webnovel

Nyaris Ketahuan

Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?

Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju.Menurutku, mungkin ini cara Allah menyatukan kami.

“Suhada, kamu dipanggil Bu Rani—dosen mata kuliah akuntansi—di ruang dosen,” sapa Pak Husen, penjaga kampus.

“Oh, iya, Pak.” Aku segera berdiri dan memakai ransel, lalu sedikit tergesa turun. Untuk menuju ke gedung ekonomi, harus menuruni anak-anak tangga yang cukup panjang dari musala. Sampai di ruangan dosen, aku langsung menemui Bu Rani.

“Permisi, Bu. Apa Ibu panggil saya?”

“Oh, iya. Mau minta tolong belikan Ibu kertas ukuran A4, ya! Di sekitar sini lagi habis semua.”

“Baik, Bu.”

Bu Rani mengangsurkan uang, dan sedikit membungkuk aku menerimanya. Setelah itu, aku langsung menuju toko alat tulis kantor dengan mengendarai sepeda motor. Suasana toko cukup ramai, sehingga aku memutuskan duduk dulu untuk menunggu di sekitar toko. Saat sedang menunggu gawai berbunyi, segera aku merogoh saku celana dan membuka pesannya. Ternyata dari Prio.

[Bagaimana? Apa kalian sudah menikah?]

Aku tak berniat membalas, tapi gawai kembali bergetar.

[Aku meminta seseorang memata-mataimu. Katanya kalian sudah menikah, bahkan kini Hana tinggal di rumahmu.]

Sial! Umpatku dalam hati. Aku memutuskan membalasnya.

[Ya, kami sudah menikah.]

[Bagus, jaga baik-baik calon istriku. Ingat perjanjian kita, JANGAN SENTUH HANA! Jika urusanku sudah selesai, aku akan kembali ke Indonesia.]

“Astagfirullah,” ucapku lirih.

Dia bahkan melarangku menyentuh istri sendiri. Saat sadar, ternyata suasana sudah agak sepi, aku segera beranjak dan mendekati pelayan, lalu membeli pesanan Bu Rani.

***

Aku sudah selesai menyapu dan mengepel semua gedung, tinggal membersihkan gedung ekonomi. Hanya saja, aku ingat janji pada Hana. Aku akan membersihkan gedung itu setelah dia pulang. Berapa kali aku mengintip, Hana dan teman-temannya masih asyik bercanda di bawah sana. Bisa-bisa aku pulang malam, kalau menunggu mereka pulang. Apa aku turun saja, supaya Hana menjauh dari sana dan segera pulang?

Akhirnya aku memutuskan turun dengan membawa ember berisi air berserta kain pel. Tampak Hana yang duduk di dekat jendela, menatapku tak berkedip dari bawah sana. Mungkin dia takut aku memasuki kelasnya. Aku mengepel kelas lain dulu, memberi kesempatan pada Hana supaya pergi. Kini tiba saatnya aku membersihkan kelas yang posisinya tepat ada di samping kelas Hana. Samar-samar, aku masih bisa mendengar suara mereka. Aku fokus pada pekerjaan, tanpa ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Saat sedang asyik menyapu kelas, Hana melintas bersama teman-temannya. Aku menoleh, dan pandangan kami bertemu dari balik kaca jendela. Cukup lama kami saling berpandangan, hingga akhirnya Hana kembali fokus menatap ke depan dan pergi begitu saja. Sementara aku kembali sibuk dengan sapu di tangan. Tanpa kusangka, salah seorang teman Hana masuk ke kelas yang kubersihkan.

“Hai, Mas!” sapanya yang membuatku menghentikan aktivitas.

Aku tersenyum samar.

Dia yang tadinya hanya berdiri di tengah-tengah pintu, kini masuk dan berdiri tak jauh dariku. Dua temannya ikut memasuki ruangan. Aku hanya diam, menunggu apa yang ingin dia katakan. Kulihat Hana terlihat gusar di luar sana, bahasa tubuhnya mengatakan kalau dia sangat ketakutan. Beberapa kali wanita itu menggigiti kuku tangan, lalu berbalik dan ragu mengikuti langkah teman-temannya memasuki kelas ini.

“Mas, perlu bantuan enggak?” tanya wanita berambut agak ikal itu.

Aku tersenyum tipis. “Enggak, Mbak. Makasih.”

“Masnya bakal sendirian saja di sini, kalau kita nanti sudah pulang. Eh, kalau tiba-tiba masnya kesurupan setelah kita tinggal sendirian,bagaimana? Katanya gedung ini angker,” goda wanita itu sekali lagi.

“Insyaallah enggak, Mbak. Saya sudah biasa,” sahutku mencoba bersikap biasa saja. Mata ini fokus menatap Hana yang berdiri di belakang tubuh mereka, meskipun posisi wanita yang kini kuketahui bernama Maria itu tepat ada di hadapanku.

“Umur berapa, Mas?” Kali wanita yang berdiri di dekat Hana yang bertanya.

“Saya, 25 tahun.”

“Sejak kapan kerja di sini? Wah, ternyata cukup dewasa,” celetuk yang satunya.

“Saya agak terlambat kuliah, karena harus kerja dulu baru bisa berkuliah. Sudah hampir satu tahun kerja di sini, Mbak.”

“Aku duluan kalau kalian enggak mau pulang!” kata Hana tiba-tiba dengan wajah yang terlihat kesal.

“Eh, Mas. Kalau begitu, kami permisi dulu, ya! Masnya keren, sudah cakep, kerja apa saja mau. Enggak gengsi, dan tetap memprioritaskan sekolah,” kata Maria.

Aku diam saja. Kulihat Hana menaiki anak tangga dengan wajah cemberut. Apa dia marah, karena aku menjawab pertanyaan teman-temannya? Atau ... dia marah karena aku membersihkan kelas sebelum dia pulang? Apa pun itu, semoga Allah melindungi dia di jalan sampai ke rumah. Aamiin.

Aku telah selesai, kuletakkan kain pel dan ember di kamar mandi, lalu mencuci tangan dan naik ke lantai atas. Setelah sampai di atas, aku melihat Hana menuju kantin. Di sana sudah sepi, dan beberapa lampu sudah dimatikan. Aku yang awalnya akan ke parkiran mengurungkan niat, dan malah ikut menuju kantin untuk menemuinya. Tampak Hana terlihat sibuk dan menunduk beberapa kali, memeriksa setiap sudut seperti mencari sesuatu. Aku melangkah lebih mendekat, dan kini sudah ada di balik tubuh wanita itu.

“Cari apa?” tanyaku yang membuatnya berbalik seketika.

“Eh, Mas. Kamu di sini? Cari kotak bekal yang kamu bawain tadi pagi.” Kemudian dia sibuk kembali.

“Memang kamu taruh di mana?” tanyaku, ikut berusaha mencarinya.

“Di meja yang ini, Mas!” Dia menunjuk salah satu meja.

Akhirnya kami mencarinya berdua. Aku berinisiatif melihat kotak sampah, lalu membukanya, sementara Hana masih memeriksa beberapa tempat. Aku tersenyum tipis, saat melihat kotak makanan itu sudah ada di tempat sampah. Begitu banyak makanan sisa di atas dan sekitarnya, sehingga kuputuskan tidak mengambil benda tersebut. Aku kembali menutup kotak sampah dan mendekati Hana yang sudah duduk di kursi kayu dengan wajah putus asa.

“Sudah, nanti aku belikan lagi.”

“Bukan masalah itu, aku enggak enak sama kamu.”

“Enggak apa-apa, kok. Enggak usah dipikirin.”

Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan. Beberapa temannya memanggil nama Hana secara berulang. Bagaimana ini? Kami ada di tempat yang sama, dan kini duduk berdekatan. Hana menatapku dengan saksama, begitu juga aku.

“Mas, teman-teman aku!” serunya dengan wajah pucat.