webnovel

Matahari dan Bunga

Faras_Harya_Almesa · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
4 Chs

Kenyataan Ini

Sesampainya di rumah, ku lihat keadaan rumah yang kosong seperti tidak berpenghuni. Kemana mama? Kemana papa? Kemana abang dan adikku? Apa mungkin mereka sudah di kamar dan tidur? Ah yang benar saja, mana mungkin mereka tidur secepat ini. Palingan mereka kalau tidur itu dari jam 10-an.

Aku pun mencari keberadaan semua orang di rumahku, mulai dari kamar, kamar mandi, dapur dan lantai atas. Tapi tetap saja aku tak menemukan mereka. Sebenarnya mereka kemana? Kenapa tumben-tumbenan rumah kosong seperti ini?

Lalu aku pun kembali turun ke bawah dan memilih menghidupkan televisi sembari menunggu kepulangan mereka. Aku memilih menonton film kartun kesukaan ku. Karena lapar aku pun segera menuju dapur dan memasak makanan yang tersedia di lemari pendingin. Pilihanku jatuh ke telur yang tersusun rapi, dan aku memilih untuk membuar martabak mie. Sebenarnya aku tipe anak yang nggak suka masak, tapi karena keadaan maka aku harus memaksa untuk masak, kalau nggak aku bisa mati kelaparan nanti.

Setelah selesai, aku kembali menuju ke ruang keluarga dan kembali menonton film kartun kesukaanku. Tapi sudah tiga jam berselang, mereka juga belum datang. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa mereka pergi lama sekali? Dan meninggalkan ku sendiri di rumah. Aku menuju lantai atas tepat kamar ku berada, dan mengambil handphone ku untuk menghubungi mereka. Tapi nihil, handphone mereka dalam keadaan mati semua. Tiba-tiba dari arah depan, bel rumah ku berbunyi. Hmm, pasti mereka sudah pulang. Syukurlah. Lalu sesegera mungkin aku menuju ke arah pintu dan membukakan pintu.

"Mama dari ma" kalimatku terputus ketika melihat siapa yang berdiri tepat di depanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan menoleh ke kanan dan ke kiri melihat keberadaan orang tua dan saudaraku.

"Maaf Nona, anda mencari siapa?" tanya orang yang ada di depanku. Aku kebingungan dengan pertanyaannya, bagaimana mungkin dia menanyakan pertanyaan seperti itu.

"Ya cari orangtua ku lah, masak cari kucing" jawab ku dan kembali bertanya, "Anda siapa ya?"

Lelaki yang berdiri di depanku menunjukkan ketidaksukaannya dengan kalimatku barusan. Dan berusaha untuk lekas masuk ke dalam rumah ku.

"Eiiits, mana boleh Anda sembarangan masuk ke rumah orang? Nggak ada sopan santunnya ya Anda" aku terus menghadang lelaki di depanku ini, dan usahaku gagal sebab badan laki-laki di depanku ini sangat besar dan berotot.

"Kenapa Anda nyelonong aja masuk rumah Saya? Kalau masuk rumah orang itu Anda harus punya adab dan sopan santun" aku masih berdiri di pintu dan menatap was-was lelaki yang ada di rumahku.

"Kamu gila ya, rumah ini udah di jual Pak Galih sama saya. Ya saya berhak dong kalau tinggal di rumah saya sendiri" jawab lelaki itu. Ah mungkin dia kebanyakan ngehayal kali, jadi gila gini kan.

"Bapak ini bisa aja. Jelas-jelas ini rumah saya, masa bapak nggak tahu? Bapak salah rumah kali? Dan jangan bawa nama ayah saya deh, mana mungkin ayah saya mau menjual rumah yang mempunyai banyak kenangan ini" aku masih keukeuh dengan argumen ku.

"Kamu mau bukti ha? Okee, kesini kamu biar saya tunjukkan" lalu lelaki itu menuju ke kamar yang di tempati orangtua ku dan menunjukkan bukti surat jual beli kepemilikan rumah ini. Aku nggak percaya, mana mungkin ayah akan semudah itu menjual rumah ini, rumah yang banyak memiliki kenangan masa kecilnya yang indah, dan terlebih lagi ayah tega sekali meninggalkan ku sendirian disini, lalu hanya membawa dua saudaraku untuk pindah ke rumah baru mereka. Aku menangis tak percaya, setega itu orangtua ku membiarkan ku sendirian tanpa ada bekal, uang dan rumah. Kemana aku harus pergi? Sanak saudara ku nggak ada di daerah ini, karena aku adalah anak rantau dari daerah Sumatera. Aku masih terus menangis tertunduk, kembali mengingat kenapa orangtua ku setega ini mentelantarkan aku.

Ku rasakan tanganku di sentuh seseorang, setelah ku lihat lelaki yang berada didepan ku ini melihat ke arah ku dengan tatapan iba. Aku tak suka dipandang dengan tatapan iba, seolah-olah aku ini lemah dan harus dikasihani. Aku kembali menundukkan kepalaku dan menangis tanpa suara.

"Aku tahu apa yang kamu rasakan, Dik. Aku sebenarnya juga nggak tau kalau masih ada satu orang lagi yang tinggal di rumah ini" kata lelaki itu. Melihat ku yang masih tertunduk, lelaki itu menghela nafasnya dengan berat.

"Aku tak habis fikir, kenapa orangtua mu tega sekali meninggalkan anak gadisnya seorang diri disini" sambung lelaki tadi. Mendengar penuturan lelaki tadi, aku pun mengangkat kepala ku dan melihat kearahnya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga ku, tapi dulu. Sekarang rumah ini sudah menjadi miliknya.

"Apa Kakak tahu, orangtua ku pindah kemana?" tanyaku dengan air mata yang masih mengalir. Lelaki yang ku panggil kakak tadi menggelengkan kepalanya, tandanya ia tak tahu dimana orangtua ku sekarang.

"Memangnya, sewaktu Kakak membeli rumah ini, orangtua ku nggak bilang mereka mau pindah ke daerah apa?" tanya ku sekali lagi. Lagi, kakak itu tetap saja menggeleng. Dia berjalan ke arahku dan ikut duduk dilantai, tepatnya di depanku.

"Aku mau nanya ke kamu suatu hal, apa boleh?" tanya Kakak itu kepadaku. Aku berfikir, apa yang akan ditanyakan kakak ini, apa ini menyangkut orangtua ku? Tapi ya sudahlah. Aku menganggukkan kepalaku tanda memperbolehkan dia untuk bertanya.

"Kemarin sewaktu orangtua mu menjual rumah ini kepadaku, mereka bilang kalau dirumah ini ada satu anak perempuan yang gila. Dia selalu berbicara sendiri di kamarnya dan selalu tersenyum sendiri jika pulang dari lapangan rumput di ujung jalan. Tapi mereka mengatakan, kalau anak itu sudah di bawa ke Rumah Sakit Jiwa. Dan yang membuat ku bingung, adalah Kamu. Kenapa kamu ditinggalkan sendirian disini?". Aku merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan Kakak di depanku ini. Apa orangtua ku setega itu mengatakan kalau aku sudah gila, ya tuhan kenapa mereka tega sekali mengatakan kepada orang lain kalau aku sudah gila. Kembali, perasaan ku hancur dan hancur sehancur-hancurnya.

"Dan apa saya boleh tahu, kalau orang gila yang dikatakan orangtua mu itu, adalah Kamu?". Tanya kakak itu dan aku pun memilih diam. Sebab, aku ini bukan gila kak, aku masih waras. Namun, aku pulang dari lapangan rumput selalu dengan senyuman, sebab aku mendapatkan kebahagiaan ku disana, kebahagiaan yang tak aku rasakan selama beberapa tahun ini.

"Kenapa kamu diam, Dik?". Kakak itu masih duduk di depanku, dan aku menatapnya dengan wajah datar dan dinginku.

"Aku nggak gila, Kak. Tapi orangtua ku lah yang gila. Yang berani dan dengan gampangnya menyebut ke orang-orang kalau aku gila. Dan yang lebih gila lagi, dia meninggalkan ku sendirian disini, tanpa uang dan rumah sebagai tempat bernaung. Aku yakin, tuhan pasti membalas apa yang aku rasakan saat ini kepada mereka". Tampak raut terkejut di wajah si kakak, mungkin ia tak menyangka kalau aku akan menjawab seperti ini.

"Kamu benar, orangtua mu lah yang sudah gila. Tapi kalau untuk masalah uang dan rumah, kamu boleh kok tinggal disini, Saya janji tidak akan mengganggu kamu, sebisa mungkin aku akan menjagamu dengan aman, dan membiayai kehidupanmu. Karena aku sadar, ditinggalkan orangtua dan dituduh seperti itu, bukanlah hal yang mudah. Tinggal lah disini Dik, dan aku akan mengangkatmu menjadi adikku". Aku menatap tak percaya ke arah lelaki di depanku, aku kembali menangis dan memeluk lelaki yang sekarang sudah menganggapku sebagai adiknya.

"Terimakasih,Kakak"

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Yoook, teman-teman.

Kali ini aku update lagi nih.

Insyaallah kalau jadwal. Kuliah nggk padat, dan tugas yang nggak menumpuk, aku bakalan update setiap hari. Hehehe

Okeeee readers, selamat membaca yaaa❤️❤️