webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
93 Chs

Dia Datang Lagi

<==7 tahun kemudian==>

Senja keemasan itu mengiringi langkahku, yang baru saja keluar dari sebuah kantor tempat kubekerja.

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Masa SMA dan masa Kuliah, telah kulewati dengan baik.

Yah, aku bukan lagi anak remaja yang mengandalkan uang dari orang tua.

Sekarang aku sudah mulai bekerja dan ini artinya aku sudah siap hidup mandiri.

Kini aku sudah bekerja di kantor milik teman Papa.

Meski begitu aku juga kelewat proses yang cukup panjang untuk bisa berada di sini.

Meski perusahan ini milik teman baik Papa, tetapi aku tetap mengikuti seleksi seperti tahap intervensi dan lain sebagainya.

Tidak ada istilah orang dalam, yang membuatku mulus masuk ke kantor ini. Aku diterima di sini karena aku memang layak.

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja, rasanya benar-benar deg-degan. Tetapi aku bersyukur, aku bisa melawati hari ini dengan baik. Seluruh karyawan di sini juga sangat baik.

Drtt ....

"Pasti Bagas, nih," tebakku. Lalu kuraih ponsel dari dalam tasku.

Saat kumenatap layar ponselnya, ternyata bukan Bagas yang meneleponku. Nomor baru yang tak kukenal.

"Ini, siapa, sih?"

"Angkat jangan, ya?" Aku malah ragu sendiri, dan akhirnya aku tak menjawab panggilan telepon itu.

Namun sudah berkali-kali dering ponsel itu terus kumatikan, tetapi si Penelepon tak juga menyerah, dia terus meneleponku berulang kali.

"Akh! Sebenarnya ini siapa, sih?!" ujarku yang mulai kesal.

Akhirnya kuangkat panggilan itu. Barang kali mungkin si Penelepon memang ada urusan penting denganku.

"Halo!"

[Halo, Mel,]

Seketika mendadak hening.

Saat suara yang sangat kukenal itu menyapaku, aku langsung terdiam.

[Mel, kamu denger aku, 'kan?]

"Iya, kamu siapa?" tanyaku untuk memastikan, walau sejujurnya aku sudah tahu siapa yang sedang meneleponku ini. Tetapi aku masih sedikit ragu, bisa saja orang yang berbeda.

[Mel, kamu gak inget suara aku?]

"Kamu, Dion?" tanyaku secara tegas.

[Iya,]

Tut!

Segera kutekan tombol 'end' dalam layar ponselku.

Namun sayangnya pria itu menelepon lagi.

Dan terus berulang meski aku sudah merijeknya berkali-kali.

"Huh! Apa sih, maunya ni, orang!" Dan kuangkat lagi panggilan itu.

"Ada apa sih, Dion?!" tanyaku dengan ketus.

[Mel, kenapa kamu kasar? Apa sebegitu bencinya kamu sama aku?]

"Dion! To the poin aja, yah! Kamu itu mau ngomong apa?!"

[Mel, bisa enggak kita ketemu sebentar?]

"Gak bisa!"

[Mel, aku mohon, Mel!]

"Untuk apa kamu ingin ketemu sama aku?!"

[Ada hal yang ingin aku katakan, dan sudah kupendam selama bertahun-tahun, Mel,]

"Tapi, aku gak peduli!"

[Mel, aku mohon ... mau sampai kapan kamu akan terus membenciku? Mau sampai kapan pula kamu akan terus dendam kepadaku?]

"Dion, aku gak dendam sama kamu, aku cuma—"

[Cuma, benci?]

"Huff ...." Aku mendengus kesal, syukurlah dia sudah tahu kalau aku memang membencinya. Tetapi anehnya dia masih juga tak tahu diri!

Harusnya kalau sudah tahu aku membencinya, dia berhenti menggangguku!

[Mel, aku ingin berdamai, Mel! Tolong maafkan aku. Dan aku ingin hubungan kita membaik, bukankah, dendam itu hanya akan menyempitkan hati?] sindir Dion.

Akhirnya aku pun luluh, memang tak ada gunanya aku menyimpan benci kepada seseorang.

Ini hanya akan membuat hatiku terasa tidak nyaman.

Dan tentunya hanya menambah dosa saja.

"Ok! Kamu ada di mana?!" tanyaku pada Dion.

[Aku, ada di rumah Ayah, kamu ingin ketemu di mana pun, aku siap!] jawab Dion.

Tak ada alasan untuk menolak ajakan Dion. Mungkin sudah saatnya aku melupakan segala kekesalanku pada masa itu.

Walau jujur aku sudah menguburnya dalam-dalam segala kenangan bersama Dion. Tetapi kehadiran Dion kali ini, membuat kekesalan dan segala kenangan pahit itu kembali tergali.

"Ok, kita ketemu di kafe dekat Mall, namanya 'Kafe Cinta' gue tunggu elu di sana!" ucapku dengan ketus.

[Mel, ngomongnya jangan 'elu-gue' dong!] ujar Dion. Dan ini adalah kalimat yang yang sering aku dengar saat aku masih berpacaran dengannya.

Dulu kalimat itu terasa indah, tetapi sekarang terasa menyebalkan.

"Hilih, Basi!" sengutku. Kemudian langsung kumatikan panggilan teleponnya.

Baiklah meski aku pernah rapuh kerenanya, tetapi sekarang akan aku buktikan betapa bahagianya aku saat ini.

***

Aku bergegas menuju kafe yang menjadi tempat kami bertemu.

Sambil menunggu pesanan datang.

Aku mengabari Bagas. Kutulis saja pesan kepadanya. Selama bertahun-tahun aku berpacaran dengan Bagas, tak pernah sekalipun aku berbohong kepadanya. Aku selalu berkata jujur, dan bahkan menceritakan siapa saja pria yang telah mendekatiku selama berpisah jarak dengan Bagas.

Bagas juga dapat memahaminya, dan tak mudah cemburu meski aku sering digoda, bahkan didekati oleh pria lain.

Bagas sangat mempercayaiku. Begitu pula sebaliknya. Aku sangat-sangat, mempercayai Bagas.

Dan mungkin ini juga yang membuat hubungan kami masih langgeng hingga detik ini.

[Gas, Dion tiba-tiba ngajakin ketemu!] tulisku dalam pesan itu.

Tak berselang lama Bagas membalas pesanku.

[Dion, ada di Jakarta?]

[Iya,] jawabku.

[Terus, Mbak Mel, mau?]

[Aku terpaksa, Gas! Karena aku ingin meluapkan segala kekesalanku kepadanya!]

[Tapi, harus bertemu? Gimana kalau Mbak Mel, malah baper sama dia?]

[Gak mungkin, Gas! Aku gak akan jatuh cinta kepada orang yang sudah menyakitiku, sedangakan ada pria yang selalu membahagiakanku,] tulisku meyakinkan Bagas.

[Yasudah, terserah, Mbak Mel, aja! Aku peracaya,]

[Terima kasih, Gas,]

[Iya.]

Dan pesan pun berakhir, aku kembali duduk manis menunggu kedatangan Dion.

Tak lama pria yang sedang kutunggu itu pun muncul.

Dia menyapaku dengan senyuman khasnya.

"Hai, Mel!"

"Hai,"

Dia duduk di sampingku.

"Udah lama?"

"Belum, baru sekitar lima menitan," jawabku.

"Kamu, udah pesan makanan?"

"Belum!"

"Ok, biar aku yang pesenin," kata Dion, kemudain di melambaikan tangan kearah Pelayan Kafe.

"Kamu mau pesan apa, Mel?" Dia bertanya lagi kepadaku.

"Apa aja!"

"Yaudah, seperti biasa aja, ya?" ujarnya, dan aku malah memalingkan wajahku.

"Mbak, saya pesan dua porsi Onion Ring, dua Omelet, satu Capucino, dan satu Thai Tea!" ujar Dion kepada si Pelayanan.

"Baik, mohon ditunggu sebentar ya, Kak," ucap si Pelayan itu dengan ramah.

"Ok," sahut Dion.

Bahkan Dion masih mengingat makanan kesukaanku.

Bahkan selera Dion juga masih sama.

Tetapi entah mengapa, aku masih tak takjub dengan sikap manis Dion yang sekarang.

Mungkin karena rasa cinta yang telah hilang.

***

Sambil menunggu pesanan datang, suasana tampak canggung, aku lebih banyak diam ketimbang mengajak Dion mengobrol.

Bukannya aku malu atau salah tingkah, tetapi memang akunya yang malas.

Masih teringat betul saat dia mengatakan putus dulu.

Bahkan dia meninggalkanku di pinggiran sungai sendirian.

Sementara dia malah pergi ke rumah Nadira si gadis genit itu.

Dia tak pernah memikirkan perasaanku.

Dulu aku bisa menerima Dion apa adanya, tetapi si Pengecut ini malah menghilang, kemudian memutuskan hubungan.

"Mel, kok diam aja?" tanya Dion.

"Kamu, hari ini kelihatan cantik banget, meski wajah kamu masih keliatan imut. Tapi penampilan kamu terlihat lebih dewasa dan sangat elegan," puji Dion.

"Ah, masa, sih?" tanyaku seraya mencibir sinis kearahnya.

Aku sudah muak dengan gombalan Dion. Dulu saja aku yang telalu bodoh dan mudah terlena dengan gombalan bulshit itu.

Bersambung ...