webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
88 Chs

Pertemuan Tak Terduga

Dua hari berlalu, namun Bryan masih tetap bersikukuh dengan sikap diamnya. Tak di duga, hari ini Sasya sudah boleh melepas perban. Tapi Sasya tidak mau, ia bersikeras menanti Bryan.

Sasya ingin Bryan lah orang yang pertama ia lihat. Ia memutuskan keluar dari ruang inapnya. Menuju taman belakang rumah sakit, yang entah sejak kapan Sasya sudah menghafal jalan kesana.

Sasya tersenyum, ia duduk di rumput ketika sudah sampai di taman. Menghirup nafas sebanyak-banyaknya, Sasya merasa rileks. Apalagi saat mencium bau bunga, tangannya meraba rumput berharap didekatnya ada setangkai bunga atau malah lebih.

"Kau mencari apa." Ujar seseorang tiba-tiba berada di belakangnya.

"En? Aku mencari bunga."

Dahinya berkerut bingung, ia mencoba mengingat suara siapa yang didengarnya ini?

E-Erick Georgino!!!! Pekik Sasya dalam hati. Bagaimana bisa sepupu Bagas ada disini? Kenapa juga... oh tidak. Apa pemuda itu tau jika dia saat ini sedang berbicara dengan Sasya?

"Hei kenapa kau diam? Aku bicara padamu." Ucapnya dengan nada kesal.

Sasya masih terdiam, ia tak tau harus bagaimana. "Mungkin saja dia tak berbicara padaku kan? Orang sakit disini banyak. Jadi bukan hanya aku disini." Ucap Sasya meyakinkan dirinya dalam hati.

"Ck! Bukan cuma gak bisa liat, ternyata kamu juga tuli." Gerutunya.

Tiba-tiba sepasang lengan memeluk Sasya dari belakang. Wangi ini.... Sasya merindukannya, ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang pria yang memeluknya itu.

"Siapa yang kau sebut tuli?" Tanya Bryan dengan nada dingin.

"Siapa lagi kalau bukan gadis dalam pelukanmu itu." Sahut Erick dengan nada mengejek.

Tanpa sadar tangan Bryan mengepal, alisnya menukik tajam. Bryan tak suka calon istrinya diejek begitu.

Ingin membalas, tapi gadis yang berada dipelukannya malah seperti ingin dimanja.

"Bry.. kenapa baru dateng? Kamu kemana aja?" Bisik Sasya manja.

Bryan mengulas senyum tipis, ia mengusap pipi calon istrinya pelan, lembut penuh perasaan. "Saya disamping kamu terus kok, kamunya aja yang ga sadar." Balas Bryan berbisik juga.

Erick yang melihat pemandangan itu mengernyit jijik. Sebelum meninggalkan tempat tersebut.

Sasya berbalik, membenamkan wajah pada dada Bryan. "Buka perbannya disini aja."

Bryan menaikan satu alisnya heran, lalu bertanya 'kenapa?'

"Aku mau liat kamu.." jawab Sasya sambil tersenyum manis.

Ah.. ingin rasanya Bryan berteriak kencang karena senang.

"Saya panggil Lian dulu."

Tak berapa lama setelah Bryan menghubungi Lian, dokter juga sahabatnya itu sampai disana.

Pria itu tampak tak senang, Bryan sendiri sudah tau jawabannya.

"Kenapa gak di dalam saja?" Tanya Lian disela membuka perban Sasya.

"Sasya maunya disini." Jawab Bryan seadanya.

Jantung Bryan berdetak dengan keras, ia menatap penasaran pada Sasya.

"Coba buka mata kamu pelan-pelan.. inget pelan-pelan!" Ujar Lian mengintrupsi.

Sasya menurut, ia membuka matanya perlahan. Samar-samar... Sasya melihat warna hijau rumput, warna hitam juga blazer putih dokter Lian.

Memejamkan matanya sekali lagi, dan membukanya perlahan.

Kali ini sudah lebih jelas, ia tersenyum manis pada Bryan.

Iya, Sasya tau. Pria didepannya ini adalah calon suaminya. Karena disana hanyalah mereka bertiga, Sasya dengan gampang mengingatnya. Sasya memeluk leher Bryan erat, "Makasih banyak Bry.." bisik Sasya pada pria itu.

Kemudian tersadar, Sasya melepas pelukannya lalu menatap Lian.

"Termakasih dokter Lian!" Serunya dengan senyum yang mengembang.

Lian hanya mengangguk, entah ia harus berekspresi seperti apa.

"Bryan.." panggilnya lembut.

Yang dipanggil menoleh dan menaikan sebelah alisnya penasaran.

Tindakan Bryan membuat pria tampan itu semakin tampan saja.

"Aku harus menghukummu karena mendiamkan aku selama dua hari." Ucap Sasya tegas.

Bibir Bryan berkedut, ia ingin tertawa. Tapi sebisa mungkin Bryan menahannya.

"Em.. saya permisi." Pamit Lian dengan nada pelan, wajahnya memerah menyaksikan sahabatnya dengan pasiennya seperti itu.

Seperti itu? Seperti apa Lian? Dengusnya kasar.

Bryan menangkup kedua pipi gembil Sasya. Ia menggesekkan hidungnya di hidung Sasya. "Kamu mau hukum saya seperti apa?"

"Kau akan tahu nanti calon suamiku~"

Setelahnya Sasya tertawa kecil dan memeluk Bryan kembali. Ia merasa bahagia. Sampai enggan melepaskan dirinya dengan Bryan.

"Gadis nakal." Gumam Bryan sambil tersenyum.

Sasya mengerjapkan mata ketika mendengarnya. Sebelum mendecak kesal, "Kau menagatai calon istrimu Bryan?" Tanyanya tak percaya.

"Tidak tuh." Jawab Bryan cuek. Setelahnya Bryan mengusap tengkuk Sasya dan menarik, kemudian mencium bibir gadis itu lembut.

"Aku sudah membantumu, aku menepati janjiku. Ku harap kau juga sama." Ujarnya pelan.

Sasya merengkuh tubuh tegap Bryan lagi, "Aku janji, gak akan ninggalin kamu. Seperti apapun kondisinya." Ia menatap mata dark purple itu lembut.

"Karena aku mencintai calon suamiku." Sambungnya sambil mengedipkan sebelah mata. Bermaksud menggoda Bryan.

Pria itu hanya tertawa pelan, mengecup pipi gembil Sasya berkali-kali. "Saya juga mencintai kamu." Bisiknya lembut.

Eh.. Bryan jadi teringat sesuatu. Tapi apa?

Sasya heran melihat Bryan hanya diam dengan dahi berkerut. "Kamu kenapa Bry.."

"Eng.. oh ya, kamu harus tau. Sharon mendonorkan darahnya buat kamu." Nah... Bryan baru ingat sekarang.

Mendengar nama Sharon membuat Sasya terbalalak, ia menggelengkan kepala tak percaya. "Enggak Bryan... gak mungkin! Waktu itu Sharon memukulku! Dia menyiksa ku Bryan! Aku gak..."

"Sayang dia udah minta maaf, bahkan dia donorin darahnya buat nyelamatin kamu. Sayang dengar.." Bryan menatap lembut namun tegas disaat bersamaan. "Balas dendam itu gak baik, kamu harus bisa memaafkan. Karena dia udah menyesali kesalahannya. Dia juga udah bantu kamu, mungkin emang itu salah satu cara buat minta maaf. Tapi aku bersyukur, karena waktu itu dia ada. Dan nyelamatin kamu, kalau enggak. Aku gak tau harus apa."

Sasya tertegun... sekilas dirinya melihat keputusasaan dalam mata Bryan. "Iya Bry... aku janji." Gumam Sasya tanpa sadar menuruti perintahnya.

"Marah boleh, tapi jangan merusak dirimu dengan dendam. Kalau kamu melakukannya, berarti kamu sama aja kayak mereka."

"Iya suamiku sayang.. aku gak akan dendam sama dia." Ujar Sasya menunjukan cengiran khasnya.

"Tadi kamu bilang apa hn? Coba ulangi sekali lagi?"

"Uh..." Sasya mengalihkan pandangan, tampaknya ia salah mengucapkan kata.

Bryan masih menunggu dengan seringai miliknya.

"S-Suamiku say-yang.." ulangnya dengan gugup. Bryan melebarkan seringaian miliknya.

"Udah gak tahan mau jadi nyonya Handoko heh?" Goda Bryan.

"Diam lah." Desis Sasya kesal. Ia mengecup bibir Bryan berkali-kali. Berharap pria itu tak menggodanya lagi.

Ah... seperti dunia hanya milik berdua saja mereka ini.