Aimee menyadarkan dirinya buru-buru.
Tidak memperjelas kebenciannya pada Alfin dan lebih baik membela Alfin meski tidak ingin.
"Dia pasti terlalu khawatir akan sesuatu. Sehingga langsung melupakan saya dan pergi."
Aimee yakin ada sayap malaikat yang tergambar jelas di belakang pungungnya. Meski itu adalah hanya khayalannya semata.
Harry mendesah.
"Baiklah. Aku mengerti dan kau tidak perlu bersikap lebih tahu pria badung itu dibandingkan aku. Pergi lanjutkan tugasmu dan kirimkan aku semua laporan yang aku tugaskan padanya. Aku ingin memeriksa semua laporan itu sekarang dan segera!"
Bergerak gontai, Aimee menunduk.
"Baik, Tuan. Akan saya bawakan semua dan permisi,"
Efek samping dari kejadian itu adalah kemarahan yang bertubi-tubi tanpa jeda Harry layangkan tidak hanya pada Alfin tapi juga Aimee.
"Pergi bersenang-senang dan bermain di luar. Kau meninggalkan setumpuk pekerjaan?"
Menatap malas dan duduk dengan tatapan tidak bergairah. Alfin tidak menunjukkan perasaan tertekan.
Sebaliknya, menatap Aimee dengan tatapan penuh arti.
Aimee agaknya bergidik.
Kenapa dia menatapku seperti itu?
Ingin menyalahkan aku karena aku sudah menyerahkan semua laporan terbengkalainya pada Harry?
Atau Alfin ingin melimpahkan kesalahan pada Aimee yang gagal menuntaskan semua pekerjaannya sebelum dia kembali?
Mengetuk meja beberapa kali.
"Kau melalaikan tugasmu dengan sengaja?" tuduh Harry.
Memasing perasaan lelah dan campur aduk. Alfin membalas.
"Aku hanya ingin mencari udara segar sebentar. Dan aku hanya merasa bosan. Jadi aku ingin mencari inspirasi. Aku tidak bilang tidak kan menyelesaikan pekerjaan itu sampai tuntas."
Harry masih menunjukkan tatapan tidak bersahabat atau kekeluargaan.
"Ini peringatan keras dan terakhirku, Alfin. Aku sudah muak menegurmu dan aku tidak ingin mendengar lagi alasan."
Aimee terus melirik ke sisi lain. Tidak berani bicara dan ikut campur. Ketika dua bosnya saling menarik urat dan melempar kekesalan.
Harry tiba-tiba melirik Aimee.
Menciptakan sensasi dingin dan panas secara bersamaan.
"Aku juga tidak ingin mendengar kau terus membelanya!"
Menunduk dan tidak membalas. Harry melanjutkan keberatannya.
"Tidak untuk membela pembuat onar ini dan mengabaikan berapa banyak kesalahan yang sudah kau buat selama ini."
Diam adalah satu-satunya kemampuan terhebat yang bisa seseorang berikan ketika dia berada di situasi terpojok.
Lalu mengalah dan mengakui kesalahannya adalah solusi.
"Ya, Tuan. Saya minta maaf dan akan memperbaikinya."
Selesai mendapat beberapa teguran tambahan. Harry pergi meninggalkan kekesalan satu sama lain antara Aimee dengan Alfin.
Tidak pernah bisa bekerja sama dengan baik dan menjadi patner yang solid.
"Apa kau tidak bisa sedikit saja membantuku? Kenapa karena ulahmu aku terus dimarahi?"
Hampir tertawa lemas dan memukul kepala Alfin. Aimee bertanya dengan sangat sabar.
"Anda sungguh-sungguh mengajukan pertanyaan itu pada saya?" ucap Aimee tersiksa.
Alfin menatap angkuh.
"Ya. Kenapa? Bukankah kau adalah bawahanku? Sudah sewajarnya jika kau membantuku menghindari masalah dan menyelesaikan masalah. Tapi, apa ini? Tidak ada satu hal pun yang bisa kau kerjakan dengan benar. Jika kau ingin curi perhatian dari Harry, sang pemilik perusahaan."
Aimee membantu.
Mengelus dada. Mengatur napas dan amarahnya yang menukik tajam.
"Anda tidak mungkin sesial ini karena ulah Anda sendiri, Tuan Alfin. Jadi, bagaimana Anda bisa menyalahkan saya yang sudah banyak menutupi kekurangan Anda?"
Mendesah dan membenarkan sebagian besar ucapan Aimee.
Alfin mencari air segar untuk menyegarkan otaknya.
Masalah masa itu akhirnya berakhir dengan sikap Alfin yang menjadi jauh lebih baik. Meski tidak banyak menciptakan perubahan.
Masih sering bersikap seenaknya dan sulit dikontrol.
Lagi-lagi Aimee yang sering kena getahnya dan hampir dipecat.
***
Desas-desus heboh di kantin kantor mengundang perhatian Aimee ketika dia sibuk mengenal kesialannya bekerja bersama dengan Alfin. Bermaksud mengumpulkan semua uneg-uneg ini untuk menyerang Alfin dan meminta kompensasi.
Meski Aimee tidak yakin Alfin akan memberikan kompensasi layak untuknya.
Aimee mulai mencoba ikut dalam kerumunan.
"Ada apa ini? Kenapa semuanya terlihat heboh dan gembira? Ada yang menang undian lotre?"
Menyikut Aimee dengan kesal lalu membantahnya. Doren tidak habis pikir kenapa isi pikiran Aimee hanya uang. Uang. Dan uang.
Menatap semua orang dan mendapatkan tatapan balik.
Perhatian para wanita kembali pada fokus mereka diawal.
"Kalian lihat tadi? Laki-laki tampan itu? Kalian sudah melihatnya?" sebut salah seorang wanita bernama Amanda.
Pegawai di bagian keuangan.
Sibuk membulatkan mata dan berbinar-binar.
Aimee sedikit ngeri karena takut matanya kan lepas. Tapi tetap memperhatikan Amanda bicara.
"Aku melihat pria tampan 10 menit lalu."
Sama-sama saling menatap. Aimee dan Doren nampak tahu siapa yang Amanda bicarakan.
"Pria dengan tinggi 185cm. Rambut model short neat hitam dan dasi biru itu!" Molly sepertinya mengamati pria itu sangat lama.
Aimee dan Doren semakin yakin tebakan mereka tidak salah. Namun tidak ikut bicara.
"Ya. Tepat sekali!"
"Aku melihatnya dan kantukku pada jam-jam segini langsung hilang!"
"Aku juga melihatnya dan bertanya-tanya siapa dia!"
"Aku juga tidak tahu. Tapi aura dan wajahnya menyembuhkan kejenuhanku!"
Aimee menatap semua wanita itu dengan pandangan aneh.
Sedangkan Doren buru-buru menimpali.
"Dia itu Zaviero Kistan. Atau biasa lebih sering disapa Zack. Salah satu rekan bisnis Tuan Alfin yang sebentar lagi akan bekerja sama dengan kita mengurus proyek deluxe dua."
Saling terkejut dan membulatkan mata.
Para wanita itu menatap Aimee.
"Benarkah itu, Aimee? Dia yang akan menjadi rekan bisnis Tuan Alfin?" tanya Elsa penasaran dan sudah mengamati dari atas hingga ke bawah sosok Zack yang menentramkan hati.
Aimee enggan menjawab.
***