Sudah mencari tahu tentang bagaimana kinerja Alfin selama ini. Zack tahu, Alfin memang tidak hobi bekerja.
Bekerja hanya karena paksaan. Dan lebih senang melimpahkan pekerjaannya pada orang lain, jika dia sedang dalam mood yang buruk.
Tapi, kenapa dia harus melimpahkan pekerjaan itu pada Aimee?
Sengaja membuat Zack pusing tujuh keliling karena bingung harus menghadapi Aimee dengan sikap seperti apa? Setelah perceraian menyakitkan dan 5 tahun tidak pernah bertemu?!
Alfin sengaja mengadu domba mereka? menggunakan kesempatan ini untuk memberikan kecanggupan paling besar untuk mereka berdua.
Zack nampak lelah dan tidak ingin berpikir terlalu jauh.
Hanya bisa berharap Alfin mendadak berubah pikiran dan sadar.
Maka, mari kita lihat apa yang membuat Alfin begitu bersikukuh ingin melimpahkan pekerjaan pentingnya pada Aimee.
Wanita yang tidak paham banyak soal proyek dan sistematisnya.
Alfin nampak bermanja puas dalam pelukan Isabella. Memeluknya lembut dan juga erat. Seolah-olah, jika dia tidak memeluknya erat. Wanita itu akan lepas dan lari kepelukan laki-laki lain. Keduanya bergelut manja di atas tempat tidur di apartemen Alfin.
"Kau selalu bisa membuatku lupa segalanya, Bella."
Mencium tengkuk Isabella dan tersenyum penuh kepuasan. Tawa bahagia Isabella semakin membuat Alfin lupa banyak hal. Dan peringatan keras namun halus sengaja Isabella ucapkan.
"Berhenti terus menggodaku dan rajinlah bekerja seperti yang sepupumu inginkan!"
Alfin mengernyit.
Menatap mata coklat itu dengan kening berkerut.
Alfin membalas asal.
"Harry sudah membayarmu mahal untuk memintamu mengatakan hal itu?" canda Alfin dengan ekspresi serius.
Isabella tersenyum tipis.
"Jika aku bisa mendekatinya, aku tidak akan mungkin mendekatimu!" rutuk Isabella jujur karena memang seperti itulah kenyataannya.
Alfin menatap datar.
"Aku ingat bagaimana kau berpura-pura ingin mendekati Harry. Tapi sama sekali tidak mendapatkan perhatian darinya. Lalu mulai mendekatiku untuk mengorek informasi soal Harry."
Isabella menunjukkan eskpresi kecut.
Dan setiap mengingat masa itu, kekesalan Isabella menyeruak.
"Ya. Namun dengan licik dan gilanya, kau menipuku. Mengatakan semua hal yang berlawanan dengan kebenaran."
Alfin tersenyum mengelitik.
"Salahmu karena percaya ucapanku dan salahmu karena mudah dibodohi."
Isabella melepaskan pelukannya Alfin. Bangun dari tidurnya dan berdiri seolah-olah dia benar-benar marah.
Isabella yakin, saat ini dia seharusnya tersinggung dan merajuk. Bukannya bermesra-mesraan dan terus dipermainkan.
Isabella menatap Alfin tajam.
"Alfiano Gennaldy, kau menguji kesabaranku?" tantang Isabella angkuh.
Mencium pipi Isabella sekali kecup ketika pria itu ikut bangun dari atas tempat tidurnya. Alfin tidak langsung menjawab pertanyaan Isabella. Membiarkan Isabella menyentuh pipinya. Tepat di bagian bekas hangat ciuman Alfin.
"Kau tidak kecewa mendapatkan aku, alih-alih Harry?" tanya Alfin tanpa butuh kepastian.
Menautkan alis dan berpikir serius. Isabella mengangguk.
"Sejujurnya, ya." Jawab Isabella jujur. Lalu berbalik menatap Alfin yang memeluknya dari belakang.
Menatap lurus dan mengajukan pertanyaan.
"Apa kau ingin tahu kenapa?" tanya Isabella santai dengan menyunggingkan sebuah seringai. Tanpa cemas Alfin akan tersinggung atau tidak dengan perkataannya.
Alfin menautkan alisnya dan terlihat terganggu.
"Aku rasa aku tidak perlu tahu. Karena aku sudah mengetahui jawabannya."
Senyum mengejek Isabella mengembang.
Selalu tampil cantik dengan rambut bersemir merah dan mata lentik mempesona. Kecantikan Isabella tidak pernah membuat Alfin bosan.
Namun, mulutnya..
Sering tidak disortir dan bicara semaunya.
Alfin menurunkan sudut pandangannya ke daerah bibir. Siap mendengar apa yang tidak ingin dia dengar.
"Kau jauh berada di bawahnya. Tidak sehebat dia dan tidak semempesona dia. Aku seperti mendapatkan itik buruk rupa, jika aku membandingkan dirimu dengannya."
Bukannya marah atau memaki Isabella balik.
Alfin malah melayangkan ciuman spontan pada Isabella.
Mengecupnya satu kali. Dan lagi. Tepat di bibir jahat itu.
"Kau nakal, Bella. Kau tahu aku tidak suka dibandingkan dengannya."
Isabella terus melayangkan argumennya.
"Kenapa? Kau minder? Merasa tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan sepupumu?" tanya Isabella acuh.
Saling berdiri lalu menghadapkan tubuh mereka di depan sebuah jendela besar di apartemen Alfin. Sambil memandangi suasana kota malam itu dan menikmati keintiman mereka.
Alfin menarik Isabella duduk di pangkuannya.
Mengenakan gaun malam yang menawan dan seksi. Alfin mencubit pelan hidup Isabella.
"Dia memang jauh lebih sempurna daripada aku. Jadi, untuk apa aku minder? Karena bukan aku satu-satunya pria yang kalah."
Isabella mengangguk pelan. Menyetujui pembelaan Alfin dan sepemikiran.
Alfin menyipitkan mata.
"Apa barusan kau menghinaku dengan anggukan?" tanya Alfin separuh bercanda.
Tertawa dan terlihat puas. Isabella menatap Alfin lekat. Melingkarkan kedua lengannya di samping leher Alfin.
"Lalu, sekarang. Bisa kau ceritakan bagaimana saat ini kau terlihat bersantai ria? Padahal sebelumnya kau mengatakan, kalau kau akan sangat sibuk karena Harry baru saja memberikanmu proyek penting."
Alfin diam beberapa saat.
Karena tahu Isabella bertanya sangat serius dan belum mengerti beberapa hal. Isabella tentu masih ingat bagaimana Alfin sering melupakannya karena pekerjaan merepotkan yang Harry lempar padanya.
Lalu dengan segala macam alasan yang pria itu buat untuk mengurung Alfin di kantor. Alfin terpaksa terus mengabaikan pesan, telepon, juga ajakan dari Isabella untuk segera bertemu.
Semua keinginan Isabella selalu Alfin sampingkan, ketika dia berhadapan dengan Harry. Sepupunya yang sombong dan gila kerja. Dan mengharapkan serta menginginkan semua orang, sama seperti dirinya.
Alfin nampak bahagia.
"Tentu, karena seperti biasa. Aku melimpahkan pekerjaanku pada sekretarisku yang baik hati." Ungkap Alfin jujur dan bangga.
Isabella akhirnya paham.
"Ah, wanita berkacamata tipis itu?" sebut Isabella cukup mengenali Aimee.
Isabella menyentuh pipi Alfin.
***