"Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, 'Saya telah melakukan godaan ini.' Iblis berkomentar, 'Kamu belum melakukan apa-apa.' Datang yang lain melaporkan, 'Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.' Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, 'Sebaik-baik setan adalah kamu.'" (HR. Muslim, no.2813).
*****
"May! Kamu mau kemana?" seru Razi yang melihat Maira sedang sibuk membereskan pakaiannya ke dalam koper besarnya. Namun pertanyaannya itu tidak digubris oleh istrinya.
"Sayang, kita bicarakan semuanya baik-baik," bujuk Razi sambil meraih tangan kanan Maira.
Emosi Maira masih menggemuruh di dalam dada. Air matanya terus-menerus mengalir. Rasa sakit itu terlalu mendominasi hati dan pikirannya. "Mas ..., tolong lepaskan aku! Tolong!" pinta Maira dengan tegas.
Perlahan Razi melepaskan tangannya. Razi sudah lelah berdebat sejak di perjalanan dari rumah sakit tadi. Ia bangkit lalu mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Lalu teriaknya, "Kenapa hatimu keras, May? Kenapa kamu selalu membuatnya sulit untukku, May?! Kenapa?!"
Maira tersentak dengan bentakan yang ditujukan untuknya. Belum pernah ia melihat suaminya semarah ini. Tapi bentakan itu tidak menyurutkan niat Maira untuk segera angkat kaki dari rumah ini. Rumah yang dibangun ulang oleh Razi dan Alma. Rumah yang interiornya diatur oleh Alma. Maira baru saja disadarkan oleh fakta menyakitkan itu. Sejak awal, ia-lah yang menjadi orang ketiga. Bukan Alma. Jadi menurutnya sudah sepantasnya ia yang harus mundur, bukan Alma.
Setelah menutup kopernya, Maira perlahan mendekati Razi yang sedang terduduk lemas di atas ranjang. Ia melihat bulir-bulir air menetes dari pelupuk mata suaminya. Pertama kalinya, Maira melihat seorang Razi menangis.
Awalnya Maira tergerak untuk memeluk Razi, namun niat itu segera diurungkannya. Khawatir setelahnya Maira akan berubah pikiran. Saat ini ia tidak boleh lemah.
"Mas, a-aku minta maaf. Sepertinya ... kamu harus menepati perjanjian kita di awal. Tolong ...," Maira menelan ludahnya sebelum melanjutkan, "Tolong, ceraikan aku! Jatuhkan talakmu!"
Razi menatap Maira lekat. Seakan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja sampai di telinganya. Seketika tubuhnya terasa lemas seperti dihempaskan ke dalam jurang. "Begitu mudahnya kamu minta aku menjatuhkan talak? Apa ini yang kamu mau?"
Maira berusaha mengumpulkan segenap kekuatan dalam dirinya. Ditahannya air mata yang akan kembali merebak. Hatinya terasa sakit. Ia tak pernah menginginkan perpisahan ini. Tapi ini hukuman yang harus diterimanya. Maira menjawab dengan tegar, "Ya, ini keinginanku! Kamu juga sudah tau kan, aku yang memenangkan promosi itu? Sesuai persyaratan yang aku ajukan di awal, ceraikan aku maka kamu bisa menikahi Al."
"Aku tidak pernah menerima persyaratan itu!" Razi kembali membentaknya.
"Kamu harus! Kita punya tujuan masing-masing. Aku dengan karirku, dan kamu ... kamu punya masa depan dengan Al!"
"Tapi aku tidak mencintai Al! Aku mencintai kamu, May! Apa perasaanku ini tidak berarti buat kamu?" protes Razi lemah.
"Kapan sih kamu sadar? Kamu itu lebih cinta sama Al! Kalian merenovasi rumah ini bersama-sama! Bahkan kamu meminta Al yang memilih perabotan. Apa kamu pernah menanyakan pendapatku? Nggak, kan? Apa kamu tahu kalau aku tidak suka dengan sofa, meja makan, lemari pilihannya? Nggak, kan? Di malam pernikahan kita, kamu menghabiskan waktu dengan Al. Saat Al tidak sadarkan diri, kamu sangat sedih. Waktu Al sadar, kamu terlihat bahagia. Apa kamu pernah menanyakan bagaimana perasaanku saat melihat kamu bersama Al? Nggak, kan? Kamu sayang sekali dengan Sarah, bahkan kamu terlihat pantas menjadi ayahnya. Dan kamu tidak memprotes Al yang sudah mencium -," Maira menarik napas sejenak lalu melanjutkan, "apa semua ini belum cukup buat bikin kamu melek dengan bagaimana perasaan kamu sebenarnya?"
"Aku sudah bilang kan, aku menganggapnya sebagai seorang adik!" Razi terpojok.
"Asha saja yang adik kandung kamu, apa pernah kamu minta pendapatnya soal rumah ini? Apa pernah kamu minta pendapatnya tentang perabotan rumah ini?"
"Jadi ini soal rumah? Oke! Kita jual rumah ini! Kamu boleh memilih rumah lain yang kamu suka!" balas Razi dengan emosi.
"Ini bukan soal rumah! Tapi soal kamu dan Al! Kamu mencintai Al, Mas. Kamu yang pernah mengucapkan kata-kata itu. Dan kata-kata itu menjadi alarm buat aku. Tolong, Mas ... tolong ceraikan aku, nikahi Al! Kalian saling mencintai, kalian saling membutuhkan." Mengucapkan kata-kata itu, semakin membuat dadanya sesak.
Razi menatap Maira dengan nanar lalu mengajukan tanya, "Bagaimana dengan kamu? Bagaimana dengan perasaan kamu?"
"I love you ..., but i love my job more. That's my answer!"
Dada Razi serasa terhantam. Meskipun kata-kata itu terlalu menyakitkan baginya, namun Razi tahu jawaban itu adalah keputusan bulat Maira yang tidak dapat digugat olehnya.
Razi berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya. Maira mendongakkan kepalanya. Keduanya saling bersitatap tajam dalam diam.
Razi menarik napas berkali-kali sambil mengucap kalimat istighfar dalam hati untuk menguatkan diri, lalu akhirnya mengucap, "saat ini juga aku jatuhkan talak atas dirimu, Maira Faizhura. Kamu boleh pergi kemana kamu mau, dan aku akan menikahi Alma, sesuai permintaan kamu."
Razi berjalan keluar kamar meninggalkan Maira yang sesaat menahan napasnya. Akhirnya kalimat sakti itu jatuh kepadanya. Maira mengira mentalnya sudah siap, ternyata tidak. Tangisnya pecah seketika. Tangannya terkepal meninju tembok hingga terluka. Bibir bawahnya digigit kuat hingga berdarah. Hatinya tercabik-cabik.
*****
1,5 Bulan Kemudian
"May, sering-sering vicall gue ya. Gue pasti kangen berat! Lo juga janji harus pulang waktu gue lahiran!" tuntut Ruri kepada sahabatnya itu dengan mata sembab. Ia turut mengantar keberangkatan Maira ke Jepang bersama dengan Fita dan Farhan.
Tak bedanya dengan Ruri, Fita pun turut berlinang air mata melepas kepergian anaknya. Ia teringat sebulan yang lalu saat Maira pulang ke rumahnya dengan banjir air mata dan menceritakan perihal pernikahannya yang hanya didasarkan oleh kebohongan, akhirnya telah berakhir. Fita marah, tapi bukan kepada Maira. Melainkan kepada dirinya sendiri sebagai orangtua. Ia menyadari bahwa keegoisannya-lah yang menjadi penyebab semua ini.
"Iya, insyaa Allah gw usahain. Tapi maaf ya kalo nanti gue nggak bisa. Gue bakalan tetap kirim kado kok buat calon ponakan," hibur Maira dengan tertawa.
"May ..., lo yakin nggak mau ngabarin -"
"Ngabarin kucing tetangga?" potong Maira sambil berseloroh.
"Ckck ... lo tau kan maksud gue siapa?"
"Udah, ah! Nggak usah ngebahas itu lagi. Entar mood gue rusak," sela Maira.
Kini gantian Fita yang menghampiri putrinya itu dan langsung memeluknya erat. "May, sayangnya bunda, hati-hati ya! Jaga diri baik-baik, jangan lupa sholat, makan teratur, telepon ayah-bunda. Bunda tahu kamu wanita tangguh. Kamu pasti bisa melewati semuanya. Sekali lagi, bunda minta maaf ya."
Maira mengusap punggung wanita yang telah melahirkannya itu untuk menenangkannya. "Sudah, Bun. May nggak apa-apa. Tolong do'akan May agar bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi."
Di Rumah Razi
"Zi, kamu tau kan, hari ini May berangkat ke Jepang?" Alma menyentuh lengan Razi yang sedang memegang koran.
"Hmmm," Razi hanya menjawab dengan gumaman sambil lanjut membaca koran.
"Kamu nggak mau ... nyusul ke -"
"Al, sekarang kamu istriku. Maira adalah masa laluku," potong Razi dengan tegas.
Razi telah resmi menikahi Alma seminggu yang lalu. Awalnya sulit baginya mengutarakan niatnya itu kepada umminya karena orangtuanya itu masih terlihat sedih dan kecewa atas perpisahannya dengan Maira. Namun setelah perlahan ia menjelaskan alasannya dan juga umminya itu sangat mengetahui kondisi Alma yang belum stabil dan masih duduk di kursi roda, akhirnya restu Winda pun dikantonginya.
"Tapi Zi, kalian kan belum sah bercerai secara hukum."
Razi mengelus pipi Al dengan ibu jarinya. "Sabar ya, Al. Nanti akan segera aku urus lewat pengacara. Kamu sudah minum obat pagi belum?"
Alma tersenyum seraya mengangguk pelan. Ia melirik pada Sarah yang sedang asyik bermain dengan babysitter baru mereka di teras. Kini bahagia itu menjadi miliknya, meskipun kondisi jasmaninya sudah tak lagi sama.
"Zi, ini kan hari Minggu. Kita jalan-jalan, yuk!" ajak Alma tiba-tiba dengan mengulas senyum.
"Hmmm ... mau jalan-jalan kemana?" tanya Razi dengan mata masih fokus membaca tulisan tajuk rencana di surat kabar itu.
"Ah, kamu diajak ngomong malah nyuekin aku!" Alma pura-pura merajuk.
Razi segera melipat koran lalu tatapannya beralih kepada istrinya yang sedang memberengutkan wajah.
"Kamu mau jalan-jalan kemana?" tanya Razi sambil tersenyum.
Bola mata Alma berbinar. "Ke Mal aja, yuk! Sepertinya Sarah perlu baju-baju yang lebih besar. Dia tambah montok sekarang. Sambil makan siang di sana."
Perlahan senyum Razi menghilang. Sama seperti Maira, ia bukan laki-laki yang senang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Ia lebih menikmati suasana di luar ruangan dan juga makan di warung pinggir jalan. Namun sebuah senyum kembali dikembangkannya. Tak mau mengecewakan istri keduanya itu, Razi menganggukkan kepalanya.
Alma terlihat senang, ia segera menjalankan kursi rodanya masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Razi mengikutinya dari belakang.
"Mau aku bantu?" Razi berdiri di belakangnya.
"Iya, dong! Gimana coba caranya aku lepas-pakai baju sendiri? Aku akan selalu butuh bantuan kamu," goda Alma sambil mengerlingkan matanya.
Razi maju membuka lemari, mengambilkan baju dan jilbab sesuai instruksi Alma. Lalu ia membantu melepaskan daster yang melekat di tubuh Alma. Berkali-kali Alma berharap jika ia mampu menggugah gairah suaminya sejak hari pernikahan mereka. Sayangnya selalu gagal. Keduanya belum pernah bersetubuh sama sekali. Alasan Razi selalu saja karena khawatir dengan kondisi Alma yang belum pulih benar.
"Setelah nikah, kamu jadi lebih manja ya," ujar Razi.
"Lho, kan memang seharusnya istri bermanja-manja dengan suami," jawab Alma dengan cengiran nakal.
Pikiran Razi otomatis membandingkan Alma dengan Maira. Ia ingat betul jika istri pertamanya itu wanita yang terlalu besar gengsinya. Tidak pernah sekalipun Maira bersikap manja kepadanya.
"Zi, kok ngelamun?"
"Hah? Eh, enggak! Lagi mikirin kerjaan, gambar yang buat PT. Digdaya belum selesai."
Seketika wajah Alma berubah murung. Sepertinya sejak mereka menikah, pikiran Razi sering melayang entah kemana. Razi bukan lagi laki-laki yang ia kenal dulu. Suami barunya ini lebih banyak termenung, sedikit bicara, bahkan jarang tertawa lepas. Alma tahu penyebabnya, tapi ia terlalu takut untuk mengakui. Alma membalik kursi rodanya, mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dalam lewat bola mata Razi. Mencari kejujuran yang tersembunyi di sana.
"Kenapa, Al?" tanya Razi heran.
"Kita batalkan saja, ya. Mendadak aku merasa nggak enak badan," Alma berkata dengan lemah. Pandangannya diturunkan ke bawah.
"Ada yang sakit? Mananya? Perlu ke dokter?" Razi terlihat cemas.
"Zi, stop! Tolong tinggalkan aku sendiri!" hardik Alma tiba-tiba.
"Al, mana yang sakit?" tanya Razi lagi dengan lembut.
"Stop, Zi! Stop! Aku mau sendiri!"
Razi menghela napasnya, mencoba bersabar. Ini bukan pertama kalinya Alma tiba-tiba berubah sikap. Menurut dokter, perubahan mood-nya ini bisa terjadi akibat pengaruh obat atau kondisi psikisnya. "Ya sudah, kalau butuh apa-apa panggil aku, ya," Razi mengelus pucuk kepalanya lalu meninggalkannya sendiri. Beberapa detik kemudian, air mata mulai membasahi wajah Alma.
Alma menyadari kebahagiaan ini hanyalah kesemuan belaka. Berkali-kali ia mencoba menafikan perasaan itu. Namun di dalam lubuk hatinya, Alma tahu bahwa cinta suaminya hanya untuk Maira.
-------------------
Maira telah tiba di sebuah apartemen sewa yang terletak di prefektur Kyoto. Apartemen yang dipilihnya untuk menjadi tempat tinggalnya sementara di Jepang. Maira melihat-lihat tempat itu. Apartemen kecil itu hanya memiliki satu kamar tidur. Perabotannya sudah lengkap.
Sebelumnya Maira memang meminta bantuan kenalannya bernama Nun, yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana untuk mencarikan apartemen sewa sederhana untuknya.
"Pi Nun, i love this place. Thank you so much for your help!" ujar Maira berterima-kasih kepada Nun, wanita berusia 34 tahun berkebangsaan Thailand.
"You're welcome. I'm glad you like it. I also live just two blocks from here. You can call me if you need anything." jawab Nun.
"Thanks, Pi. Maybe you can also show me the streets this afternoon."
"Okay, then we'll have oishi ramen for dinner! But now i need to go back to the park. Some forest rangers have awaited for me."
"Okay, Pi. See you tonight!"
Nun keluar dari apartemen itu. Meninggalkan Maira yang terlihat girang saat melihat balkon apartemen itu. Maira menyorong pintu gesernya lalu berjalan keluar. Ia tersenyum melihat pemandangan di depannya. Jalanan di depan terlihat sepi, udaranya bersih. Akhirnya ia lepas juga dari rutinitas hidup di antara hiruk-pikuk keramaian.
Maira menghirup udara menyejukkan di sekitarnya. Tenang. Kini hidupnya terasa tenang. Ia sudah terbebas dari orang-orang yang memberikan masalah di sekitarnya.
Matanya mengarah pada sepasang kakek-nenek yang berjalan melintas di depan apartemennya. Keduanya saling bergandeng tangan dengan mesra. Sang nenek menyandarkan kepalanya di lengan sang kakek. Terselip rasa iri melihat pasangan tua itu. Tiba-tiba dari arah berlawanan, datang seorang wanita dewasa menghampiri dan memeluk keduanya. Wanita itu pasti anak mereka, pikirnya.
Ingatannya pun tertuju pada malam bulan madunya di Bandung. Malam ketika ia kehilangan keperawanannya.
Malam itu setelah menerima telepon dari Arga yang mengabari kondisi Alma yang sedang labil, Razi mengajaknya untuk pulang ke Jakarta. Tapi Maira justru menarik Razi untuk kembali ke atas ranjang dan memulai permainan itu. Setelah itu mereka kembali ke Jakarta, dan cerita mereka pun berakhir.
Maira menyentuh perutnya, berharap tidak ada calon bayi yang bersemayam di dalam rahimnya akibat perbuatan mereka malam itu. Ia tidak mau anaknya nanti bernasib sama dengan Sarah. Namun Maira tetap saja cemas. Pasalnya ia memang telat mendapat tamu bulanan. Semoga saja Allah berbaik hati mengabulkan permohonannya, harapnya kuat.
Maira memandangi cincin bermata banyak yang masih melekat erat di jari manisnya. Cincin yang disematkan oleh Razi di hari pernikahan mereka.
Perlahan Maira melepaskan cincin itu. Bulir air mata mulai mengalir keluar dari matanya. Ditatapnya lekat-lekat cincin itu. "Sayonara, Cinta!"
*****