webnovel

Bab 19: Guardian

Riuh ramai sibuk hilir mudik orang-orang, perawat, juga dokter di unit gawat darurat tak membuat perhatian Ganendra luput dari gadis di hadapannya. Seorang gadis yang kini tengah terbaring lemah dengan selang infus yang tertancap di punggung tangannya, juga beberapa plester yang menghiasi wajahnya. Ingin sekali Ganendra mendekap gadis itu sekali lagi, dan membuatnya merasa aman. Di sebelahnya, Dirga juga masih belum bicara, begitu juga dengan Ares yang masih belum mengerti situasi apa yang terjadi pada mereka.

"Ibumu gimana, Dir?" tanya Ganendra akhirnya.

"Ibu belum bisa masuk ruang rawat karena kami nggak punya biaya, dan Kak Hana sekarang–" Dirga tak sempat melanjutkan ucapannya, karena Ganendra segera memotongnya.

"Kamu nggak perlu mikirin itu, biar saya yang urus." Ganendra mengangguk pada Ares, dan detik itu juga Ares mengerti apa yang dimaksud Ganendra. "Masalah biaya biar saya yang urus, sekarang kamu harus cerita sama saya. Apa yang sebenarnya terjadi sama kalian?"

Dirga tidak langsung menjawab, jemarinya mengepal kuat saat memorinya memutar ingatan beberapa jam yang lalu. Saat para lintah darat itu mengacak-acak rumahnya dan bahkan sampai melukai mereka.

"Ini semua karena hutang sialan itu! Ayah sialan yang meninggalkan hutang sebanyak itu, yang membuat hidup kami menderita. Bulan ini, aku dan Kak Hana belum dapat gaji, jadi kami belum bisa membayar bunganya. Tapi orang-orang brengsek itu malah datang ke rumah dan menyakiti ibu," ucap Dirga. Suaranya ikut bergetar, menahan amarah.

"Dulu, kami bisa lolos sebab bayaran Kak Hana sebagai pacar sewaan. Tapi sekarang nggak lagi. Bahkan sampai saat ini pun, aku tetap nggak bisa jadi orang yang diandalkan. Aku tetap seorang anak-anak yang nggak bisa melindungi keluargaku." Dirga terisak pelan.

"Kenapa cuma bayar bunganya? Memang berapa hutang ayah kalian?" tanya Ares ingin tahu.

"Sepuluh tahun yang lalu hanya sepuluh juta, tapi bunganya terus bertambah meski kami bayar tepat waktu. Sekarang, termasuk bunganya total jadi seratus dua puluh juta," jawab Dirga.

"Gila! Lintah darat."

Ganendra mengangguk paham. "Res, tolong kamu urus masalah administrasi rumah sakit, setelah itu hubungi pengacara kita dan selesaikan masalah hutang ini."

"Ya sudah, aku permisi dulu."

Ares pergi begitu saja sembari menghubungi seseorang, sementara Dirga masih termangu menatap Ganendra. Memang seberapa besar kuasa lelaki itu sampai mau membayar hutang keluarga mereka?

"Mas nggak perlu membayar hutang kami, itu terlalu banyak," ucap Dirga.

"Kamu nggak perlu memikirkan itu, biar itu jadi urusan saya sekarang. Lebih baik kamu obati dulu lukamu," jawab Ganendra.

Dirga mengangguk pelan, kemudian berlalu meninggalkan Ganendra yang kini tengah menatap Hana. Kenapa hal-hal rumit seperti ini selalu terjadi kepada Hana, Ganendra sama sekali tidak mengerti. Gadis kecil seperti Hana, bagaimana bisa selama ini ia menanggungnya sendiri. Padahal Ganendra hanya ingin Hana terbuka dan bersandar padanya, tapi rasanya hal itu terlalu muluk untuk saat ini. Ganendra masih bisa bersyukur, bahwa pada saat seperti ini yang Hana cari adalah dirinya, bukan orang lain.

Ganendra masih berdiri di samping Hana, hingga terdengar lenguhan pelan dari gadis itu. "Dirga, Ibu?" lirihnya pelan.

"Semuanya baik-baik aja, Hana," ucap Ganendra pelan, nadanya terdengar begitu lembut di telinga Hana.

"Saya di mana, Pak Ganendra? Ibu saya mana?" tanya Hana lagi, sembari berusaha bangun dari posisi berbaringnya.

"Kamu di UGD, ibumu baik-baik aja, Dirga juga." Ganendra berucap pelan, sebelah tangannya menggenggam tangan Hana seraya mengelusnya perlahan. Ia benar-benar khawatir pada Hana.

"Pak Ganendra, maafkan saya. Saya terlalu nggak tahu diri, tapi saya punya alasan kenapa bisa punya permintaan itu ke Bapak," ucap Hana kemudian.

"Kamu fokus untuk sehat saja dulu, saya sudah dengar semua dari Dirga dan sedang mengurusnya."

"Lagi-lagi anda menyelesaikannya sendiri. Tapi saya nggak bisa menerima semua ini begitu saja, saya berhutang ke Pak Ganendra," ucap Hana, tatapannya beralih pada situasi sibuk di unit gawat darurat. Tidak sanggup rasanya kalau harus terus menatap mata Ganendra.

"Jangan pikirkan itu. Saya nggak pernah mengharapkan apa pun dari kamu."

"Tapi saya nggak bisa!" ujar Hana, tanpa sadar dirinya malah berteriak. "Saya nggak bisa terus merasa bersalah sama Bapak, saya nggak bisa hidup seperti ini. Saya capek."

Untuk beberapa saat, Ganendra membisu. Lagi-lagi hatinya berdenyut nyeri. Pada akhirnya, Hana tidak pernah bisa menerima ketulusannya. Gadis itu hanya akan semakin merasa bersalah dan berhutang padanya dan Ganendra benar-benar tidak menyukai itu. Ganendra tulus mencintai Hana, ia hanya ingin membebaskan Hana dari segala permasalahan hidupnya. Ia hanya ingin melihat gadis yang dicintainya hidup bahagia, tapi Hana tidak merasa begitu. Semakin banyak hal yang dilakukan Ganendra untuknya, justru semakin Hana merasa terbebani.

"Kalau gitu kita jalankan saja, kesepakatannya."

***

Hana masih terduduk lemas di ranjang unit gawat darurat, seraya menunggu cairan infusnya habis. Beberapa menit yang lalu, Ganendra pamit setelah mendapat telepon dari Ares. Hana tahu, dirinya sudah benar-benar tidak tahu diri dan keterlaluan pada Ganendra, namun Hana juga tidak punya pilihan lain. Satu-satunya orang yang ada dalam pikiran Hana saat itu hanya Ganendra, dan seperti dugaan Hana, Ganendra memang datang setiap malam untuk melihatnya.

Hana masih tertunduk lesu, hingga tiba-tiba Dirga menghampirinya begitu saja.

"Kak? Kakak udah merasa baikan?" tanya Dirga pelan. "Ke mana Mas Ganendra?"

Bukannya menjawab, Hana justru menatap Dirga heran. "Sejak kapan kamu jadi akrab sama Pak Ganendra?"

"Sejak ketemu di kedai kopi tempatku kerja, kita jadi sering ngobrol," jawab Dirga kemudian. "Tapi sekarang, bukan itu yang penting, Kak. Gimana kondisi Kakak?"

Hana mengangguk pelan seraya tersenyum samar, "Kakak udah baikan, kamu nggak perlu khawatir."

"Syukurlah." Dirga menghela napas lega. "Syukurlah semua baik-baik aja, Kak. Mas Ganendra sudah banyak nolong kita."

Hana tidak menjawab lagi ucapan Dirga, pikirannya kini melayang pada lelaki bernama Ganendra. Orang yang sudah Hana tolak berkali-kali, namun juga menjadi orang yang selalu melindunginya dan juga keluarganya. Entah sebesar apa luka yang Hana berikan pada lelaki itu, kalau boleh jujur Hana sendiri ragu apakah bisa membalas semua kebaikan Ganendra. Tapi Hana bertekad, akan membayar semua hutangnya pada Ganendra. Hana akan memberikan hidupnya jika memang hal itu diperlukan.

***