webnovel

Bab 15: Someone in Love

"Bu," panggil Hana pelan.

Ia duduk di tepi ranjang seraya menggenggam tangan kurus sang ibu. Kalau saja Hana tidak bekerja sebagai pacar sewaan, semua ini tidak akan terjadi. Keluarganya tidak akan menderita dan yang paling penting, dirinya tidak akan bertemu dengan Ganendra.

"Hana?" ucap ibunya pelan.

"Hana di sini, Bu."

"Maafkan Ibu, Hana."

Satu kalimat lirih yang keluar dari mulut ibunya barusan, sukses membuat air mata yang Hana bendung mati-matian jadi mengalir lagi. Rasanya menyakitkan melihat orang yang paling ia sayangi merasa terluka. Apalagi, Hana tahu betul apa yang menjadi alasan semua ini. Semuanya terjadi karena dirinya dan Hana tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri bila sesuatu yang buruk menimpa keluarganya karena hal ini.

"Hana yang harusnya minta maaf ke Ibu," ucap Hana di tengah isaknya. "Hana nggak bermaksud membuat Ibu sedih, Hana hanya mau yang terbaik buat Ibu dan Dirga."

"Ibu tahu, Hana. Ibu juga begini karena nggak mau, kamu jadi bernasib sama seperti ibu," ucap ibunya pelan. Hana yang tidak mengerti maksud dari ucapan ibunya, hanya bisa menatapnya lurus.

"Maksud ibu?" tanya Hana akhirnya.

"Ibu yang melahirkan kamu tanpa ayah, sudah cukup dapat pandangan buruk dan hinaan dari orang-orang. Ibu nggak mau, putri kesayangan Ibu juga dapat pandangan buruk, hinaan apalagi sampai diremehkan karena pekerjaan itu. Ibu nggak mau, Hana," lirihnya.

Dengan satu gerakan, Hana menarik ibunya ke dalam pelukan. Dirinya tidak pernah menyangka, kalau semua perlakuan ibunya padanya selama ini semata-mata karena beliau sangat menyayanginya.

"Hana nggak akan buat Ibu khawatir lagi, Hana janji," ucap Hana pelan.

Dengan satu anggukan pelan dari sang ibu, malam yang penuh ketegangan itu berakhir dengan pelukan. Untuk saat ini, Hana tak ingin yang lain lagi. Dirinya hanya menginginkan sang adik bersekolah dengan layak, dan bisa membahagiakan sang Ibu juga membayar hutang-hutang mereka. Meski perjalanan masih panjang, Hana yakin kalau dirinya pasti bisa.

***

Dua minggu berlalu begitu saja, tanpa ada hal besar yang terjadi. Darma Group semakin jaya, banyak proyek yang berhasil dan meraup untung besar. Namun, dibalik segala kesuksesan dan pencapaian yang tinggi, ada orang-orang yang bekerja keras bahkan hampir gila.

Setelah terakhir kali berurusan dengan Hana, Ganendra benar-benar menutup diri dari dunia luar. Ia bahkan memblokir semua akses yang berhubungan dengan gadis itu, mulai dari nomor telepon, sampai memberikan restoran kepada Ares. Ganendra sudah tidak ingin lagi membebani Hana, ia ingin Hana terlepas dari segala hal yang berkaitan dengan dirinya meski itu sangat sulit. Bagi Ganendra, hanya butuh satu detik untuk jatuh cinta pada Hana, namun butuh ribuan tahun untuk melupakan gadis itu dari pikirannya.

Di tempatnya, Ares juga sudah kehabisan energi. Sebab, selama dua minggu terakhir, Ganendra bekerja siang dan malam seperti orang gila. Bahkan lelaki itu menjadi sensitif terhadap hal apa pun, dan sungguh itu membuat Ares frustrasi. Ares tahu, Ganendra begini hanya karena ingin mengalihkan pikiran dan perasaannya dari Hana, tapi rasanya Ares juga tidak tahan. Setiap hari lembur dengan waktu istirahat yang sebentar, sungguh, Ares jadi ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya sekarang.

"Ndra, kamu nggak mau istirahat sebentar? Kamu belum tidur dari kemarin," ucap Ares yang sudah sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya itu.

Tidak menjawab, Ganendra hanya bangkit dari duduknya dan bergegas keluar ruangan. Refleks, Ares melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini juga merupakan kebiasaan baru Ganendra, selain tidak tidur dan tidak pulang dari kantor. Setiap pukul sembilan malam tepat, Ganendra akan keluar dari kantor. Sendirian, tanpa ditemani siapa pun, bahkan ia selalu menyuruh Ares mengerjakan sesuatu pada waktu yang sama agar Ares tidak mengikutinya. Pernah satu kali Ares bertanya, ke mana Ganendra pergi, tapi tidak pernah ada jawaban. Ganendra selalu bungkam, dan jadi semakin menyembunyikan banyak hal

"Saya mau keluar sebentar, tolong kamu rapikan meja saya setelah itu langsung pulang," ucap Ganendra sembari memakai jaket hitamnya.

"Kamu sendiri mau ke mana?" tanya Ares yang sangat penasaran sekaligus gemas dengan sikap Ganendra.

"Lakukan aja pekerjaan kamu, Res. Saya pergi dulu."

Setelah mengatakan hal barusan, Ganendra pergi begitu saja meninggalkan ruangan dengan Ares yang masih termangu di tempatnya. Entah apa lagi yang mau dilakukan Ganendra, Ares tidak mau ikut campur dulu untuk saat ini. Percuma juga Ares bertanya, atau mengingatkan Ganendra untuk tidak memakai jaket hitam jelek itu ke kantor, dia tidak pernah mau mendengarkan.

Sementara itu di tempatnya, Ganendra menarik resleting jaketnya hingga menutupi seluruh kemeja putih yang ia kenakan, sekaligus sebagai penghalau udara dingin di malam hari. Seperti sudah terpatri dalam ingatannya, Ganendra melangkah pelan, menuju kedai kopi langganannya. Ia membeli segelas espresso untuk diminum di perjalanan, kemudian duduk di tepi jalan yang mulai sepi.

Ganendra tidak tahu apa yang ia lakukan ini benar atau tidak, ia hanya mengikuti nalurinya saja. Dirinya bahkan tidak merasa lelah saat berjalan kaki dari kantor sampai ke sebuah tempat yang selalu ia datangi setiap malam diam-diam. Setiap pukul sembilan lebih lima belas menit, Ganendra akan duduk di seberang jalan sembari menikmati pahitnya espresso dan menatap senyuman Hana dari seberang. Dirinya selalu merasa bersyukur saat melihat senyuman itu. Setidaknya ia tahu kalau gadis itu baik-baik saja, dan bahkan bisa tertawa lepas seperti sekarang.

Buat Ganendra, kebahagiaan Hana adalah segalanya. Ia tidak masalah, kalau cinta bertepuk sebelah tangannya berganti menjadi mencintai diam-diam. Ganendra hanya tidak ingin lagi menyakiti Hana. Karena hanya dengan menunjukkan diri di depan gadis itu saja, ia tahu kalau Hana akan terluka. Melihat Hana dari jarak jauh saja, sudah cukup mengobati kerinduan yang bersarang di hati Ganendra. Meski hati kecilnya mengatakan ia ingin memeluk dan mencium Hana lagi, tapi akal sehat selalu berhasil menahannya.

Baru saja Ganendra menghabiskan satu teguk terakhirnya, dan bergegas pergi. Sebuah tangan menepuk bahunya pelan. Seorang remaja berseragam putih abu-abu dengan jaket hitam yang membalut tubuhnya, tersenyum samar pada Ganendra.

"Mas yang waktu itu datang ke rumah, kan? Atasannya Kak Hana?" tanya Dirga tanpa basa-basi. "Ngapain di sini? Mau nganter Kak Hana pulang?"

Buru-buru Ganendra menggeleng cepat, sebelum Dirga salah paham. "Saya hanya duduk. Tanpa maksud tertentu."

Dirga mengangguk pelan. "Kirain mau anter Kakak pulang."

"Kamu sendiri ngapain? Kenapa jam segini pelajar baru pulang sekolah?" tanya Ganendra sembari memerhatikan penampilan Dirga.

"Aku baru selesai kerja part time di kedai kopi, terus sekarang mau jemput Kak Hana pulang," jelas Dirga, masih sambil tersenyum. "Padahal tadinya kalau Mas mau jemput Kakak, aku nggak apa-apa."

"Enggak, saya nggak mau jemput siapa pun," ucap Ganendra tegas. "Segera pulang, dan jangan bilang Kakakmu kalau kamu ketemu saya di sini. Permisi."

Setelah mengatakan hal barusan dengan raut kaku dan nada dinginnya, Ganendra segera meninggalkan Dirga yang masih memasang wajah bingung. Entah apa yang harus ia lakukan setelah ini, karena kalau sampai ketahuan orang lain lagi, dirinya benar-benar tidak akan bisa melihat Hana lagi.

***