webnovel

Lima

Jihan berdiri di depan rumah Deno dengan setelan santai serba hitam merahnya serta sepatu kets yang terlihat lebih nyaman dari sepatu hak tingginya kemarin. Di belakangnya berdiri Zidan yang tersenyum canggung pada Deno. Jihan mendekati Deno perlahan lalu mengangkat tasnya dan memukuli tubuh Deno. Semua orang hanya diam untuk beberapa detik karena terkejut dengan tindakan Jihan. Zidan yang sadar akan kegilaan atasannya langsung menahan tangan Jihan.

"Mas jangan diem aja! pisahin ini loh!" Teriak Zidan pada Fajar yang masih menganga melihat Jihan memukuli Deno.

"Mas!" Fajar yang akhirnya sadar langsung memeluk Deno dan menyuruh Jihan untuk berhenti.

Fajar lalu menarik Deno menjauh. "STOP!!" Teriak Zidan akhirnya lalu mengambil tas Jihan yang digunakan sebagai senjata.

"Beneran gila." Bisik Fajar menatap Jihan yang terengah engah.

"Ini ada apaan sih? Ga ngomong apa apa langsung mukul." Kata Fajar.

Deno berkacak pinggang sambil menatap Jihan tidak percaya. "Mending lu berangkat kerja, udah siang." Katanya pada Fajar masih sambil menatap Jihan.

"Astaga! Oke gua berangkat! Utang penjelasan nanti malam!" Teriak Fajar sambil berlari menjauhi rumah.

"Ada apaan?" Kini Deno dipenuhi emosi karena pukulan pukulan brutal yang dilayangkan Jihan tadi.

Jihan menatap Deno tak percaya. Ingatannya terlempar ke hari kemarin saat Zidan mengucapkan kalimat tentang ajakan menikah pada Deno. Sesaat setelah Zidan mengatakan hal itu Deno justru mengatakan.

"Dasar wanita gila."

Jihan benar benar tidak terima dan sangat sakit hati atas penuturan itu.

"Gila? Gua gila?" Jihan tertawa meledek lalu melemparkan tatapan tajamnya.

"Ya kalo bukan gila apa lagi? Baru kenal tiba tiba ngajak nikah." Balas Deno.

"Abang Deno! Rara mau sekolah!" Deno menutup matanya saat menyadari bahwa gadis kecil itu sedari tadi melihat kejadian kekerasan.

Jihan melihat Rara lalu tiba tiba tersenyum. "Ayo gua anter. Udah siang, pasti udah telat."

"Ga usah." Deno menggandeng tangan Rara lalu berjalan meninggalkan Zidan dan Jihan.

"Zidan, gendong tuh bocah." Zidan langsung berlari lalu menggendong Rara dengan cepat berjalan menuju mobil.

"Aaaaaaa!" Jerit Rara meminta tolong.

Jihan lalu berlari menyusul membuka pintu mobil mempersilahkan Deno masuk menyusul Rara yang sudah dimasukkan oleh Zidan.

"Keluarin Rara, buruan." Jihan menggeleng dan mempersilahkan Deno masuk.

"Udah siang Jihan." Jihan diam sebentar saat mendengar namanya diucapkan Deno untuk yang pertama kali.

"Nah mending gua anter, daripada kita ribut teruskan. Nanti malah makin telat." Deno menghela napas lalu pada akhirnya naik ke mobil.

Ketiganya berakhir pada mengantar Rara pergi ke sekolah. Tidak ada pembicaraan apapun di dalam mobil hingga sampai ke sekolah Rara. Semuanya diam tanpa suara.

Rara mencium tangan Deno pamit untuk sekolah. Ia lalu melihat ke arah Jihan dan Zidan sambil berpikir. Tak lama ia meraih tangan Jihan dan menciumnya, begitupun dengan tangan Zidan.

Deno melambaikan tangannya pada Rara yang berjalan masuk ke sekolah. Deno membalikkan tubuhnya lalu mengangkat telpon yang sejak tadi berdering.

"Halo? Selamat pagi Pak." Deno mendengarkan orang di seberang mengerutkan dahinya dan sesekali mengangguk.

"Jam sembilan ya?" Deno melihat jam di tangan kanannya.

08.30

"Oke saya usahakan, terima kasih Pak." Deno menutup panggilan dan sibuk dengan ponselnya sendiri.

Suara tepukan tangan menginterupsi kegiatannya. Deno mengangkat kepalanya dan melihat Jihan yang berdiri sambil membuka pintu mobil. Sementara Zidan tetap berada di belakang Jihan.

"Ayo, gua anter. Waktunya udah mepet." Deno tak mengatakan sepatah katapun bahkan tak bergerak sedikitpun.

Jihan menarik tangan kiri Zidan dan untuk melihat jam di tangan Zidan. "Astaga sebentar lagi jam sembilan, gimana dong?" Katanya dengan nada yang dibuat buat panik.

Deno dengan pasrah masuk ke dalam mobil.

Jihan dengan cepat menutup pintu dan mengedipkan sebelah matanya pada Zidan. "Cakep."

Deno ada pertemuan dengan seorang sutradara film terkenal. Ia bilang membutuhkan beberapa karya Deno untuk menjadi propertinya. Deno sudah menolak dua minggu lalu, namun sepertinya sutradara itu masih ingin berdiskusi dengan Deno.

Deno tidak masalah apabila karyanya disewa untuk dijadikan properti. Namun, Deno tidak bisa menyanggupi permintaan sutradara untuk membuatkan 10 karya lagi dalam tenggat waktu satu bulan. Deno bukan pabrik, ia melukis sesuai dengan hatinya.

"Mau ditemenin ga?" Tanya Jihan saat mobil berhenti di depan lobi hotel bintang lima.

Deno tersenyum terpaksa. "Terima kasih tumpangannya."

Dengan cepat Deno turun dari mobil dan masuk ke dalam hotel. Ia menghampiri meja penerimaan tamu dan tersenyum manis.

"Permisi, saya Deno dan ada pertemuan meeting dengan Pak Gibran. Tempatnya di mana ya?"

Wanita dengan kaki jenjang dan tubuh ramping itu diam sebentar menatap wajah tampan Deno. Ia lalu mempersilahkan Deno untuk mengikutinya ke lantai 3 tempat di mana Pak Gibran telah menunggu.

Lenggak lenggok tubuh wanita penerima tamu itu nampak sedikit dibuat buat untuk menggoda Deno yang berjalan di belakangnya. Namun Deno sama sekali tidak berfokus pada hal itu. Ia hanya mengikuti langkah kaki wanita itu yang membawanya ke dalam ruangan Pak Gibran berada.

Sampai di dalam ruangan ia melihat Pak Gibran sedang makan soto padang dengan tenang.

"Ekhem, permisi Pak." Pak Gibran yang mendengar suara Deno langsung mengelap mulutnya dan berdiri.

"Ahh Deno, maaf saya makan duluan. Saya lapar." Katanya berpura pura malu.

Deno pernah bertemu sekali dengan Pak Gibran. Tampilannya seperti orang tua yang disegani namun baik. Tapi ternyata semakin lama Pak Gibran semakin menunjukkan sifat sombong dan semena mena di hadapan orang lain.

"Ah iya gapapa, santai aja Pak."

"Kamu sudah makan?"

"Sudah, lanjut aja gapapa Pak."

Pak Gibran menyuapkan sesendok soto lagi ke mulutnya lalu meletakkan dokumen tipis di meja.

"Daftar lukisan yang mau saya sewa dari kamu, coba dilihat dulu." Deno dengan ragu mengambil dokumen tersebut dan melihat foto foto lukisannya.

Beberapa foto sudah terjual dan beberapa lagi ada di pameran milik orang lain. "Kok ga ada konfirmasi ke saya dulu Pak? Karena beberapa lukisan ini sudah ga ada di saya."

Pak Gibran terdiam lalu membersihkan mulutnya dengan tisu.

"Kalau begitu buat lagi." Katanya tak peduli.

"Ga bisa Pak."

"Saya akan bayar berapapun."

Deno menundukkan kepalanya lalu terkekeh. "Berapapun?"

"Lukisan ini kemarin terjual satu milyar, yang ini sembilan ratus delapan puluh juta, dan yang ini lima ratus juta." Deno menunjuk beberapa foto yang ada di dalam dokumen.

Pak Gibran menegakkan duduknya sambil menelan ludah gugup. "Cuma segitu? Saya bisa bayar."

"Bukan masalah bisa bayarnya Pak! Lukisan lukisan ini adalah hasil dari emosi yang saya rasakan di saat itu. Yang mahal itu bukan hasilnya, tapi prosesnya!" Tekan Deno dengan sangat sangat tegas.

"Oh! Pak Gibran!" Suara seorang wanita tiba tiba saja memotong pembicaraan keduanya.

Jihan berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sama seperti tadi. Ia tidak pergi, ia justru mengikuti Deno ke lantai atas.

"Jihan?" Jihan masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum sedangkan Zidan tentu ada di belakangnya.

Deno memejamkan matanya lelah. Lagi lagi Jihan.

"Kok kamu bisa ada di sini?" Tanya Pak Gibran tersenyum kaku.

"Tadi saya abis nganter tunangan saya ke sini, katanya dia mau ketemu sama Pak Gibran."