webnovel

Rumah Sakit

Bagai petir di siang bolong. Kabar buruk mengenai ayahnya membuat Mentari semakin hancur. Awalnya dia mau marah-marah, akan tetapi kabar mengenai situasi dan kondisi malah membuatnya menangis. Tanpa sadar air matanya menetes membasahi kedua pipi. Kabar dari ibunya bagai ledakan yang berada di dalam hatinya. Disaat ada kebahagiaan yang menantinya malah ada kesedihan yang datang tanpa diminta. Keduanya datang dalam waktu bersamaan. Kini pikiran mentari pun langsung campur aduk dan hatinya berkecamuk.

"Mentari, kamu kenapa?" Tanya Rendi khawatir melihat perubahan raut wajah Mentari.

Tidak ada sedikitpun jawaban dari Mentari, dia masih tetap diam dengan tatapan kosong. Air matanya semakin mengalir deras membasahi kedua pipi. Tubuhnya terasa lemas dan keringat dingin menyelimuti telapak tangan dan kakinya. Rasanya saat ini juga dirinya ingin pingsan, akan tetapi sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak membuat orang di sekitarnya merasa panik. Oleh karena itu, tangan kanannya mencengkeram kuat kursi yang didudukinya, sedangkan tangan kirinya menggenggam erat handphonenya agar tidak terjatuh.

"Hei, kamu kenapa?" Tanya Rafli.

Maya dan Sindi langsung memeluk Mentari berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan. Jari-jari Sindi menghapus jejak air mata Mentari. Kini mereka menjadi pusat perhatian, bahkan terdengar suara bisikan anak-anak membicarakan Mentari yang menangis secara tiba-tiba. Sebab, Mentari tidak pernah sekalipun menangis saat berada di sekolah.

Pikiran Mentari semakin terpacu mengenai kabar buruk tadi. Dia memutuskan untuk menguatkan dirinya agar tidak larut dalam kesedihan di lingkungan kebahagiaan yang sudah lama diharapkan oleh semua siswa. Setelah menguatkan diri dan menenangkan pikirannya, dia langsung kabur dari aula. Hampir saja Maya dan Sindi terjatuh akibat ulah Mentari, untung saja ada Rafli dan Rendi yang berada di samping mereka.

"Mentari, kamu mau kemana?!" Teriak sahabatnya secara bersamaan.

Tidak sedikitpun ada jawaban dari Mentari, dia malah semakin mempercepat melangkahkan kaki sambil menundukkan kepala. Semua siswa yang ada di dalam aula menatap ke arah sumber suara. Sahabat Mentari pun merutukki kebodohannya karena mereka baru sadar bahwa seharusnya mereka tidak teriak di dalam ruangan. Akibatnya kepala sekolah yang sedang memberikan sambutan menatapnya tajam dan memberikan kode untuk duduk kembali. Namun, perintah tersebut tidak dipatuhi oleh Rendi, dia malah keluar dari aula untuk mengejar Mentari. Pada saat sampai di depan aula, kedua matanya menyapu lingkungan sekitar dari sebelah timur hingga ke barat untuk mencari keberadaan Mentari, akan tetapi dia tidak menemukan keberadaanya. Akhirnya dia memeutuskan untuk menuju ke pintu gerbang berharap Mentari yang masih berada di depan sana. Lagi-lagi dia kesal kepada dirinya sendiri karena tidak menemukan Mentari.

"Dasar bodoh!" Umpat Rendi kepada dirinya sendiri sambil mengacak rambutnya frustasi. Dia merasa gagal menjadi seorang sahabat karena tidak bisa berada di samping sahabatya yang sedang sedih.

Sedangkan Mentari sedang membekap mulutnya sendiri agar suara isak tangisnya tidak terdengar oleh orang lain. Dia sembunyi di lorong kecil sebelah aula. Hal ini memang sebagian dari rencanya untuk menghindari kejaran sahabatnya. Soal make up akan berantakan akibat air mata sudah tidak dia pedulikan lagi. Dia melepas heels yang sedang dipakai untuk memudahkannya kabur dari sekolah. Setelah Rendi kembali masuk ke dalam aula, dia memutuskan berlari menuju ke pintu gerbang utama sekolah lewat pintu samping agar tidak ada yang mengetahuinya.

Bruk!

Mentari terjatuh saat tidak sengaja menabrak seseorang. Dia bangkit sambil menundukkan kepala tidak berani menatap orang yang berada di depannya tersebut. Kali ini dia tidak berani marah-marah, padahal biasanya dia akan marah ketika ada orang yang menabrak dirinya, baik kesalahan orang tersebut maupun dirinya sendiri,.

"Maaf," ucap Mentari.

Baru saat mau melanjutkan berlari, tangan orang tersebut menyangkal bahunya. "Mau kemana kamu?"

"Pak Bambang?" Gumam Mentari ketika baru menyadari bahwa orang yang ditabraknya adalah wali kelasnya sendiri. Dia kembali menundukkan kepala sambil berkata, "Maaf tadi saya tidak sengaja, Pak."

"Tidak apa-apa. Kamu kenapa menagis dan tampilan kamu terlihat sangat berantakan?" Tanya Pak Bambang khawatir.

"Tidak apa-apa," jawab Mentari lalu pergi meninggalkan Pak Bambang. Baru beberapa melangkahkan kaki, dirinya kembali dicengkal oleh Pak Bambang. Namun, kali ini Mentari memutuskan untuk menghempaskan tangan gurunya tersebut dan langsung lari.

"Mentari, tunggu!" Pak Bambang mengejar Mentari.

Sebuah keberuntungan bagi Mentari, di depan sekolahnya ada tukang ojek yang biasa mangkal. Dia melangkahkan kaki cukup lebar menuju ke tukang ojek tersebut sangat tergesa-gesa. Air matanya tak hentinya membasahi kedua pipi.

"Pak, tolong antarkan saya ke Rumah Sakit Setia Bhakti!" Pinta Mentari.

Tukang ojek tersebut memberikan helm kepada Mentari. Helm tersebut segera dipakai. Jantungnya berdetak kencang saat melihat jaraknya dengan Pak Bambang hampir dekat. Dia memang sengaja tidak memberi tahu siapapun mengenai kejadian yang menimpa keluarganya karena tidak ingin mendapatkan simpati palsu dari orang lain dan bahan perbincangan di kalangan lingkungan sekitar maupun dunia maya mengingat bahwa dirinya selalu eksis di dunia maya. Dia yakin bahwa dunia maya jauh lebih kejam daripada dunia nyata. Cukup dengan kalimat yang berasal dari ketikan jari saja cukup menusuk ke dalam hati saat dibaca.

"Pak, cepat jalan!"

"Siap, Neng!" Sahut tukang ojek.

Tepat saat jaraknya dengan Pak Bambang hanya 1 meter saja, tukang ojek tersebut melajukan motornya. Akhirnya Mentari bisa bernapas lega karena berhasil terlepas dari kejaran wali kelasnya. Dia sadar bahwa lama-kelamaan maka beberapa orang akan mengetahui kondisinya, setidaknya bukan di waktu kebahagian banyak orang.

Selama perjalanan, Mentari terus menitikkan air matanya tanpa suara isak tangis. Melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya membuat hatinya semakin hancur. Lagi-lagi pandangannya hampir buram, tapi dia terus meyakinkan diri agar kuat sampai di tempat tujuan.

"Neng, kenapa nangis terus? Pasti terharu banget ya karena hari ini wisuda. Dulu anak saya juga nangis ketika wisuda," kata tukang ojek.

Ucapan tukang ojek tersebut seakan obat penghibur. Mentari hanya tersenyum getir, dia baru menyadari bahwa seharusnya kali ini dirinya menangis karena kebahagiaan, bukan karena kesedihan. Rasanya dia ingin marah pada saat ini juga, tapi dia sadar bahwa manusia tidak bisa melawan takdir. Jari-jarinya menghapus jejak air matanya.

Tak lama kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Mentari segera turun lalu mengembalikan helmnya sambil bertanya, "Bayarnya berapa, Pak?"

"Dua puluh ribu saja, Neng," jawab tukang ojek.

Mentari memberikan uang selembar berwarna hijau. "Ini uangnya, Pak."

"Terima kasih. Neng, kamu ingin tahu sesuatu nggak?" Tanya tukang ojek.

"Sesuatu apa, Pak?"

"Jika di siang hari ada matahari dan di malam hari ada bulan, maka percayalah bahwa setiap permasalan tentu ada jalan keluar," kata tukang ojek.

Mentari tersenyum. "Terima kasih buat motivasinya, Pak."

Mentari langsung menuju ke dalam rumah sakit untuk mencari kamar yang sudah sesuai alamat yang telah dikirimkan ibunya. Banyak orang yang menatapnya heran karena masuk ke dalam rumah sakit masih berbalut baju toga. Tangan kanannya menenteng heels, sedangkan tangan kirinya menteng topi toga. Tampilan Mentari sudah tidak serapi tadi, yaitu pada saat sampai di sekolah. Saat ini, kedua matanya terlihat sangat sembab, bahkan dia terlihat seperti orang yang menutup kedua matanya karena memang bentuknya sipit.

Pada saat sampai di lantai dua, dia menatap adik dan ibunya yang sedang menagis di kursi tunggu. Kedua kakinya bergetar ketika memutuskan akan melangkahkan kaki mendekatinya. Kedua tangannya meraba tembok untuk mengimbangi dan tumpuan tubuhnya agar tidak jatuh.

Pada saat sampai di depan ibunya, dia menangis sesenggukkan dan kali ini dia sudah tidak kuasa menahan isak tangisnya. Tidak peduli statusnya yang sudah menjadi gadis remaja, tetapi masih terlihat cengeng. Tatapan ibunya juga tidak ada bedanya dengan tatapan Mentari.

"Kenapa bisa seperti ini, Bu? Padahal aku sudah menunggu kalian penuh harap. Satu hal lagi yang buat aku tak kuasa menahan rasa ini, disaat Ayah dan Ibu benar-benar meluangkan awaktu untuk Mentari malah cobaan datang secara bersamaan. Dunia kejam buat Mentari, hiks," ujar Mentari di depan ibunya.

Rena memeluk tubuh mungil Mentari. "Ibu mengaku selama ini kurang perhatian sama kamu, maafkan Ayah dan Ibu."

"Beberapa kali kalian minta maaf dan sekarang apa yang terjadi? Hati Mentari sangat hancur."

Rena melepas pelukan Mentari lalu menatapnya nanar. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang dirasakan Mentari pada saat ini. Andai dirinya berada di posisi Mentari juga tidak akan kuat. Pikirannya sejenak mengingat masa lalu saat dirinya selesai menempuh pendidikan. Pada saat itulah hari terakhir bertemu dengan teman-temannya, meskipun tidak semuanya.

Tangan kanan Rena mengelus pelan puncak kepala Mentari. Dia tersenyum getir ketika melihat tatanan rambut Mentari sudah acak-acakan. Satu hal yang membuat hati Rena semakin ngilu ketika melihat anting mutiara pemberian suaminya dikenakan oleh putri sulungnya. Anting tersebut memang sudah dihadiahkan oleh suaminya sebagai bentuk ucapan selamat atas nilai yang dicapai Mentari sangat memuaskan.

"Bukan cuma kamu yang hancur, tapi kita. Ayah kamu kakinya terpaksa harus diamputasi, mobil kita sudah tidak bisa digunakan lagi karena kecelakaan yang menimpa pada ayah kamu sangat parah, dan satu hal lagi yang harus kamu tahu bahwa kita sudah tidak punya tempat untuk berteduh."

Mentari diam sejenak untuk mencerna kata-kata yang diucapkan ibunya. Dia menggelengkan kepala masih tidak percaya. Antara bayangan dan kenyataan, rasanya dia tidak bisa membedakan keduanya. Setelah itu, dia kembali menatap ibunya dengan sorot mata pilu. "Nggak, ini pasti nggak mungkin, Bu? Katakan kepada Mentari bahwa ini semua hanya mimpi!"

"Kita sudah tidak punya apa-apa lagi Mentari. Usaha Ayah kamu bangkrut dan rumah kita benar-benar sudah disita oleh rentenir karena hutang ayahmu yang terlalu banyak akibat pernah ditipu oleh temannya sendiri."

Mentari sudah tidak sanggup berkata-kata lagi. Dia meninggalkan ibunya menuju ke kaca jendela yang berada di sampingnya. Di dalam ruangan tersebut terlihat ayahnya terbaring lemah dan masih ditangani oleh dokter. Banyak kabel ditubuh ayahnya. Hati Mentari semakin hancur melihat pahlawannya tak berdaya. Tiba-tiba kakinya kembali terasa lemas dan kali ini dia sudah tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri, hingga akhirnya dia pun jatuh ke lantai dengan tangisnya semakin pecah.

"Kak, Ayah kita masih hidup kan?" Tanya Rehan, dia adalah adik satu-satunya Mentari yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Mentari memeluk tubuh mungil Rehan. "Kita berdoa yang terbaik buat Ayah."