webnovel

Lelaki Baik

Pov : Hana

***

Aku adalah wanita yang menjaga aurat, tapi belum sempurna menjaga taat. Dulu, pakai hijab karena ikut teman-teman yang semuanya sudah menutup aurat. Salat masih suka ogah-ogahan. Mungkin, kejadian ini juga jadi salah satu teguran dari Tuhan. Tanpa kusadari, rasa bersalah mengentak-entak di dalam dada. Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan membalas tatapan hangat Mas Suhada. Pria yang beberapa waktu lalu sangat menyebalkan, tapi kini berubah menjadi sangat hangat.

Tatapannya mampu meluluhlantakkan egoku. Aku terdiam cukup lama, mencerna kata-katanya yang lembut, tapi membekas dan meninggalkan jejak di lubuk hati yang paling dalam. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal. Pasangan yang baik memang yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain.

“Makasih nasihatnya,” sahutku kemudian.

ku beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, membuka hijab dan menghidupkan keran. Kubasuh telapak tangan, lalu berkumur-kumur sebagai awal dari wudu. Setelahnya, langsung melangitkan doa. Biasanya jika di rumah, aku hanya salat Magrib, Isya, dan Asar saja. Subuh, bisa dihitung dengan jari. Zuhur kadang masih di kampus, sehingga malas melakukannya. Aku membentang sajadah dan menjalankan salat Isya sendirian, sementara Mas Suhada keluar dari kamar.

***

“Ibu, tadi Hada lupa kasih tahu, kalau kami beli martabak pas pulang. Ibu mau?” tanya pria berhidung mancung itu pada ibunya.

Aku baru saja keluar kamar, dan mendapati Mas Hada sedang mengobrol Ibu dengan hangat. Aku duduk agak jauh dari mereka, tapi baik Ibu ataupun Mas Hada tak ada yang menyadari kehadiranku.

“Nak.”

“Iya, Bu?”

“Bagaimana kuliahmu?”

“Alhamdulillah lancar, Bu.”

“Pekerjaanmu?”

“Alhamdulillah baik-baik saja, kok, Bu.”

“Kamu dulu sering keluar kota. Kenapa sekarang enggak pernah lagi?”

Mas Hada diam. Terlihat dia menarik napas yang panjang, setelahnya menyuapi sang ibu dengan penuh kasih sayang.

“Kata manajernya, Hada disuruh diam saja di rumah. Jaga Ibu.”

Ibu tersenyum, lalu tangannya terangkat hendak menyentuh wajah sang anak. “Kamu bisa saja. Di mana kamu bekerja? Kok, Ibu lupa terus nama perusahaan itu?”

“PT. Alam Sejahtera.”

PT. Alam Sejahtera? Di mana itu? Kenapa Mas Hada berbohong pada Ibu? Aku masih diam, mendengarkan mereka bicara.

“Si Hana mana?”

“Tidur, Bu.”

“Anak itu pasti cantik banget. Bayangan Ibu, matanya besar, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan bibirnya tipis.”

Aku tersenyum kecil mendengarnya.

“Ibu benar. Satu lagi, dia galak,” bisik Mas Hada.

Mataku langsung melotot mendengarnya. Ibu tertawa lepas.

“Wanita memang seperti itu, Nak. Kapan-kapan, Ibu pengin ketemu sama besan. Pernikahan kalian yang mendadak ini pasti bikin kaget semua orang.”

Mas Hada tersenyum.Dia mengambil secangkir teh hangat, dan meminumkannya pada Ibu. Mereka bicara dengan sangat akrab. Ini pertama kalinya aku melihat keluarga yang seperti ini. Di rumah, meski kami saling menyayangi, tapi kami sibuk dengan urusan masing-masing. Mas Irwan yang sibuk dengan usaha ternaknya, Ibu yang sibuk dengan usaha kulinernya, dan aku sibuk dengan urusanku sendiri; kuliah, hang out dengan teman-teman, dan lain sebagainya. Perlahan, aku kembali masuk ke kamar, lalu berbaring miring menghadap ke dinding.

“Belum tidur?” sapa Mas Hada yang tiba-tiba masuk ke kamar.

“Belum.”

Dia mendekat, kemudian membentang ambal di bawah. “Besok ada kuliah, kan? Tidurlah.”

Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan, tapi takut dia tersinggung. Awalnya aku sangat jengkel dan kesal dengan pria satu ini. Hanya saja, melihat sikap dan caranya memperlakukan Ibu, membuatku jadi merasa tidak pantas bersikap asal-asalan.“Mas.”

“Ya?”

“Besok aku akan ke kampus. Ada jam pagi dua mata kuliah, dan malam satu mata kuliah juga.”

“Oh, iya. Enggak apa-apa.”

“Yang ingin aku katakan ....” Aku memejamkan mata, takut Mas Hada tersinggung dengan apa yang akan aku katakan.

“Katakan saja,enggak apa-apa.”

“Dulu, aku sering lihat Mas menyapu kelas, tepat saat kami keluar ruangan. Hanya saja berhubung aku enggak pernah memperhatikan, jadi aku enggak begitu ingat dengan wajah, Mas. Kalau besok, bolehkah Mas membersihkan kelas setelah keadaan kampus sepi?”

Hening. Aku meremas tangan. Sungguh, aku takut menyinggung perasaannya.

“Kamu malu?”

“Bukan. Aku hanya belum siap teman-teman tahu yang sebenarnya.”

Terdengar Mas Hada tertawa kecil. “Iya, aku, kan sudah bilang. Aku berjanji enggak akan ada yang tahu mengenai hubungan kita.”

“Makasih, ya, Mas.”

“Sama-sama.”

Ada jeda setelah pembicaraan terakhir kami, hingga pada akhirnya aku merasa ada yang tiba-tiba menjawil lengan. Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Mas Hada sedang membungkuk ke arahku. Baru saja mau marah dia berkata,

“Tukar saja bantalnya. Ini lebih empuk. Insyaallah, lebih nyaman di kepalamu.”

Mataku yang sudah melotot mengendur seketika.“Oh, iya.” Aku duduk dan Mas Hada menukar bantal. Dia menepuk-nepuk bantalku terlebih dahulu, baru memintaku kembali berbaring. Ya Allah, hampir suuzan. Aku pikir dia mau berbuat hal nekat lagi.

“Tidurlah, jangan banyak berpikir. Besok mau kuliah.”

“Iya, Mas.”

***

“Mau aku anter?” tanya Mas Hada saat aku sudah rapi, bersiap akan pergi ke kampus.

“Enggak usah, Mas. Naik taksi OL saja.”

“Bener?”

“Iya.”

Aku segera keluar kamar, dan menemui Ibu yang sedang berjemur di luar.“Nanti Ibu sama siapa?” tanyaku sambil mencium punggung tangannya.

“Nanti ada Bik Rahmi. Dia adik Ibu yang suka bantu-bantu di sini.”

“Oh, begitu. Ya sudah, Hana berangkat kuliah dulu, ya, Bu.”

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan.”

“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Baru saja aku akan melangkah, Mas Hada memanggilku. “Hana!”

Aku menoleh, dan dia berjalan cepat ke arahku. Pria itu membawa sesuatu di tangannya, lalu mengangsurkannya padaku.“Apa ini, Mas?”

“Ini nasi goreng. Tadi pagi kamu enggak sarapan, saking lamanya berdandan.”

Ragu, aku mengambil kotak bekal itu. Bahkan, Ibu pun tidak pernah seperhatian ini padaku, meskipun dia punya usaha kuliner yang cukup besar.“Oh. Makasih, ya.”

“Jangan lupa, sampai kampus di makan. Nanti bisa kena mag, kalau telat makan.”

“Iya. Ya sudah, assalamu’alaikum.” Aku mengambil punggung tangannya dan mencium dengan takzim.

“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan.”

Aku hanya mengangguk. Menit berikutnya, aku sudah ada di dalam taksi OL. Gawai bergetar dan ada pemberitahuan di sana. Ternyata pemberitahuan dari mobile banking bahwa Mas Irwan sudah mentransferku sejumlah uang bulanan, seperti biasa. Aku memandangi kotak bekal di pangkuan, kemudian memikirkan pertemuanku yang tak masuk akal dengan Mas Suhada. Aku tidak pernah berpikir, kalau di dunia ini masih ada pria sebaik dia.

***

“Cie, cie, cie yang pengantin baru.” Ketiga temanku menggoda.

“Apaan, sih?” Aku tak mengacuhkan mereka. Tetap kalem menyeruput es susu di kantin siang itu sambil memakan nasi goreng masakannya Mas Hada.

“Bagaimana sama suami baru kamu?” tanya Kiki.

“Ya,begitu. Namanya suami istri, mau bagaimana lagi?”

“Ah, enggak seru. Kok, lempeng saja, sih?” sahut Maria.

“Biasanya nih ya, pengantin baru itu ceritanya penuh dengan bunga-bunga dan madu. Lah, kamu? Penuh dengan serabut.” Kini si Isna yang bersuara.

“Loh, kok, serabut, sih?” tanyaku sewot sambil menyedot habis es susu yang tersisa.

“Ya, apa lagi coba? Muka kusut, sikapnya lempeng kayak enggak ada semangatnya.”

“Bukan begitu. Apa yang mau aku ceritain?”

“Ceritain pekerjaan suamimu kek, kebiasaannya kek, keluarganya kek, atau apa sajalah.”

ya Tuhan, bagaimana ini??