webnovel

Menari-nari

Dia menari dan menari, tanpa henti. Terus berputar-putar dalam ritme tanpa akhir, terjebak dalam aliran waktu yang terhenti, untuknya di dunianya.

Maraa · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
1 Chs

01 : Menari Bersama

"Jangan pulang terlalu malam! Badan lu juga perlu istirahat!" Seseorang berseru dari sudut ruangan, menghentikan gerakan tari seorang gadis yang terlihat sedang fokus di tengah ruangan.

"Iya, latihan bentar lagi. You tau kan, pertunjukan ini penting banget. Semuanya harus sempurna dan flawless." Jawab gadis itu sambil menyeka keringat di dahinya. Ia tidak menoleh, hanya menatap rekannya dari pantulan cermin yang ada di depannya.

"Ambis banget jadi orang. Lu emang penari utamanya, tapi lu sadar 'kan? Penari yang lain pada ngomongin lu gara-gara tiap sesi latihan lu bisa ngulangin segmen sampe beberapa kali, cuma gara-gara ada yang telat setengah tempo atau gara-gara ada that-so-called-gerakan tambahan sia-sia?" Gadis itu mendekat ke tengah ruangan sambil membetulkan posisi ranselnya agar nyaman di punggung.

Gadis di tengah ruangan itu hanya mengangkat bahu dan mendekati perangkat pemutar suara. Menekan tombol untuk mengulang lagu pengiring dari awal. "Lemah sih kalau segitu aja udah protes, ga usah jadi penari kalau ga mau perfecting your moves. You juga kalo ada waktu kritik dan banyak bicara kayak gini, mendingan you latihan aja sama gue gimana? You punya tempo udah perfect, tapi ada beberapa gerakan yang masih overpowered, kurang pas aja."

"Sakit lu ah. Mending gue balik daripada latihan sama lu, gue masih punya kehidupan di luar sana. Ga kayak lu yang udah no life. Dahlah, gue pulang dulu. Bye, Rena!" Gadis yang sedari tadi protes itu memasang wajah enggan dan beranjak ke arah pintu keluar.

"Yo. Bye, Sani! Eh kalo ortu gue nelpon, bilangin gue masih latihan di sanggar ya. Mungkin pulang jam 11 nanti."

"Ogah. Lu aja yang bilangin mereka." Gadis yang dipanggil Sani berhenti sejenak di ambang pintu, menjawab perintah dari Rena yang sudah mulai kembali menari di tengah ruangan.

"Siapa tau mereka telpon pas gue lagi fokus nari. Pasti mereka bakal nelpon you." Jawab Rena sambil tetap fokus menari di tengah ruangan.

Sani menghela nafas sebelum beranjak keluar ruangan dan menutup pintu ruang studio, sementara Rena kembali fokus pada latihannya.

***

"Mbak Sani, kemarin Mbak Rena pulang jam berapa dari sanggar?" Seseorang langsung mengahampiri Sani begitu ia masuk ke lobby sanggar.

Sani memandangi pemuda yang bertanya padanya sambil mengerutkan dahi. "Kenapa nanya?"

"Anu mbak Sani… tadi Jeje kan datang kepagian, tapi ya kok ada suara gending dari studio, ternyata mbak Rena udah ada di studio dan udah mulai latihan, mbak. Jeje masuk ke studio ya kaget, Jeje kira demit lagi nari mbak…" Pemuda itu berhenti sebentar, terlihat ragu-ragu sebelum meneruskan perkataannya. "Yo, mbak tolong ingetin, mbak Rena…"

Sani merapatkan bibirnya menahan semburan tawa setelah mendengar cerita Jeje. Ia hanya mengangguk-angguk kecil dan mengibaskan tangan pada Jeje, sebagai tanda bahwa dia akan urus sahabatnya itu.

Jeje tampak puas dengan reaksi Sani dan kembali ke kumpulan teman-temannya yang langsung kembali heboh. Mungkin mereka langsung bergibah tentang Rena, pikir Sani.

Sani bergegas menuju ruang studio besar yang dipakai untuk latihan pertunjukkan. Sayup-sayup memang sudah terdengar suara gending dari dalam ruangan. Gila! Ini sih sudah tiga per empat pertunjukkan, Sani mengumpat dalam hati.

Gadis itu menghambur masuk ke arah pemutar audio dan langsung mematikan musik pengiring, membuat Rena yang sedang menari serta merta berhenti dan langsung berkacak pinggang.

"Lu nggak pulang Ren?" Semburnya sambil membelalak.

Rena menyeka keringatnya kemudian kembali berkacak pinggang. "Nggak. Kemaren gue selesai jam 12, terus mata gue terasa ngantuk banget, jadi gue tidur aja di sudut situ." Ia menelengkan kepalanya ke arah sudut yang kemarin ia pakai untuk tidur.

"Lu sadar ga? Bau badan lu udah bisa jadi bahan gas beracun." Sani mengeryit.

"Iya, sadar. Gue udah minta Reno nganterin sarapan, alat mandi, sama baju gue. Calm, babe." Jawabnya asal sambil mendekati Sani dan pemutar audio, hendak kembali memutar music pengiring yang dimatikan Sani.

Sani mencabut steker pemutar audio dari tempatnya. "No, girl. Not yet. Sesi latihan belum dimulai, lu belum sarapan, belum mandi, bau bangkai, dan lu udah hampir selesai latihan satu performance. Gila apa?"

"You salah. Sebenarnya sih, tadi itu putaran kedua gue." Jawabnya bangga.

"Gila, malah bangga si sinting." Umpat Sani keras-keras.

"Bukan sinting, tapi dedikasinya besar. Malah seharusnya kita mulai mencontoh Rena dan dedikasinya." Sebuah suara berat menyela umpatan Sani.

"Mampus. Orang sinting yang lain." Umpat Sani terang-terangan.

. . .