webnovel

May dan Aji (Completed Story - TAMAT)

Aku tidak serentan yang kamu pikir. Tidak! Aku kokoh, sekokoh tegaknya pohon jati berusia ratusan tahun. Terpaan badai yang kamu kirimkan, tidak akan mudah membuatku tumbang. (MAIRA FAIZHURA) Jika saja kamu tahu alasan Hawa diciptakan untuk Adam. Maka kamu akan tahu kenapa Allah kembali mempertemukan kita. (ARSAN FAHRURAZI) Di tengah-tengah kesuksesan karirnya, tidak pernah terbayangkan oleh Maira, jika takdir akan kembali mempertemukannya dengan pria yang pernah merobek hatinya dengan belati tajam dari mulutnya. Dan hingga kini robekan itu tak dapat dipersatukan kembali, bahkan untuk dijahit sekalipun. Lalu bagaimana mungkin ia bisa menikahi Razi, sang pangeran bermulut pedang dan menjadikannya pendamping hidup untuk selama-lamanya? Namun dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa itu masih ada di sana, berlonjakan setiap kali pria itu dekat dengannya. Apakah Maira akan menuruti kata hatinya yang diam-diam menikmati luka? Atau menuruti impian yang telah dipupuknya sejak kecil? ***** Ikuti kisah May & Aji selengkapnya ♥️♥️♥️

Kaira_Mayza_Milady · Integral
Sin suficientes valoraciones
39 Chs

12. Malam Pertama

- Ku sempat mengira bahagia itu milikku. Aku salah. Bahagia itu tetap miliknya. -

- May -

*****

"Saya terima nikah dan kawinnya Maira Faizhura binti Farhan Adhikara dengan mas kawinnya tersebut, tunai!"

"Sah!"

Razi menarik napas lega karena dengan lantangnya berhasil mengucap kalimat ijab kabul dalam satu tarikan napas. Penghulu dan setiap pasang mata yang menyaksikan prosesi sakral itu pun mengucap syukur dan membacakan do'a bagi sepasang pengantin baru itu.

Sang bidan pengantin segera menuntun Maira keluar dari kamarnya untuk duduk bersanding dengan Razi yang kini telah sah menjadi suaminya. Ia memandu Maira untuk segera mencium tangan suaminya itu. Maira terlihat menyembunyikan rasa enggannya. Ia harus menjaga sikap di depan kedua orangtua, saudara, kerabat dan teman dekat mereka.

Maira terkesiap saat Razi membalas dengan mengecup keningnya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ini pertama kalinya ia dicium oleh seorang pria, meskipun hanya di bagian atas wajahnya. Razi sendiri menampilkan senyum sumringahnya. Maira bertanya - tanya apakah itu senyum tulus atau senyum palsu yang di buat - buat oleh suaminya itu.

"Cantik!" Razi berujar.

Dengan sedikit angkuh, Maira membalas, "udah tau!"

Terlihat Malik, adik laki - laki Maira yang masih berusia 20 tahun melempar senyum mengejek padanya. Sedangkan Asha, dan Arsi yang sengaja terbang dari Makassar ke Jakarta, terlihat tersenyum bahagia melihat kakaknya kini telah menikah

Prosesi sungkeman dan salam - salaman pun berlangsung singkat. Setidaknya hanya sekitar 40 orang saja yang menghadiri acara ini, termasuk Ruri dengan suaminya. Sedangkan Alma, meskipun telah diundang, sosoknya sama sekali tidak terlihat dalam aula masjid itu.

Acara sakral ijab kabul ini diadakan di aula masjid yang terletak tidak jauh dari kediaman Razi. Rumah yang ia beli tunai dari tetangga Umminya, sekitar setahun yang lalu. Lokasinya pun sangat dekat dengan rumah Umminya, hanya berjarak empat rumah saja.

Saat Maira menyatakan persetujuannya untuk menikah dua minggu yang lalu, Razi pun langsung mempersiapkan rumah ini agar dapat segera mereka tempati bersama.

Awalnya Razi sempat menemui kesulitan dalam meyakinkan Fita, Bunda dari Maira, untuk mengizinkan ia dan Maira tinggal bersama di rumah barunya ini.

Sejak awal, Fita selalu menginginkan anak - anaknya untuk kumpul bersama dalam satu atap dengannya, meskipun telah berkeluarga. Maklum saja, Fita sendiri dibesarkan dalam sebuah keluarga yang beranggotakan banyak orang, tinggal seatap dalam satu rumah.

Namun akhirnya, Razi berhasil membujuknya dengan menyampaikan dalil - dalil dalam agama, meskipun dengan syarat setiap akhir pekan mereka harus berkunjung sekaligus menginap di sana. Maira sendiri tidak berkeberatan, ia malahan mendukung aksi Razi itu. Menurut Maira, pisah rumah dari orangtuanya merupakan awalan yang bagus untuk mendukung langkahnya selanjutnya.

Acara syukuran sederhana itu telah selesai. Maira dan Razi pun telah kembali ke rumah. Kini hanya mereka berdua saja yang berada dalam rumah berukuran 200 meter persegi itu. Rumah itu memiliki empat kamar tidur. Sesuai kesepakatan awal, Maira dan Razi akan tidur di kamar yang berbeda. Dan posisi kamar yang mereka tempati bersebelahan. Alasan Razi, agar lebih mudah memindahkan barang - barang saat orangtua mereka datang berkunjung.

Setelah selesai berganti baju dan menghapus riasan di kamarnya, Maira segera beranjak ke ruang keluarga untuk menyalakan televisi. Tidak butuh waktu lama bagi Maira untuk membiasakan diri dengan tempat tinggal barunya itu. Mungkin karena seringnya ia bepergian dan menginap di berbagai tempat.

"Ehem, sudah bersih - bersih?" Razi menegurnya dari belakang sofa. Maira pun segera memutar kepalanya untuk melihat ke arah pria itu.

"Sudah. Kenapa?"

"Kita sholat dua raka'at dulu."

"Heh? Sholat apa?" Maira bertanya dengan heran. Ia melirik ke arah jam dinding. Waktu masih menunjukkan pukul setengah lima sore. Waktu sholat Ashar telah lewat, waktu sholat Maghrib juga belum dekat.

"Sholat sunnah pengantin. Ayo wudhu! Aku tunggu di mushola." Razi segera meninggalkan Maira untuk menuju sebuah ruangan seluas kamar tidur yang memang sengaja dijadikannya sebagai tempat untuk melaksanakan aktivitas ibadah.

Maira yang masih kebingungan, akhirnya beranjak untuk mengambil wudhu, lalu menghampiri suaminya yang sedang berdzikir di dalam mushola.

"Emmm...ini sholatnya gimana?" Maira yang sudah selesai mengenakan mukena bertanya dengan polos.

"Ikuti aku saja." Razi yang telah bangkit berdiri pun segera mengimami istrinya itu.

Saat Razi membacakan ayat demi ayat dalam sholat, di dalam hati Maira memuji suaminya itu. Ia tidak menyangka imamnya ini begitu fasih dan tartil dalam melantunkan ayat - ayat Allah. Serasa ia menikahi seorang ustadz, karena bacaannya itu. Diam - diam, terselip rasa syukur di hatinya karena sepertinya ia menikahi pria yang tepat. Tapi rasa itu tak berlangsung lama. Maira mendadak ingat kalau pernikahan ini hanya sekedar hitam di atas putih.

Selesai sholat, Razi memutar balik badannya menghadap istrinya. Ia menatap Maira dengan pandangan yang tak biasa. Ia julurkan tangan kanannya kepada Maira.

Maira yang tidak mengerti arti juluran tangan Razi pun bertanya, "apaan nih?"

"Selesai sholat, istri mencium tangan suami dengan takzim."

"Eh? Ta - tadi 'kan udah abis ijab kabul." Maira tidak segera menjabat tangan Razi.

"Ini setiap selesai sholat. Mau dapat berkah nggak?" Razi tetap menjulurkan tangannya. Maira yang mendelik dengan wajah enggan pun terpaksa menerima uluran tangan suaminya itu.

Tiba - tiba tangan Razi di angkat untuk menyentuh ubun - ubun Maira sembari merapalkan do'a yang sudah dihafalnya, "Allahumma inni as-aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha alaih, wa a'udzu bika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaih."

"Eh - eh, dibacain do'a apa 'tuh kepalaku?" Maira semakin terlihat bingung.

"Do'a seorang suami memohon kebaikan untuk istrinya. Sunnah Rasul." Razi menjelaskan dengan tersenyum. Senyum yang membuat pipi Maira mendadak memerah.

"Iihh...apaan sih pake begituan? Emangnya aku nggak baik apa?" Maira memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rasa malu - malunya.

Razi semakin tertawa melihat sikap istrinya. Ia semakin tertarik untuk menggodanya, "nggak usah pake malu - malu gitu. Sudah halal juga. Maksudnya, biar kamu tambah lebih baik lagi."

"Tau ah!" Maira segera bangkit berdiri dan melipat mukenanya. Ia ingin cepat - cepat menghilang dari hadapan suaminya itu. Namun Razi menahan tangannya. Sentuhan itu serasa mengalirkan listrik di sekujur tubuh Maira. Dengan refleks, Maira menarik tangannya.

"Kenapa?" Ia memegangi tangannya sendiri.

"Nanti makan malam mau makan apa?"

"Apa ajalah. Aku pemakan segala." Maira menjawab dengan nada ketus.

"Kamu bisa masak 'kan?"

"Maksudnya? Kamu mau aku masak?"

"Yaa...kalau tidak keberatan. Nasi dengan telor ceplok juga nggak apa-apa. Aku sudah beli sedikit persediaan untuk di dapur."

Maira terlihat berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "aku liat dulu deh ada bahan apa di dapur." Maira pun berjalan keluar dari mushola.

"Masak yang enak ya, istriku." Razi menyeringai halus.

Mendengar kata - kata Razi, Maira segera berbalik sembari mengulum senyum. Sampai di dapur, Maira segera membuka kulkas untuk melihat bahan - bahan yang sudah tersedia. Akalnya langsung bekerja. Ia sudah tahu akan menghidangkan masakan apa untuk suaminya itu. Tanpa disadarinya, Maira senyum - senyum sendiri. Ia membayangkan jika suaminya itu nanti akan melayangkan pujian padanya jika sudah mencicipi masakannya. Tangan Maira segera bekerja untuk meracik bumbu - bumbu.

Sementara itu Razi diam - diam mengintip aktivitas istrinya dari dalam bilik mushola. Bibirnya pun menyunggingkan senyuman.

Maira memasak dengan hati berbunga - bunga. Kadang kala ia bersenandung di tengah - tengah kegiatannya. Aroma masakannya menguar ke segala penjuru rumah itu. Maira menyicip sedikit masakannya, dan ia bangga dengan hasilnya.

Masakannya telah siap, bertepatan dengan terdengarnya adzan Maghrib. Ia meletakkan hidangannya di atas meja makan.

"Hmmm...baunya enak nih." Kehadiran Razi tepat di belakang Maira, mengejutkannya. Maira pun segera menoleh ke arah pria itu

"Ish, ngagetin aja! Ya iyalah, dijamin rasanya tidak mengecewakan." Maira sedikit gugup karena posisi mereka yang berdekatan, bahkan hampir bersentuhan.

"Percaya kok. Istriku sepertinya pintar masak." Senyuman yang ditampilkan Razi semakin membuat Maira salah tingkah.

Secepat kilat Maira menggeser badannya agak menjauh. "Eh, emmm...mau makan sekarang?"

Di luar dugaan Maira, Razi justru kembali mendekatinya dari belakang. Kali ini justru kedua tangannya menyentuh kedua pundak Maira. "Kita sholat maghrib dulu ya. Setelah itu, kita makan bersama." Setelah berucap, Razi segera meninggalkannya untuk mengambil wudhu.

Melihat sosok Razi menghilang, Maira langsung menyentuh dadanya. Napasnya tersengal - sengal. Terasa adanya lonjakan di detak jantungnya. Jantungnya memompa darah dengan cepat. Perutnya terasa geli seperti ada kupu - kupu beterbangan di dalamnya. Rasa yang aneh, namun Maira menikmati sensasinya. Sekarang Maira senyum - senyum sendiri seperti kehilangan kewarasannya.

"May, ayo..." teguran Razi dari dalam mushola membawanya kembali ke alam sadarnya. Maira pun menyegerakan langkahnya.

Sepasang pengantin baru itu segera melaksanakan ibadah sholat Maghrib bersama. Kali ini, Maira mencoba menghayati ibadahnya dengan lebih khusyuk. Pikirannya fokus pada lantunan ayat suci yang dibacakan Razi.

Selesai melaksanakan sholat, keduanya langsung menuju meja makan yang di atasnya sudah tersedia nasi, tahu goreng, dan soto ayam. Tanpa menunggu waktu lama, Razi segera menyendok makanannya.

"Soto ayamnya enak. Terima kasih ya, istriku." Razi terlihat puas setelah menyelesaikan makannya dengan cepat. Kini ia kembali menyendok soto porsi ke dua.

"Ehem, ya kebetulan aja ada bahan - bahannya di kulkas. Dan waktu itu kamu bilang suka sama soto ayam. Jadi...yaa aku masakin." Maira masih berusaha terlihat acuh tak acuh.

"May, kamu nggak punya panggilan buat aku?" Kini Razi menatapnya serius.

"Maksudnya?" Maira mengernyitkan dahinya.

"Aku nggak pernah dengar kamu panggil nama aku." Tatapannya terlihat menghakimi. Maira mengalihkan pandangannya.

"Yaa abisnya, a - aku bingung...mau manggil apa. Dipanggil Kak, kamu udah bukan kakak kelas aku. Dipanggil nama aja, kesannya aku nggak sopan, karena jelas kamu lebih tua dari aku. Jadi, yaa...aku nggak tau mau manggil apa."

"Kamu boleh panggil aku apa aja. Asalkan dengan panggilan yang baik - baik dan sopan."

"Contohnya?" Maira yang telah menyelesaikan makannya, berpangku tangan di atas meja.

"Panggil Kak juga nggak masalah. Atau Mas, atau Abang, atau..." Razi menghentikan kalimatnya. Terlihat seringai halus terulas di wajahnya.

"Atau apa?" tanya Maira penasaran.

"Atau...emmm, Sayang?"

"Hah?" sontak wajah Maira memerah, mulutnya menganga karena kaget. Tingkahnya itu segera disambut tawa oleh Razi.

"Nggak usah kaget gitu."

"Jangan suka godain aku kayak gitu! Nggak lucu!" Maira merajuk.

Razi menatap istrinya itu dalam, ia menarik napas lalu mengucap, "aku serius, Sa..."

Tiba - tiba terdengar suara bel pintu dari luar. Sepertinya mereka kedatangan tamu.

"Aku aja yang buka." Razi segera beranjak menuju pintu depan. Maira pun mengikutinya dari belakang. Penasaran siapa yang datang di jam ini.

Ketika membuka pintu, Razi dan Maira sama - sama terkesiap melihat sosok yang berada di teras rumah mereka.

"Assalamu'alaikum. Maaf ya, aku telat datang."

"Alma?" Maira seperti tidak percaya melihat kehadirannya.

"Wa'alaikumussalam. Al, kamu...sama siapa?" Perubahan ekspresi terlihat di wajah Razi. Ia yang tadinya terlihat sumringah, kini justru terlihat gusar.

Alma menyunggingkan senyum aneh di wajahnya yang terlihat agak pucat. Tanpa dipersilahkan, Alma justru memberanikan diri untuk langsung memasuki rumah itu. "Cuma berdua sama Sarah. Maaf ya, aku ganggu. Tadi Sarah rewel. Jadi, aku berangkat nunggu mood-nya baikan. Eh, malah kejebak macet di tengah jalan. Aku naik taksi online tadi."

"Oh ya, Zi. Aku titip Sarah dulu ya? Boleh 'kan aku numpang sholat Maghrib? Takut keburu Isya." Alma langsung menyerahkan putri semata wayangnya itu untuk digendong oleh Razi. Melihat Razi, Sarah langsung tertawa. Balita itu sepertinya senang melihat sosok yang dirindukannya. Sedangkan Razi, ia tak mampu berkata - kata.

"Eh, aku anterin ya ke musholanya." Maira menawarkan diri untuk menemani tamunya itu.

"Enggak usah, May. Aku tahu kok tempatnya. 'Kan aku dan Razi yang merenovasi rumah ini. Bahkan aku memberi beberapa masukan tentang dekornya." Alma menjawab dengan senyuman.

"Oh..." hanya kata ini yang terlontar dari bibir Maira. Mendengar penjelasan Alma, Maira seperti disadarkan dari mimpinya.

Razi yang sedang diajak bercengkerama oleh Sarah, memperhatikan ekspresi wajah istrinya.

Sepanjang waktu Alma sholat, Maira menyibukkan dirinya dengan membereskan piring - piring bekas makanan. Tidak sekalipun ia melayangkan tatapannya kepada suaminya yang sedang bermain dengan Sarah di ruang keluarga.

"Alhamdulillah, Sarah sudah mau diajak bermain. Entah kenapa sejak tadi pagi Sarah cemberut aja, bahkan rewel. Aku pikir dia sakit, tapi setelah aku cek fisiknya sepertinya tidak ada masalah. Ternyata lagi kangen sama Ayah Razi, ya." Penuturan dari Alma yang baru saja muncul di ruang keluarga itu, berhasil membuat Maira dan Razi serempak menoleh ke arahnya.

"Eh, ma - maaf. Maksudku...maaf, ya May. Soalnya, Sarah sudah menganggap Razi seperti..." Alma ragu - ragu untuk meneruskan kalimatnya. Ia melihat sorot mata Maira berubah tajam. Alma pun langsung berinisiatif untuk membelokkan arah pembicaraan, "eh, oh iya...aku belum ngucapin selamat atas pernikahan kalian. Selamat ya...Semoga langgeng, sakinah, mawaddah, warrohmah. Aamiin," selesai berucap Alma menelan ludahnya. Ada rasa yang sedang ia pendam.

"Terima kasih, Al." sahut Maira dengan nada datar.

"Kamu belum makan 'kan, Al? Maira masak soto ayam tadi. Kamu harus coba." Razi yang merasakan suasana semakin tegang, akhirnya mencoba turun tangan.

"Waaah, iya aku mau. Kebetulan laper banget nih." Alma langsung bergerak beberapa langkah menuju meja makan. Maira dengan berat hati, ikut menemaninya di meja makan.

"Maaf ya, adanya cuma soto dan tahu goreng." cetus Maira datar.

"Wah, ini sih udah istimewa banget. Aku coba ya. Eh, kamu dan Razi sudah makan?" Alma segera menyendok hidangan yang tersedia di atas meja.

Maira pun mengambil posisi duduk berhadapan dengan Alma. "Sudah tadi."

"Bismillah." Alma segera menyendok suapan pertamanya.

"Hmmm...enak, May. Jago ya kamu masak."

"Biasa aja. Sekedar bisa aja."

"Cumaa...eh ini, mungkin agak kurang asin ya. Lebih mantap kalo dikasih garam sedikiiit lagi. Terus sama disediain jeruk nipis. Lebih enak kalo ada asem-asemnya, jadi segar gitu." Celotehan Alma yang memberinya kritikan, terasa seperti selekitan di dada Maira. Namun Maira berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Maunya sih begitu, tapi si Bapak itu tidak menyediakan jeruk nipis di dapur." Maira melirik ke arah Razi yang hanya tersenyum kecut.

"Oh iyaaa, maaf ya May. Aku yang lupa. Bukan salah si Bapak Razi. Kemarin waktu kita belanja bareng, aku lupa ngambil jeruk nipis di supermarket." Alma tertawa kecil mengingat kealpaannya.

Maira mengerutkan dahinya, "belanja bareng?"

"Iya, jadi kemarin itu aku nemenin Razi belanja di supermarket. Katanya mau nyetok bahan makanan buat di masak sama calon istri. Berhubung dia nggak ngerti urusan dapur, jadi aku ikut turun tangan deh." dengan gamblangnya Alma menjelaskan kepada Maira. Sementara Maira hanya tersenyum aneh. Entah kenapa rasa sakit bertubi - tubi menyerang dadanya.

Razi yang mengerti arti raut wajah Maira, akhirnya berjalan mendekatinya sembari menggendong Sarah dalam dekapannya.

"Enak 'kan masakan May?"

"Hmmm...enak kok. Enak ya Zi, punya istri yang bisa masak." Alma mengulas senyum ke arah Maira.

"Alhamdulillah. Untung istri bisa masak, urusan perutku aman." Razi berusaha mencairkan suasana hati Maira. Namun Maira hanya melirik sinis padanya. Maira hendak membalas perkataan Razi, tapi ponsel di saku celananya bergetar. Ia segera mengeluarkan ponselnya untuk membaca pesan yang mausk di layar.

"Asha dan Ummi mau mampir kesini. Mau nganter kue - kue sisa katering tadi." Maira menginfokan isi pesan itu pada Razi yang sedang berdiri di sampingnya.

"Eh, kalo gitu, aku langsung pamit pulang aja ya. Kalo ada Asha pasti nanti malah jadi ngobrol lama sampai lupa waktu." Alma beranjak dari duduknya untuk membawa piring bekas makannya ke dapur.

Razi segera menoleh ke arah Maira. Maira justru balas membuang mukanya dari Razi. Ia tahu istrinya itu pasti sedang berselimut kesal.

"May, kita antar mereka pulang ya. Kasian Sarah. Sepertinya Sarah juga sudah mengantuk." Razi berkata dengan setengah berbisik.

"Tau ah! Terserah!" ketus Maira.

Alma yang baru saja tiba dari dapur langsung mendekati Razi untuk mengambil kembali Sarah. Putrinya itu terlihat setengah mengantuk.

"Aku antar, Al."

"Eh, eng - enggak usah, Zi. Aku naik taksi online lagi aja. Nggak papa kok." Alma segera mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk membuka aplikasi pemesanan taksi online.

"Nggak apa - apa juga. Kasian Sarah."

"Nggak usah, Zi. Lagian Ummi kamu sama Asha 'kan mau kesini. Masa ditinggal pergi."

Razi kembali melayangkan pandangannya ke arah Maira yang terlihat menahan jengkel.

"Ya udah, kamu aja yang nganter. Aku disini nunggu Asha sama Ummi dateng." Maira berkata tanpa melihat ke arah suaminya.

"Tapi...May..." Alma menunjukkan wajah segannya. Ia merasa bersalah.

"Nggak papa, Al. Ini udah malam. Kasian kamu sama Sarah. Biar SUAMI-ku yang antar." Maira berkata dengan menekankan pada kata 'suami'.

"Ma - makasih ya, May. Maaf..."

Razi segera mengambil kunci mobil dari dalam kamarnya. Ia merasa tidak tenang meninggalkan istrinya itu sendirian. Apalagi dalam kondisi penuh kekesalan seperti itu. Namun ia juga tidak bisa mengabaikan Alma dan Sarah. Razi menghela napasnya. Dalam hati ia berdo'a semoga ia bisa segera mengurai benang kusut ini.

Selesai melepas kepergian Razi, Alma dan Sarah, Maira segera menghambur masuk ke dalam kamarnya. Ia terduduk di belakang pintu. Kedua kakinya ditekuk di depan dada. Ia meringkuk, melepas isak tangisnya. Malam pertama mereka, bukan miliknya.

*****