webnovel

Me Vs Dad

"Kenapa bukan ayahku yang mati? Kenapa harus Nana? Tuhan, ambil saja nyawanya. Aku rela menukar kebahagianku agar bisa hidup bahagia bersama dengan Nana" Pikiran itu yang terlintas pada benak Isabella, gadis muda berusia empat belas tahun yang begitu membenci ayahnya, , dan hanya memiliki Nana - nenek yang selalu mencintai dan melindunginya. David Mahendra. Pria tampan kaya raya, memiliki hati bengis terhadap putrinya sendiri. Menganggap Isabella sebagai hama yang perlu dibasmi. Seketika kehidupan mereka berubah, saat mereka terbangun pada tubuh yang salah dan jiwa mereka tertukar. Apa yang akan terjadi pada David dan Isabella? Bisakah mereka saling mencintai sebagai ayah dan anak?

Sita_eh · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
171 Chs

Isabella Mahendra

Sinar matahari masuk melalui celah jendela, menerpa wajahku dan aku bisa merasakan kehangatan pada kulit wajahku ini.

"Nona Bella, ini waktunya untuk kau bangun. Hari sudah pagi, dan kau masih saja berada di atas tempat tidur," Sapa seorang pelayan wanita ramah, membungkuk agar bisa melihat wajah Isabela yang masih bersembunyi di balik selimut.

"Bukankah hari ini libur?" Tanyaku dengan malas.

Aku belum menurunkan selimut, sang pelayan wanita itu tertawa kecil melihat tingkahku. Karena setiap pagi aku akan bertanya hal yang sama, dan jika ada yang berhasil aku kecoh dengan pertanyaan jebakan.

Maka Isabella Mahendra akan bisa membolos hari itu, tidak ada sekolah, tidak ada belajar, hanya bermain dengan Nana.

"Ayo cepat bangun Nona Isabella, ingat sebentar lagi kau akan berulang tahun. Bukankah kau berjanji pada Nana, agar menjadi anak yang penurut?" Pelayan wanita itu mengusap lembut pucuk rambut Isabella.

Dengan terpaksa aku segera turun dari tempat tidur, menggunakan sandal bulu berwarna pink, dengan motif hidung sapi yang lucu.

"Ah... Baiklah, jadi aku harus tetap bersekolah, ya?" jawabku malas, seraya membuat peregangan pada otot tangan yang terasa kaku.

Isabella Mahendra itulah diriku, anak perempuan berusia tiga belas tahun, saat ini aku duduk di kelas delapan. Hidupku bisa dikatakan sangat sempurna, tidak kekurangan apapun secara materi.

Semua kebutuhan tercukupi, bahkan berlebihan dengan kekayaan Keluarga Mahendra. Tapi semua itu tidak aku butuhkan, karena yang aku butuhkan hanyalah Nana.

Nana adalah panggilan kesayangan yang kuberikan kepada nenekku, dia satu-satunya yang benar-benar peduli akan kehidupanku, dan keberanianku untuk bertahan dirumah yang bagaikan neraka.

Dia satu-satunya yang kuanggap sebagai orangtuaku, ketimbang dengan ayahku sendiri.

Aku sangat membenci pria itu, sok tampan dan sok pintar tapi memiliki hati kejam dan sikap sedingin pegunungan es Himalaya.

Bayangan akan sosok David Mahendra, sudah berada di hadapan Isabella.

"Hahh... pergi-pergi kau dari hadapanku!" Teriakku kesal karena bayangan wajah ayahku, muncul begitu saja.

Sehingga aku harus mengibaskan tanganku di udara, kembali ku menekuk wajahku kesal sembari masuk kedalam kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan memakai seragam sekolahku, segera saja aku berlari kearah luar kamar.

Melewati pintu kamar ayah yang masih tampak tertutup rapat, samar-samar aku bisa mendengarnya sedang berbicara dengan seseorang.

"Hah! Untuk apa aku harus tahu soal dia?" Ucapku ketus pada daun pintu yang tertutup.

Aku menuruni anak tangga dengan cepat, dua utas tali kupegang dengan sangat erat. Dan akhirnya aku bisa menemukan sosok Nana, ia sedang duduk pada kursi goyang.

Segera aku memeluk Nana, ia membalas pelukanku dengan dekapan yang erat.

Bau tubuh khas milik Nana begitu menyenangkan, rasanya nyaman dan hangat. "Nana... Selamat pagi." Sapaku dengan perasaan sayang.

"Oh lihat cucuku yang cantik ini, apa yang sedang kau bawa?" Tanya Nana dengan senyum keriputnya yang terkesan manis pada wajah tuanya.

"Pita yang cantik untuk kau pilih, Nana. Menurutmu mana yang lebih bagus? Apakah pink ini atau pink yang ini?" Tanyaku menunjukkan dua tali pita yang hampir mirip warnanya.

Nana pun tersenyum lebar, memilih salah satunya dan mulai ia pasangkan pada rambutku yang panjang.

Disela-sela perbincanganku yang seru bersama dengan Nana, aku melihat pria itu berjalan melewati kami. Memberikan tatapan sinis, dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk aku dengar. Untung saja aku tidak mendengarnya, karena Nana sudah segera menutup telingaku.

Ayah?

Satu kalimat itu benar-benar membuatku sangat marah? Kenapa pria kejam seperti itu, sangat membenciku? Bahkan kakek tidak kejam kepadaku, tidak seperti ayah? Kenapa?

Menangis?

Aku sudah tidak perlu menangisi apa yang sudah ia perbuat kepadaku, aku tahu kalau semua itu akan percuma. Semakin aku terlihat menderita, semakin pria itu bertambah senang.

Aku hampir tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, dan aku?

AKU TIDAK PEDULI!

Felix seperti biasa mengantarku sekolah, supir dan pengawal pribadiku ini orang yang ramah dan selalu berusaha untuk melindungiku.

Ini semua bermula ketika teman-temanku mulai merundungku, ketika hari ibu dan hanya ada Nana yang hadir.

Aku yang kesal dengan mereka yang berbisik-bisik menjelekkan Nana, segera saja membuat balasan setimpal.

Perkelahian dengan beberapa murid, menyebabkan mau tidak mau ayahku harus datang untuk menemui kepala sekolah.

Pria itu murka dan marah, bukan karena apa yang sudah kulakukan! Tapi, karena aku sudah menyita waktunya yang amat berharga.

"AKU BENAR-BENAR MEMBENCINYA! AKU HARAP AYAH MASUK NERAKA!"

Aku merasa Tuhan tidak adil, kenapa harus dia! DIA? Yang menjadi ayahku?

Aku rela tidak memiliki harta berharga sekalipun, asalkan aku bisa menukar ayahku yang sangat kubenci ini.

Nyatanya Tuhan tidak mendengar doaku, karena aku masih terus berada pada kehidupanku yang kelam.

Semenjak perkelahian disekolah, ayahku memutuskan untuk bisa mengawasiku lewat seseorang yang bernama Felix.

Pria berumur sekitar duapuluh enam tahun itu, selalu ada di manapun aku berada - yahh... kecuali didalam rumahku.

Ayah mengancamku, jika aku berbuat ulah lagi maka dia tidak akan segan memasukkanku kedalam asrama khusus anak nakal.

"Aarrgggggh!!!!" Aku memukul mejaku dengan kuat, siswa yang duduk tidak jauh disampingku memandang heran dan bingung.

"Bella, kau kenapa? Kau tidak kesulitan menjawab soal, bukan?" Tanya seorang siswa hampir berbisik.

Ethan, dia adalah satu-satunya teman yang aku punya disekolah ini.

Atau lebih tepatnya hanya dia saja yang berani mendekatiku.

Bagaimana dengan murid lainnya? Ah... Mereka terlalu takut, karena aku sudah memiliki pengawal pribadi. Hal ini semakin membuatku sangat kesal, semua pergerakanku menjadi terbatas karena Felix terlalu mengawasiku.

"Ethan? Apa kau sudah selesai? Jangan berbicara dengan temanmu!" Sam, guru biologi yang masih muda dan singgle. Memperingati dengan senyuman ramah, yang ia tujukan untuk aku dan Ethan.

"Sudah jangan pedulikan aku! Aku tidak apa-apa, Ethan!" ucapku teramat pelan dan kembali menatap kertas ujian.

"Bagaimana kalau kita belajar bersama nanti, Bella?" Ethan sudah mendekatiku, ketika jam ujian sudah selesai. Aku hanya membalas dengan senyuman hambar, dan memasukkan semua buku dalam tasku.

"Memangnya kau tidak lihat, aku tidak bisa kemanapun! Yaa... Kecuali kau berani menghadapi Felix, apa kau berani?" tanyaku ketus.

"Mmm... Dia enggak makan manusia, kan?" Ethan balik bertanya, seketika aku pun menertawakan yang diucapkan oleh Ethan barusan.

"Aku memiliki janji dengan Nana. Maaf, sepertinya tidak bisa hari ini," ucapku saat sudah selesai merapikan semua peralatan tulis.

"Baiklah, beri aku kabar, ok. Kau bisa mengirimiku pesan, saat kau sudah tiba di rumah nanti," ucap Ethan penuh harap.

Menjelang sore itu aku pulang dan tiba lebih awal, tanpa pikir panjang aku segera saja mencari sosok Nana.

Setelah berputar-putar mencari Nana, aku menemukannya di pekarangan belakang rumah. Duduk sambil mendekap sebuah pigura foto, tidak langsung menyapa aku mencoba untuk mengintip.

Ternyata itu adalah foto kakek, dan aku melihat Nana meneteskan air matanya.

"Nana? Apa Nana sedang sedih? Jangan sedih, karena ada aku disini," ucapku dan langsung memberi pelukan.

"Ahhh... Bella? Nana tidak tahu kalau kau sudah pulang?" Ia pun membelai halus punggungku.

"Ingat Nana tidak boleh sedih, karena masih ada aku... Dan aku hanya memiliki Nana." Ucapku kembali.

"Ya Bela, Nana berjanji tidak akan bersedih kembali," balasnya dengan suara pelan.

Sore hari itu aku merasa nyaman dalam pelukan Nana, tapi kenapa perasaan cemas terus saja mengisi hatiku. Seakan-akan Nana sedang mengucapkan salam perpisahan kepadaku untuk selama-lamanya.