lagi.

"Aku sih belum yakin sayang," Bagas memberi alasan.

"Kok kamu gitu sih, Bang?" Tanya Liza tak setujuh.

"Bisa aja karena kebetulan mirip."

"Ah, si Abang. Padahal aku udah yakin betul."

Bagas tersenyum melihat reaksi Liza yang menurutnya sangat berlebihan.

Liza akhirnya mencubit lengan Bagas.

"Tapi akhirnya kan aku nanya sama kamu," Bagas mengingatkan.

"Itupun setelah lama banget," protes Liza.

"Terus kamu sendiri juga nggak pernah nanya," Bagas balik protes.

"Aku kan udah nunggu kamu, sayang?"

"Nggak ada salahnya kamu nanya duluan," ujar Bagas.

"Setelah berulang kali video call, baru yakin?" Tanya Liza.

Bagas tersenyum.

Meskipun Bagas dan Liza tak pernah membahas awal perkenalan yang terjadi diantara mereka pada setiap video call, bukan berarti telah melupakan peristiwa itu. Melainkan justru sebaliknya.

Tanpa disadari keduanya, telah menjadikan awal perkenalan mereka sebagai dasar untuk memupuk kedekatan lewat video call yang cukup sering dilakukan.

Selalu berusaha menunjukkan penampilan yang sangat mempesona satu sama lain, itu yang telah terjadi diantara Bagas dan Liza.

Komitmen untuk menyatukan hati keduanya selalu mereka tunjukkan. Seperti menjaga supaya kedekatan tetap terjalin. Hingga saling menjaga agar tidak sampai menyakiti satu sama lain .

Meskipun tidak ada keterbukaan untuk saling mencurahkan isi hati masing-masing, namun jauh didalam hati keduanya telah tumbuh benih-benih cinta.

* * *

Makan malam Lusi dengan papa dan mama, tak pernah terlewatkan.

Seperti malam ini, mereka bertiga menikmati hidangan makan malam sambil membahas hal-hal ringan dari kesibukan Papanya mengurus beberapa perusahaan.

Mamanya sendiri sudah tidak aktif lagi membantu Papanya mengelola perusahaan, karena ingin lebih dekat dengan Lusi.

Putri mereka yang hanya semata wayang tak ingin berada diluar kontrol mereka.

Apalagi Lusi sudah pernah menyuruh mamanya untuk berhenti, mau tak mau harus dituruti.

Sehingga Lusi tidak merasa diabaikan oleh papa dan mamanya.

Sebenarnya mamanya sangat senang ketika Lusi memintanya untuk berhenti. Putrinya itu sangat membutuhkan perhatian. Dan ingin selalu mamanya dia temukan sedang berada di rumah.

"Sayang, kapan kamu liburan?" Tanya mamanya seketika.

"Emangnya kenapa, Ma?" Lusi balik tanya.

"Papa dan Mama mau rapat pemegang saham di Bandung," jelas mamanya.

"Aku ikut ya, Ma?" Pinta Lusi.

"Emang udah liburan?"

"Libur Ma, minggu depan minggu tenang sebelum UAS."

"Pa diatur aja minggu depan rapatnya, mumpung Lusi lagi libur."

"Iya Iya," sahut suaminya seperti tak dapat menolak.

"Wah asyik banget," ucap Lusi dengan wajah sumringah.

Papa dan mamanya tersenyum, ikut senang melihat putri mereka sangat bahagia.

"Pa ma, aku keatas dulu," ujar Lusi.

Seperti mau terbang saat berjalan diatas tangga menuju kamarnya di lantai dua.

Wajah someone seketika melintas dihadapannya. Saatnya bertemu dengan someone, tak perlu menunggu empat bulan lagi.

Apalagi kedatangannya ke Bandung dengan papa dan mamanya dapat menjadi alasan Lusi, bahwa dia tidak seperti ingin mengejar someone. Hanya karena kebetulan mendampingi papa dan mama.

* * *

Bagas dan Liza sudah sampai didepan kamar Bagas.

Awalnya hanya ingin mengantar pakaian yang sudah dibeli Liza, namun Bagas tak menyia-nyiakan kesempatan.

Dipeluknya tubuh Liza dengan erat. Dan mereka pun berpagutan.

Liza tersenyum merekah. Menikmati tangan Bagas menjelajahi dibalik rok mini yang ia kenakan.

"Sayang dikamar aku aja, ntar kalo teman kamu ketuk pintu gimana?" Liza mengingatkan.

"Betul sayang," sahut Bagas baru sadar jika peserta yang lain bersebelahan dengan kamarnya.

Kemudian mereka dengan cepat keluar dari dalam kamar Bagas menuju lif dan hanya lima menit, Bagas dan Liza sudah tenggelam dibalik bedcover. Dengan suhu kamar sudah semakin panas, meskipun suhu AC menunjukkan enam belas derajat.

Tubuh mereka bergetar pada puncak yang ingin mereka capai.

Kemudian melakukannya berulang kali hingga membuat mereka terlelap dalam tidur, dengan posisi  Bagas memeluk tubuh Liza yang polos, seakan tak ingin  kehilangan  wanita yang sangat dicintainya itu.