webnovel

Bab 3 : The Reality

Pembayaran sudah dikirim melalui aplikasi, berikut dengan bonus dan insentif dari klien. Luar biasa, melihat berapa digit angka yang tertera di layar notifikasi ponselnya, Hana bahkan hampir pingsan. Ternyata ucapan Jagad kemarin memang benar-benar serius, terbukti dari bayaran yang ia Terima hari ini.

"Bu, Hana mau berangkat kerja dulu. Uang sewa rumah sudah Hana transfer ke Bu Indah, jadi Ibu nggak perlu bayar lagi," ucap Hana pada sang Ibu yang masih setia duduk di ruang tengah sambil membersihkan sayuran.

"Itu uang dari pekerjaan kamu yang mana, Hana?" tanya ibunya pelan.

Hana menghela napas pelan. Kalau ibunya sudah membahas hal ini dan tahu kalau uang itu ia dapat dari bekerja sebagai pacar sewaan, sudah pasti ibunya akan marah. Sejak awal, Hana memang sudah tidak diizinkan bekerja sebagai pacar sewaan. Tapi karena keadaan yang mendesak dan kondisi ekonomi yang kian hari kian memburuk, Hana terpaksa menjalaninya. Dimarahi, sudah sering Hana Terima. Namun ibunya juga tidak bisa berbuat banyak, sebab mereka memang butuh uang.

"Ibu tenang aja, Hana abis dapat gaji dari resto." Hana terpaksa berbohong. "Hana jalan dulu, Bu."

"Hati-hati."

Setelah mendengar ucapan ibunya, Hana bergegas menuju restoran tempatnya bekerja. Selain bekerja menjadi pacar sewaan, Hana juga bekerja sebagai pelayan di restoran. Di waktu-waktu sempitnya, Hana juga bekerja sebagai penulis lepas di website internet. Semua itu Hana lakukan demi membiayai keluarganya. Ia masih punya seorang Ibu, dan adik laki-laki yang masih sekolah. Semua itu butuh biaya, dan Hana tidak bisa hanya diam saja pasrah pada nasib yang menimpanya.

Selama lima belas menit berdesakan di dalam bus, akhirnya Hana tiba juga di restoran tempatnya bekerja. Bukan restoran besar, hanya rumah makan keluarga biasa. Gajinya juga tidak besar, hanya cukup untuk biaya sewa rumah sebulan, tapi Hana betah bekerja di sini. Lingkungan yang baik, serta pemilik dan teman-teman yang perhatian padanya menjadikan tempat kerjanya ini seperti rumah kedua bagi Hana. Begitu sampai di restoran, Hana sudah disambut senyum menyebalkan Dean, rekan kerjanya.

"Hari ini aku yang datang duluan, kamu wajib traktir makan siang!" ucap Dean senang.

"Curang! Kemarin aku cuma kamu beliin somay."

"Sekali-kali dong, Han. Jarang-jarang juga aku dateng duluan." Dean memelas.

"Yaudah, nanti aku traktir."

"Serius?! Wah! Kamu memang yang terbaik, Hana!" Dean bersorak girang sembari merangkul bahu Hana.

Sambil tertawa, mereka memasuki restoran dan bersiap untuk bekerja. Sementara itu, di tempat lain, Ganendra masih memegang selembar kertas berisikan sebuah biodata profil seorang perempuan. Di mejanya juga terdapat beberapa foto, seorang gadis dengan senyum yang sangat dikenalinya. Tapi mereka seperti dua orang yang berbeda.

"Kenapa? Aku sudah usaha banget buat dapat data pribadi itu, kenapa ekspresimu kecewa begitu?" tanya seorang laki-laki yang kini tengah duduk santai di sofa ruang kerja Ganendra.

Tidak menjawab ucapan sekretaris pribadinya itu, Ganendra hanya menggeleng pelan. Ia yakin, kalau semua foto dan data diri itu memang milik Teressa Lim, gadis yang ia sewa minggu lalu. Tapi entah mengapa, Ganendra masih saja ragu. Pasalnya, penampilan mereka benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat. Teressa yang berpenampilan anggun, cantik dan berkulit mulus sangat berbeda dengan gadis pelayan restoran yang ada di foto ini. Wajah polos tanpa balutan make up, rambut yang hanya dikuncir asal juga wajah kusam membuat Ganendra tetap ragu.

"Aku masih nggak yakin," ucap Ganendra pelan.

"Ndra, enggak ada orang yang bangga berprofesi sebagai pacar sewaan, jadi wajar kalau dia berkamuflase." Ares bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekat seraya menatap Ganendra curiga. "Jangan bilang ... kamu suka dia?"

Ganendra tidak menjawab, hanya menatap sekilas wajah Ares, sahabat sekaligus sekretaris pribadinya yang masih menatapnya curiga. Ini bukan urusan Ares, jadi Ganendra merasa kalau ia tidak perlu menjelaskan segala sesuatunya pada Ares.

"Kok diem, Ndra?" tanya Ares kemudian.

"Bukan urusan kamu."

"Oh, jadi benar kamu suka dia. Sejak kapan?" tanya Ares lagi. Sebuah senyum terkembang di wajahnya.

"Aresta Jevandra, keluar dari ruangan saya."

"Gitu aja marah, aku enggak akan lapor ke Pak Jagad, kok!"

"Keluar, Ares!"

Kalau sudah begini, Ares juga tidak bisa berbuat banyak. Selama lebih dari dua puluh tahun Ares mengenal Ganendra, dirinya sangat mengenal sifat sahabatnya itu. Meski kali ini Ares menemukan fenomena langka, yaitu seorang Ganendra yang mulai menyukai perempuan lagi setelah sekian lama, Ares tidak bisa melakukan apa pun. Kalau boleh jujur, Ares senang dengan perubahan sikap Ganendra, tapi dirinya tetap harus waspada. Biar bagaimanapun, Ganendra selalu kalah pada satu entitas bernama cinta.

***

Waktu terus berlalu, namun seharian ini Ganendra sama sekali tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Sejak Ares membawakannya sebuah profil perempuan bernama Hana Daisha yang diduga adalah Teressa Lim, Ganendra tidak bisa berhenti memikirkannya. Mengetahui siapa Teressa yang sebenarnya, membuat separuh hati Ganendra menolak.

Separuh dirinya merasa terusik, merasa telah dibohongi gadis itu. Namun, dirinya juga tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Hingga malam menjelang, Ganendra masih menatap sebuah foto di tangannya. Potret yang menunjukkan seorang gadis pelayan yang tengah tersenyum riang. Itu senyum yang sama dengan milik Teressa, hanya di wajah yang berbeda.

"Argh!" Ganendra menggeram frustrasi.

Perasaan ini selalu sukses mengusiknya. Ganendra bisa menaklukkan apa pun, hanya satu hal tak pernah bisa ia kendalikan selama hidupnya. Perasaannya sendiri.

***

Malam ini terasa dingin sekali, bahkan Hana sampai mengeratkan jaketnya. Sudah sejak beberapa hari terakhir, restoran selalu ramai, membuatnya terpaksa harus pulang larut. Seperti hari ini. Hujan baru saja reda, namun rasa dinginnya masih ada. Hana masih menyusuri gang-gang kecil menuju rumahnya dengan perasaan aneh. Sebenarnya sudah beberapa hari ini juga, Hana merasa seseorang tengah memerhatikannya. Entah memang benar ada yang mengikutinya atau semua itu hanya ada dalam pikiran Hana saja.

Hana segera mempercepat langkahnya. Kesunyian di malam ini benar-benar membuatnya ketakutan. Hingga ponselnya berdering, dan hal itu sukses membuat Hana terlonjak kaget. Sebuah nomor tak dikenal menghubunginya di tengah malam yang sepi dan gelap. Dalam hati, Hana menimbang-nimbang untuk tidak menghiraukan panggilan tersebut. Tak berapa lama, panggilan terputus karena Hana sengaja tidak menjawabnya. Namun, ponselnya berdering lagi. Terus begitu sampai Hana tiba di depan rumahnya.

Tidak akan terjadi apa-apa, pikir Hana sebelum kemudian menggeser tombol hijau pada layar ponselnya. Hingga sebuah suara berat yang begitu Hana ingat terdengar dari seberang panggilan.

"Halo?"

Untuk beberapa saat, tubuh Hana terpaku di tempat. Bagaimana orang itu bisa tahu nomor telepon pribadinya?

***