webnovel

MELANTHA

Kata Melantha diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti Bunga Mawar Hitam. Sedangkan, Mawar Hitam sendiri memiliki artian depresi, kehilangan, dan kematian. Melantha masuk dalam nama seorang anak perempuan yang kelahirannya tidak pernah diinginkan dari dua insan. Membawa nama yang memiliki arti yang sangat berat itu membuat hidupnya sesuai dengan nama yang dimilikinya. Sejak kecil tak ada kenangan manis apapun, hanya sekali saat seseorang menjadi temannya. Namun tiba-tiba saja dia menghilang dan belasan tahun kemudian dia datang kembali dengan wajah yang sama tetapi sosok yang berbeda. Pertemuan antara dua orang yang saling menguatkan satu sama lain, mencari sebuah arti kebebasan menurut pandangan masing-masing.

Pyanum_ · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
49 Chs

SEBUAH PENGAKUAN

"San, biasa" kata Septian merangkul pundak Ikhsan dan bergabung dengan yang lain.

"Apaan? Ngopi?" tanya laki-laki itu.

"Gue ikut, di tempat biasakan?" sahut Angga.

"Langsung aja ya, kalo pulang dulu males gue bolak balik" kata Septian.

"Gue juga" imbuh Angga. "Gak usah pulang, langsung aja kayaknya sih nanti ada Ferdian sama Imam juga".

"Mereka emang gak sekolah?" tanya Ikhsan.

"Bego, sono sekolahnya gak nyampe sesore kita" kata Ikhsan.

Diantara percakapan itu, Greysia dan yang lain menyela. Mereka bertujuh ikut bergabung dalam rombongan anak laki-laki kelasnya menuju perkiran sekolah. Meski di pertengahan jalan ada yang berbelok menemui pacarnya untuk pulang bersama.

"Pada pulang nih?" tanya Rinda.

"Ngopay dululah" sahut Angga.

Sarang berdecak, "Ngopi terus. Muka lo kek kopi" semburnya.

"Lo tahu kan kopi meskipun pahit tapi menggoda" balas Ikhsan.

"Sarang mau ikut kakak? Sini kakak bonceng" kata Septian dari balik helmnya.

"Sarap... Gue mau pulang mandi bermanja-manja dengan kasur" ujar Sarang.

Rinda memundurkan motornya, "Eh Grey mau pulang bareng?" tanyanya pada Greysia yang hanya berdiri saja.

"Oh gue enggak... Ada urusan, gue boleh duluan gak?" tanya gadis itu.

"Kencan lo?" celetuk Angga.

Sarang menyahut, "Lo ada pacar?"

"Ngaco... Duluan ya bre" pamit Greysia berlari menuju gerbang sekolah.

Sedangkan teman-temannya memantau dari parkiran. Sedikit bertanya-tanya namun pada akhirnya menyalankan motor masing-masing untuk pulang ke rumah. Saat keluar gerbang dan berpapasan dengan Greysia disana sedang berbicara dengan dua anak laki-laki sifat jail teman-temannya langsung beraksi begitu saja.

Beberapa ada yang menggoda gadis itu membuat mereka mendapatkan umpatan yang menghibur. Greysia sendiri terlihat kesal dengan kelakuan teman-temannya yang membuatnya malu. Rasanya ingin mencubit bibir itu satu-satu untuk memberi pelajaran bagi mereka.

"Ah sorry ya temen-temen gue agak rada orangnya" ujarnya tak enak kepada Erik juga Jayco.

"Asik juga kayaknya sekolah disini" ucap Jayco.

"Gitu deh" jawab Greysia, gadis itu beralih ke Erik. "Yaudah ayo kita pergi juga" ucapnya.

Sesampainya di sebuah cafe dengan nuansa vintage, Greysia dan Erik memilih tempat duduk sedangkan Jayco masih memesan minuman dan belum kembali. Tak ada percakapan khusus diantara mereka berdua, dua-duanya nampak canggung satu sama lain. Hanya menolah-noleh sembari memperhatikan pernak-pernik yang ada di dalam cafe tersebut.

Hingga beberapa saat kemudian Jayco pun datang dengan sebuah papan nomor yang ia letakkan di atas meja. Laki-laki memandangi dua orang yang sedang bersamanya, apa tertawa akan dinilai tidak sopan? Ekspresi mereka sungguh lucu.

"Ini mau diem-dieman sampai nanti pulang?" tanya Jayco memecah kecanggungan.

Sedikit ragu akhirnya Greysia mencoba memulai pembicaraan. "Jadi...tadi...hmm mau ngomong apa?"

Erik berdeham, "Sebelumnya ini gapapa kalau dia? ada disini?"

"Siapa? Jacob? Gapapa, dia bisa di percaya orangnya. Kalau merasa gak enak anggap aja dia cuma boneka yang gue bawa kemana-mana" balas Greysia.

Dan laki-laki itu hanya mengangguk baik Erik maupun Jayco.

"Berhubung kita udah pernah ketemu beberapa kali, aku mau ngomong sesuatu. Tapi sebelum itu, aku mau nanti kakak dengerin dulu aku sampai selesai baru setelah itu terserah mau kakak respon kaya apa" ucap Erik mulai serius.

"Haha apa nih bikin dag dig dug" celetuk gadis itu.

Remaja di hadapan Greysia itu membuka tasnya. Mengambil sebuah amplop coklat dari dalam sana dan di letakkan di tengah-tengah meja sembari menatap Greysia ragu-ragu terlihat dari cara dia mengigit bibirnya sendiri.

"Amplop?" tanya Greysia bingung.

"Buka kak" kata Erik mempersilahkan.

Namun Jayco yang mengambil amplop itu dan di bukanya. Disana ada beberapa lembar kertas dan juga foto yang membuat tubuh Greysia menegak tegang. Sedangkan Jayco menoleh kearah gadis disampingnya itu.

"Maksudnya... ini apa?" tanya Greysia.

"Jadi gini kak... Dari yang kakak lihat, aku memang anak kandung dari Pak Ryan Kamada, ayah kandung Kak Greysia"

"Kita pernah bertemu sekali saat masih kecil. Sejak awal aku sengaja dekatin kakak karena aku pengen tahu sosok Kak Greysia seperti apa. Aku butuh waktu selama empat tahun untuk bilang ini semua di depan kakak langsung dan hari ini aku bisa menyakinkan diri"

"Aku tahu harusnya aku gak usah menganggu kehidupan kakak karena aku sendiri tahu betul bagaimana Kak Grey benci sama papa. Atas nama papa dan mama aku minta maaf sebesar-besarnya"

Jayco menggenggam tengan Greysia saat gadis itu ingin pergi meninggalkan tempat itu, bukannya ia tak mengerti perasaan gadis itu namun ia hanya mencoba untuk menahan Greysia sampai semua yang dikatakan Erik selesai.

"Aku benar-benar minta maaf, Kak. Tapi aku hanya ingin menjalin hubungan saudara yang putus untuk kembali lagi. Aku mau punya seorang kakak seperti Kak Greysia. Aku bakal di pihak kakak apapun keadaannya. Tapi jika Kak Grey gak mau dan pengen aku pergi, aku akan pergi kak. Aku gak akan lagi muncul di hadapan kakak"

Greysia melepas genggaman tangan Jayco, dia menyampirkan tasnya pada pundak. Dia beranjak dari duduknya tanpa menatap Erik sedikitpun. Tanpa basa-basi gadis itu pergi keluar cafe dengan raut muka yang terlihat kusut. Sedangkan Jayco terdengar menghela napasnya sembari memandangi punggung belakang Greysia.

Laki-laki itu ikut beranjak dan menyampirkan tasnya namun sebelum pergi dia berjalan ke sisi Erik yang tertunduk lalu menepuk pelan bahu remaja itu.

"Tolong di mengerti ya, lo bener kok mau speak up sendiri, mungkin bakal lebih runyam kalau misal dia denger dari orang lain. Jangan berkecil hati, nanti gue bantu ngomong sama Greysia. Dia bukan orang egois jadi banyak doa aja biar dia gak benci elo" ucapnya.

Erik mendongak dia tersenyum kecut, "Thanks, nama lo?"

"Untuk sekarang panggil aja Jo" jawabnya, "Gue duluan ya, minumannya udah gue bayar tadi. Hati-hati" ucapnya sebelum pergi.

Lonceng pada pintu cafe berbunyi, Jayco melihat sekeliling pandangannya menyapu bersih area sekitar cafe dan netranya menangkap sosok Greysia yang menyangga tubuhnya dengan lutut sedang terbatuk-batuk di samping sebuah tembok. Takut terjadi hal yang tak diinginkan, Jayco berlari menghampiri gadis itu.

Disana Greysia sedang muntah-muntah meski hanya berupa air namun membuat butiran peluh menetes pada pelipis gadis itu. Jayco memegang rambut Greysia, ditepuknya pelan punggung gadis itu. Wajahnya nampak cemas dan gelisah, dia sangat khawatir dengan kondisi Greysia saat ini.

"Are you okay?" tanyanya getir.

Napas Greysia terdengar sangat kasar, dadanya terlihat naik turun. Gadis itu menggeleng sembari memegangi kepalanya, dituntun Jayco gadis itu didudukkan pada teras toko. Wajahnya nampak putih pucat dengan mata yang memerah seakan menahan sebuah isak.

"Kamu ada obat? Atau aku belikan di apotek, kayaknya di dekat sini tadi ada apotek" kata Jayco.

"Tas... Di tas gue" ujar Greysia menunjuk tasnya.

Dengan cekatan, Jayco langsung menggeledah tas milik Greysia dan sebuah botol obat memang ada di sana. Lalu ia beralih pada tasnya sendiri diambilnya sebotol air mineral yang masih sisa setengah dan diberikan kepada Greysia beserta obat milik gadis itu.

Sebanyak 3 biji obat langsung Greysia telan bulat-bulat bahkan tanpa bebarengan dengan air. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat bernapas kembali dengan tenang. Bahunya melemas saat pandangannya kabur sesaat dan kembali normal lagi. Dia menghela napas panjang kecewa.

"Udah mendingan?" tanya Jayco memastikan keadaan gadis itu.

"Better... Makasih lagi" ucap Greysia.

"Kamu kenapa? Sakit? Pulang ya aku anterin"

"Erik, dia gimana? Gue harus apa sama dia? Jujur gue mual denger nama bokapnya dia, tapi gue gak bisa nyalahin dia karena kesalahan orang tuanya. Dia cuma anak, dan anak gak ada hak untuk nanggung beban atas kesalahan bokap nyokapnya"

"Aku tahu... Kamu pikir dulu aja jangan dipaksa kalau gak bisa. Niat dia baik aku bisa lihat sendiri kok, tapi kamu juga harus mikirin dulu kesehatan kamu. Baru denger nama aja kamu udah mual kaya tadi"

"Dari kecil udah toxic parents... Ayah bunda selalu berantem setiap hari dan gue cuma bisa sembunyi di dalam lemari, hingga suatu hari ayah pulang dan bunda gak ada di rumah. Ayah pukul gue sampai bibir berdarah terus di suruh bikin kopi malah ketumpahan sampai tangan melepuh"

"Sampai umur tujuh akhirnya mereka pisah, dan mirisnya gak ada satupun dari mereka yang mau ambil hak asuh anaknya. Gue dikirim ke panti selama satu tahun sebelum kakaknya ayah ambil gue buat di adopsi. Dari dulu hidup gue gak berjalan lancar bahkan sampai setelah adopsi sekalipun. Orang tua gue divorce tepat di hari ulang tahun gue, 24 Pebruari. Lucu kan?"

"Maka karena itu gue gak pernah kasih tahu temen-temen soal tanggal ultah gue, jadilah diubah jadi lucky seven... Jujur gue kaget waktu lo bilang password pintu apartemen lo hari ulang tahun gue, tapi gue inget dulu kita pertama temenan waktu kecil. Gue gak tahu harus gimana lagi kalau aja lo gak dateng ke kehidupan gue, udah koid paling"

"Kalau gitu, damailah. Maksudnya bukan damai dengan sekeliling kamu, jangan dulu. Kita coba damai sama diri kamu sendiri. Kalau dunia memperlakukan kamu dengan tidak baik seenggaknya perlakukan diri kamu dengan baik mengalahi dunia itu sendiri"

"Nanti entah kapan, misal gue bener-bener berada di titik terendah diri gue, tolong gapai tangan gue ya... Peluk gue, yakinin gue kalau masih banyak harapan yang ditujukan ke gue"

Jayco menarik kepala gadis itu lalu diusap dengan lembut. Apalagi saat mendengar suara isak yang samar semakin ingin ia menenangkan. Rasanya tak cukup jika ia hanya menemukan gadis ini, rasa tanggung jawab semakin besar saat ia tahu sendiri serapuh apa sosok perempuan bersamanya kini.