webnovel

MELANTHA

Kata Melantha diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti Bunga Mawar Hitam. Sedangkan, Mawar Hitam sendiri memiliki artian depresi, kehilangan, dan kematian. Melantha masuk dalam nama seorang anak perempuan yang kelahirannya tidak pernah diinginkan dari dua insan. Membawa nama yang memiliki arti yang sangat berat itu membuat hidupnya sesuai dengan nama yang dimilikinya. Sejak kecil tak ada kenangan manis apapun, hanya sekali saat seseorang menjadi temannya. Namun tiba-tiba saja dia menghilang dan belasan tahun kemudian dia datang kembali dengan wajah yang sama tetapi sosok yang berbeda. Pertemuan antara dua orang yang saling menguatkan satu sama lain, mencari sebuah arti kebebasan menurut pandangan masing-masing.

Pyanum_ · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
49 Chs

SALAH SATU

"Ya Tuhan, aku harus berapa kali meningkatkan kamu jika anak kita yang sekarang itu Jayco, Celineee!" ucap Lionel geram melihat sang istri.

Celine menggeleng kuat, dia menolak dengan tegas kenyataan itu. Baginya di matanya itu adalah Jacob bukanlah Jayco, dia sendiri yang membuktikannya, dia tak mungkin salah mengira anaknya sendiri.

"C'mon, sayang. Look at me, mari kita ikhlaskan Jacob ya biarkan dia istirahat dengan tenang jangan kamu ginikan terus"

"Lionel, aku tahu putra kita hanya tinggal satu dan akan menjadi semata wayang namun apa-apaan sikap kamu ini? Aku ibu mereka, aku yang mengandung mereka, aku yang melahirkan mereka, jelas-jelas akulah yang paling tahu perbedaan Jacob dan Jayco. Harusnya kamu yang mengikhlaskan saja kepergian Jayco agar dia tenang, anakku tersayang masih hidup, dia masih ada bersama kita tinggal di sini" kekeh wanita itu.

Lionel angkat tangan, dia menggeleng frustasi mendengar pernyataan sang istri. Gila, memang sudah tak waras lagi wanita itu.

"Celine! Ini bukan masalah siapa yang paling tahu tentang mereka berdua, tapi ini tentang siapa anak yang sekarang masih hidup dan tinggal dengan kita! Kelakuanmu ini lama-lama keterlaluan, mau sampai kapan kamu salah mengira identitas anakmu sendiri?" ujar Lionel sedikit menekankan nada bicaranya.

"Kamu yang harusnya sadar dan menerima kenyataan! Sikapmu yang tak dewasa ini juga bisa menyakiti perasaan Jayco! Dia itu masih anak-anak yang membutuhkan kasih sayangmu, hanya untuk dia bukan untuk menjadi sosok orang lain demi rasa tak terimamu jika Jacob telah tiada. Sadarlah, Celine! Aku mohon"

Lionel kembali membentak, "Jacob telah tiada! Sadarlah sebelum semuanya terlambat!"

Wanita itu terkejut, lantaran ini baru pertama kali melihat sang suami berkata dengan nada tinggi. Tanpa disadari air matanya jatuh tanpa sengaja, rasanya memori-memori di otaknya berputar amat kencang. Semuanya tercampur aduk membuatnya merasa mual pusing hingga berdiri saja ia rasa kehilangan tenaga pada kakinya.

Tangannya menyapu segala benda yang ada diatas meja rias, begitupun foto si kembar yang terpadang diatasnya. Wanita itu berteriak amat kencang sembari menjambaki rambutnya kuat membuat Lionel menyadari jika ia sudah kelewatan batas sehingga istrinya menjadi seperti itu.

Suara yang kencang membuat Jayco yang masih mencangklong tasnya usai pulang sekolah langsung berlari menuju kamar kedua orang tuanya. Melihat semuanya nampak berantakan begitu pintu kamar terbuka membuat dirinya kebingungan akan apa yang terjadi. Celine melihat itu berlari mendekat pada sang putra, memeluknya erat sembari menangis sesegukan. Tangannya membelai lembut surai hitam putranya sembari menyebut nama Jacob anakku berulang kali.

Lionel segera menarak sang istri namun wanita itu memberontak kembali memeluk Jayco. Lantas tanpa ia sadari tangannya berayun dan menampar pipi lembab Celine. Tamparan yang baru pertama kali dalam seumur hidup ia lakukan kepada sang istri. Mereka sama-sama mematung seakan waktu terhenti sesaat, pipi putih itu nampak merah dan panas mulai menjalar disana.

Dengan nada bergetar merasa bersalah, pria itu mendekati istrinya memohon maaf namun yang ia dapati malah air mata terjatuh kembali dari kelopak mata Celine. Mereka masih tak menyangka akan hal itu bisa terjadi dan berasal dari sang kepala rumah tangga yang selama ini mereka kenal sebagai sosok paling penyabar diantara kepala-kepala di rumah ini.

"S-sayang, maaf.. Maafkan aku, aku tidak sengaja. Aku minta maaf..." sesal pria itu.

Waktu terus berlalu, keadaan tak kunjung berubah. Bohong jika Jayco tak merasa diperlakukan tidak adil seperti ini. Bohong jika anak remaja itu tak memberontak, ini saja sudah minggu kedua ia menumpang di rumah temannya. Jengah berada di rumah yang tak menerimanya sama sekali, jika orang-orang bilang bahwa ia harus lebih bersabar menghadapi sang mama namun sabarnya tak sebanyak itu untuk menerima keadaan.

Jacob memang sudah meninggal, apa salahnya jika kini ia yang menjadi anak satu-satunya mama? Sepertinya hal itu tak pernah ada kontrak perjanjian oleh Tuhan sebelum ia di lempar ke dunia manusia.

Ia mendengus panjang, helaan yang terdengar sangat lelah jika orang lain mendengarnya. Kini ia berada di sebuah kamar dengan kaca besar tepat di atasnya sebagai pengganti atap yang dapat melihat secara langsung langit malam yang sedikit nampak bintangnya itu.

Pintu kamar terbuka, temannya masuk mengenakan boxer kunung dengan karakter sponge kuning tinggal di rumah nanas. Beliau itu temannya satu kelas, dari ia pindah ke Kanada sampai sekarang. Busuknya satu sama lain sudah seakan menjadi makanan sehari-hari. Dan dia juga berdarah campuran Indonesia-Hongkong.

"Ciki gak?" tanya remaja itu.

Jayco mengintip kecil, namun kembali memalingkan wajahnya. "Nawar doang gak di kasih" balasnya.

"Ngelunjak banget, kalau mau aku ke bawah ngambil sekalian. Bunda nawarin tadi makanya ke sini, bukannya terima kasih udah di kasih tumpangan" omelnya.

"Mau bundanya aja"

Stik ps pun melayang, "Enak aja, ogah!" amuk remaja itu.

"Ogah itu apa?" tanya Jayco asing dengan kata tersebut.

"Auk ah, makanya ke Indonesia biar tahu" sewotnya kemudian keluar lagi dan mengambil makanan yang ada di dapur.

Remaja itu berkelana pada sebuah benda pipih yang kini berada pada tangannya. Nampaknya dia hanya memperhatikan sebuah google maps yang berlokasi di Indonesia atau lebih tepatnya tempat yang dulu pernah ia tinggali. Dia sempat terheran dengan perkembangan di sana, selama beberapa tahun saja sudah banyak yang berbeda. Mungkin saja jika ia benar-benar kembali ke Indonesia dan ke daerah yang dulu ia tinggali mungkin sudah tersesat tak tahu arah.

Namun tak mungkin ia melupakan sekolah lamanya di sana. Meski rupa sekolahnya telah berubah namun kenangannya masih sama. Pesan terakhir yang Jacob berikan untuknya memang seharunya ia lakukan atau akan berhutang sampai akhir hayatnya. Memang ia membenci keberadaan bocah itu karena sejak dulu selalu menyingkirkan posisinya dari sang mama namun tak apa. Jacob tetaplah adik kembarnya yang tak mempunyai umur panjang, sungguh malang.

"Wah, tempat itu lagi?" tanya temannya begitu mengintip kegiatan yang di lakukan Jayco karena tak membalas ketukan pintu dan pembicaraannya.

Jayco berdecih, remaja itu menatap sinis sembari menutup layar ponselnya, "Gak sopan! Apa? Eh mana cikinya?"

"Cih... Kau sibuk sendiri" balasnya sembari melempar sebungkus ciki.

"Kira-kira aku bisa ke Indonesia lagi gak ya? Kalau di bicarakan sama orang tuaku pastinya gak akan dapat izin, kalau cuma berlibur boleh sih kemungkinan tapi kalau untuk menetap lagi di sana... Hmm kayaknya susah"

"Bener sih, aku ada keluarga disana jadi kalo misal pindah ke Indonesia gak mungkin gak dapat izin. Coba aja kamu bicara sama mereka, barangkali aja mereka mempertimbangkan"

"Susah, apalagi keadaan mama yang kayak sekarang ini. Entah sampai berapa lama lagi mama bakal terus cari-cari sosok Jacob di hidup aku"

"Sabar. Cuma untuk di rumahkan? Lagipula Jayco di kenal di lingkungannya. Mereka juga paham kalau ini bukan mau keluarga kalian, musibah gak ada yang tahu. Kamu juga seenggaknya sedikit bisa ngerubah kebiasaan jelek kamu yang dulu"

"Berat deh beneran. Tiap pulang rasanya selalu takut, dari kecil sampai umur sekarang selalu gak suka pulang. Gak pernah di sambut sama mama, di pikirannya cuma ada Jacob, pilih kasih"

"Turut prihatin, Jay"