webnovel

26. Breakup

Dia tersenyum manis, semanis madu yang suka dicampurkan ke dalam teh kesukaannya. Menatap gadis yang jujur saja sedari tadi menggetarkan hatinya tak henti-henti. Pesonanya kini mulai terasa masuk ke dalam hatinya, setelah menghabiskan setengah hari bersama gadis ini.

"Terima kasih karena sudah menghantarkan diriku, terima kasih juga untuk jajannya." Lova memamerkan apa yang dia genggam sekarang. Kantong plastik dengan makanan khas pinggir jalan yang menggugah seleranya.

Setidaknya dia cukup terkejut dengan kepribadian pria ini yang cukup mudah menyesuaikan diri. Dia mengajaknya jalan di pinggir trotoar sembari menikmati suasana jalanan kota. Jakarta lebih baik dari sebelumnya.

"Maaf juga kalau jadi merepotkan dan membuatmu lelah, nggak seharusnya aku mengajak kamu jalan di luar ruangan gitu." Dia tertawa ringan kalau mengingat masa-masa tadi. Mereka benar-benar mirip dua remaja yang sedang mabuk kepayang. Ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah pasangan yang paling bahagia. Setidaknya berpura-pura untuk begitu.

Pritam menggelengkan kepalanya dengan mantap. "Pengalaman baru untukku," jawabnya dengan tegas. Jujur saja dari dalam hatinya, kalau Lova adalah yang pertama kalinya.

Bukan tentang gadis yang diajak berjalan ke sana kemari, menggandengnya layaknya sepasang kekasih. Namun, dia adalah yang pertama yang membuat dirinya lelah hari ini. Bukan lelah di atas ranjang dengan adegan panas yang menggairahkan, lelah sebab trik sinar mentari membakar keduanya.

"Lain kali aku yang menentukan tempatnya untuk jalan." Pritam menyahut lagi. Sedangkan gadis yang ada di depannya terdiam seraya membuka matanya lebar-lebar. Ber-oh ringan.

"Bukannya aku tidak suka dengan jalan-jalan yang tadi, tetapi aku juga akan memperkenalkan suasana baru untukmu Jika kamu biasanya jalan-jalan dengan cara begitu," ujar Pritam. Setidaknya dia bisa membaca apa yang ada di dalam kepala gadis itu, Lova unik. Itulah yang terlintas di dalam kepalanya sekarang. Tentang gadis yang ada di depannya benar-benar berbeda.

"Ah, begitu rupanya." Dia terkekeh kecil sedikit canggung. Mengganggu-anggukan kepalanya.

Pertemuan mereka sejak awal sudah berbeda dari yang lain, tidak pernah menyangka kalau kencan palsu itu akan membawanya ke dalam hubungan yang terkesan terburu-buru seperti ini.

"Dalam artian singkat aku ngajak kamu jalan lagi, Lova."

Nova juga baru tahu kalau pria di depannya ini tergolong pria yang blak-blakan kalau berbicara. Dia punya kata-kata yang manis dan perilaku yang luar biasa nyaman, tetapi dia bukan tipe pria yang suka menggombal rupanya. Caranya mendekati Lova jauh berbeda dari pria-pria yang pernah dekat dengannya sebelum ini.

Asal di tahu saja kalau hubungannya dengan pria-pria sebelumnya tidak pernah berjalan dengan lancar. Paling-paling hanya kencan buta satu malam atau dua hari bertahan hubungan mereka sebelum akhirnya renggang dan saling menjauh satu sama lain, Dengan alasan kalau gadis itu tidak nyaman dengan perilaku yang diberikan padanya.

Mereka mendekati Lova karena fisiknya dan parasnya yang cantik, tidaknya dia menemukan hal yang lain di dalam diri Pritam.

"Tentu, kalau aku ada waktu aku pasti mau," jawab Lova.

Pritam mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu, jam makan siang hampir habis."

Gadis itu manggut-manggut. "Tentu. Semoga hari ini menyenangkan untukmu dan semoga ke depannya juga terus begitu. Sekali lagi terima kasih untuk jalan-jalannya."

Pritam manggut-manggut lagi. Dia tersenyum. "Begitu juga dengan kamu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia memutar tubuhnya untuk pergi dari hadapan Lova. Tanpa disangka kalau sekarang pandangan matanya akan bertemu dengan objek yang jauh lebih menarik dalam sepersekian detik pertama.

Mayya. Berdiri di sana, membawa kantong kresek yang cukup besar. Entah apa isinya, tetapi gadis itu memandang ke arahnya dengan begitu sayu. Wajahnya juga pucat.

••• Marriage Obsession •••

--dan pada akhirnya dia memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Mayya. Memastikan setidaknya gadis ini baik-baik saja dan sedang tidak ada dalam keadaan yang buruk, meskipun caranya memandang dan raut wajahnya sekarang berkata demikian.

"Mayya ..." Dia mendorong secangkir teh hangat untuknya. Hanya tempat ini yang dekat dengan rusunawa, meskipun cafenya tidak terlalu nyaman untuk dibuat berbicara empat mata begini.

Sungguh ramai dan sesak.

"Minumlah, jika kamu butuh sesuatu kamu bisa bilang padaku."

Gadis itu hanya diam sembari terus menatapnya, mirip seperti mayat hidup yang tidak bisa bergerak apalagi berkata-kata.

"Jangan hanya menatapku begitu, aku jadi merasa bersalah setelah membiarkan kamu pergi begitu saja tanpa mencarimu kemarin." Pritam membujuknya untuk berbicara bagaimanapun caranya, setidaknya dia bisa memastikan kalau gadis ini tidak bisa sebab dia mencekik lehernya terlalu kuat malam itu.

"Kamu masih marah padaku tentang kejadian malam itu?" tanya Pritam lagi, yang mendominasi pembicaraan sekarang adalah pria ini. Pritam manggut-manggut, menghela nafasnya panjang kemudian. "Aku tahu aku salah dan aku seharusnya tidak meninggalkan kamu begitu saja tanpa kabar. Paling tidak aku mencarimu atau ..."

"Apa hubunganmu sama Mbak Lova?" tanyanya. "Kenapa kamu berkali-kali datang dan menemuinya?"

"Kamu melihatnya?"

Gadis itu tidak memberi sahutan lagi, dia kembali dia membisu lalu menjatuhkan pandangan matanya. Dia mirip gadis yang kehilangan arah dan motivasi tujuan hidup.

"Kami melakukan kencan buta beberapa waktu lalu dan hubungan itu berlanjut sampai sekarang. Aku datang menemuinya sebab mengajaknya berjalan-jalan."

Mayya mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah lawan bicaranya. "Kalian berpacaran? Setelah hubungan singkat?" tanyanya dengan nada bicara yang begitu lirih, hampir saja Pritam tidak mendengarnya sebab suasana ramai di sekitar mereka.

"Dia hanya temanku, setidaknya sampai sekarang adalah teman dekat."

"Kamu menyukainya?" tanyanya lagi. Sekarang dia mengintrogasi. "Menyukai Mbak Lova?"

Pritam diam sejenak. Dia hanya menatap ke arah sepasang mata milik Mayya.

"Benar rupanya," sahut Mayya lagi. Dia hafal pada pria yang ada di depannya ini sebab perkenalan mereka tidak hanya bisa dihitung dengan hari dan bulan saja. Mereka sudah lama mengenal lebih dari yang orang kira.

"Kamu adalah pacarku," sahut Pritam pada Mayya. "Pacar yang tidak bisa aku nikahi sebab status sosial," katanya lagi. Melirihkan ada bicaranya sebab takut kalau Mayya tersinggung dengan hal itu.

"Bukan hanya pereda nafsu dan tempat seks?" Mayya menyahut seraya mencoba untuk tersenyum dari atas bibir pucatnya. "Kamu menyiksaku kemarin malam, padahal aku tidak tahu apa kesalahanku."

Pritam mengulum salivanya berat. Dia mendesis ringan kemudian. "Aku tahu aku salah dan aku minta maaf karena hal itu." Dia menarik ujung jari Mayya. Tubuhnya begitu panas, mungkin dia demam.

"Kalau kamu sakit karena kalau kemarin aku akan membawa kamu ke rumah sakit dan bertanggung jawab semua biaya rumah sakitnya. Jadi ...."

"Aku ingin kita putus. Kamu bisa menarik semua biaya pengobatan ibuku dan aku yang akan menyambungnya. Aku akan cari kerja dan mengundurkan diri dari pabrikmu, Pritam."

"Mayya, jangan bercanda!"

"Aku serius. Aku sangat serius."

... To be continued ...