webnovel

Bab 7: Back To Rutinity

"Kak Hana, jadi ke mini market, nggak?!" ucap suara dari arah luar rumah.

"Jadi! Tungguin kakak!" sahut Hana.

Dengan cepat, Hana memakai jaketnya dan bergegas menghampiri Dirga, adiknya. Usia Hana masih 7 tahun saat ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan ayah Dirga, namun lima tahun setelah melahirkan Dirga sang ayah justru melarikan diri dengan meninggalkan sejumlah hutang. Hana tidak pernah membenci Dirga, maupun ibunya. Meski kadang ia merasa hidupnya teramat berat karena terpaksa menanggung beban dan hutang sebanyak itu, tapi Hana tidak pernah mengeluh. Lebih tepatnya, Hana tidak bisa mengeluh. Selama ini Hana hanya bisa memendam semuanya sendirian, bahkan ia tak pernah menangis di hadapan Dirga.

"Hari ini Kakak nggak kerja?" tanya Dirga seraya menyalakan mesin motornya.

"Sekarang resto tutup tiap hari Minggu. Padahal, biasanya paling ramai," jawab Hana.

Di depannya Dirga hanya mengangguk-angguk saja sembari menjalankan motornya menuju mini market terdekat. Semenjak restoran menjadi milik Darma Group, setiap hari Minggu seluruh karyawan restoran bisa libur karena memang restoran tutup. Sangat disayangkan, karena biasanya akhir pekan adalah puncak pengunjung restoran, tapi Hana tidak mau ambil pusing. Memikirkan hal itu hanya akan membuatnya teringat pada Ganendra.

Hana segera menggeleng, menjauhkan segala pikiran tentang lelaki itu dari kepalanya adalah yang terbaik saat ini. Sudah lebih dari seminggu, Ganendra tidak menghubungi ataupun datang ke restoran. Meski sedikit heran dengan hal itu, tapi Hana merasa sangat bersyukur. Mungkin Ganendra sudah menyadari, kalau gadis yang ia cintai memanglah Teressa, bukannya Hana. Lagi pula, mana mungkin pria tampan dan kaya raya seperti Ganendra jatuh hati pada gadis kumal dan miskin sepertinya. Hana terkekeh geli. Tanpa sadar, motor Dirga sudah berhenti di depan mini market.

"Kamu mau tunggu di sini atau ikut Kakak?" tanya Hana pada Dirga yang masih setia duduk di atas motornya.

"Di sini aja, Kakak jangan lama-lama."

Hana mengangguk, sebelum kemudian bergegas mencari kebutuhan yang ingin ia beli. Sebenarnya Hana tidak rutin berbelanja, hanya saja ada beberapa make up yang habis dan malam ini Hana ada janji bertemu klien. Setelah Ganendra, sudah lama sekali sejak Hana tidak mengaktifkan aplikasi. Hingga semalam, ia tak sengaja mengaktifkannya dan malah mendapat klien. Mau menolak, Hana juga tidak bisa, karena hal itu akan memengaruhi rating pada kinerjanya. Jadi ia terpaksa berbohong pada Dirga dan bilang ingin membeli pembalut di mini market, padahal sebenarnya Hana membeli lip tint dan mascara.

Setelah mendapat barang yang ia butuhkan, Hana segera menuju kasir dan membayar. Ia tidak mau membuat Dirga menunggu terlalu lama dan pada akhirnya malah mencurigainya. Keluarganya memang sangat menolak pekerjaan Hana yang satu itu, terutama Dirga.

"Kak, Kakak udah hapus aplikasi itu, kan?" tanya Dirga tiba-tiba di perjalanan pulang.

"U-udah, kok!"

"Aku nggak mau Kakak kerja begitu, akhir-akhir ini aku juga udah magang di kedai kopi, jadi Kakak bisa keluar dari pekerjaan itu. Aku nggak mau Kakak dicap murahan sama orang-orang," ucap Dirga lagi.

"Iya, Kakak tahu. Dirga udah besar sekarang." Hana terkekeh sembari mengacak rambut Dirga dari belakang.

"Duh, Kak! Bisa jatuh, nih!"

Hana hanya tertawa mendengar omelan adiknya. Ia tahu, kalau dengan membohongi keluarganya, situasinya tidak akan membaik. Tapi Hana masih belum bisa melepas pekerjaan itu. Karena biar bagaimanapun, bekerja sebagai Pacar Sewaan memberinya penghasilan yang lebih besar. Dengan begitu, Hana bisa dengan cepat melunasi semua hutang-hutang peninggalan ayah Dirga yang selama ini hanya ia bayar bunganya saja. Hana ingin membebaskan keluarganya dari jeratan hutang, meski dengan menjadi pacar sewaan.

***

Malam ini Dirga ada di rumah. Jadi setelah berdandan dan memakai pakaian mewah, Hana menutupi dirinya dengan jaket dan bergegas keluar rumah. Kalau sampai ketahuan, yang ada Dirga tidak akan mengizinkannya keluar.

"Mau ke mana, Kak?" tanya Dirga, mengalihkan perhatiannya dari layar televisi kepada Hana.

"Ke tempat Dean sebentar. Kakak jalan sendiri aja," ucap Hana.

"Oh, yaudah. Nanti kalau mau dijemput telepon aku."

"Oke, Kakak jalan dulu," pamit Hana.

"Hm, Hati-hati."

Sambil menghela napas lega, Hana segera bergegas dan menaiki taksi online yang memang sudah ia pesan sebelumnya. Di dalam taksi, ia melepas jaket yang sebelumnya ia kenakan dan membetulkan rambutnya. Ia sudah janjian dengan kliennya di balroom hotel bintang lima. Melihat dari tempatnya, Hana yakin pertemuan kali ini adalah sebuah pesta mewah. Ia tidak boleh tampil mengecewakan malam ini. Biar bagaimanapun, Hana masih membutuhkan uang.

Setelah membayar ongkos, Hana turun dari taksi dan menghubungi sang klien. Padahal ia bisa masuk sendiri, tapi kliennya kali ini bersikeras untuk menjemputnya di lobby hotel.

"Halo, Pak. Saya sudah di lobby," ucap Hana begitu panggilannya tersambung.

"Baik, saya jemput kamu sekarang."

Hana mengangguk, kemudian menutup panggilan telepon. Tak lama, seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan balutan jas berwarna navy mewah terlihat keluar dari lift dan menghampirinya. Laki-laki itu tersenyum manis sampai membuat kedua matanya menyipit. Hana balas tersenyum padanya.

"Kamu Teressa?" tanya orang itu.

Hana mengangguk. "Benar, Pak."

"Saya Leon, kamu jangan panggil saya Pak, panggil Mas saja, ya?" ucap pria bernama Leon itu sembari menjulurkan sebelah tangannya.

"Baik," jawab Hana singkat.

Setelahnya, Leon memandu Hana untuk memasuki balroom yang ternyata sudah ramai dengan orang-orang. Ini bukan pesta biasa, Hana yakin sekali kalau ini adalah pesta mewah dari kalangan kelas atas. Melihat betapa mewahnya balroom hotel ini disulap, serta orang-orang yang berpakaian mewah. Hana hampir saja memekik norak.

"Kamu rileks saja, cukup temani saya dan nggak perlu bicara apa-apa," ucap Leon lembut sembari menaruh jemari Hana pada lengannya.

"Baik, Mas." Hana menurut.

Dengan senyuman hangat dan perlakuan lembutnya, Leon mulai mengenalkan Hana dengan beberapa kolega juga rekan bisnisnya. Meski tidak mengerti dengan pembicaraan mereka, Hana tetap senyum palsu. Biar bagaimanapun, Hana tetap harus profesional dalam menjalani pekerjaannya.

"Teressa, saya mau bicara dulu dengan rekan-rekan bisnis saya, kamu bisa berkeliling. Nanti kalau saya sudah selesai, saya akan hubungi kamu."

"Baik." Hana mengangguk patuh.

Leon tersenyum padanya sebelum kemudian meninggalkan Hana sendirian di tengah-tengah pesta yang glamor. Dengan cepat, Hana memanfaatkan situasi ini untuk mencicipi makanan enak yang tersedia gratis di sana. Jaran-jarang Hana mencicipi makanan mewah dan mahal seperti ini. Hana tersenyum gembira ketika mencicipi sepotong puding stroberi yang ternyata rasanya luar biasa. Tanpa perlu dikunyah, puding itu langsung meleleh di mulutnya, ditambah dengan rasa manis yang pas membuat mulut Hana rasanya seperti meleleh.

"Ini enak banget!" pekiknya sendiri.

Hana masih menikmati kudapan manis itu dengan hati riang, tanpa disadari jauh di belakangnya ada sepasang mata yang tengah memperhatikannya dalam diam.

***