webnovel

17| Secangkir Kopi

Dia sudah cantik dengan pakaiannya yang terkesan begitu sederhana, niat hati ingin mengembalikan gaun milik Pakde, yang katanya yang punya, tidak perlu dicuci dulu. Dia juga tidak tahu bagaimana mencucinya. Takut jika rusak malah dan dia harus menggantinya.

Inilah alasan dia berada di sini. Menatap bangunan yang ada di depannya.

"Kok gak masuk?" Seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya. Membuatnya sedikit terkejut, menoleh pada orang yang ada di depannya.

"Pakde ...." Lova tersenyum, membungkukkan badannya.

"Aku mau memberikan gaunnya," ucap Lova, menatap apa yang dia bawa.

Pakde melirik ke arahnya, manggut-manggut. "Masuk dulu, kita ngopi di kantin." Pria itu menuntun Lova untuk masuk ke dalam, langkah kakinya beriringan satu sama lain, menunju ke tempat yang sama.

"Ngomong-ngomong bagaimana dengan kencannya semalam? Biasanya Pritam akan memberi tahu, mengkritik dan memberi keluhan. Aku menunggunya semalaman."

Lova menoleh, sembari terus melangkah mengiringi pria itu. Dia jelas-jelas tak tahu apa yang dimaksudkan oleh Pakde di sini. Kalimatnya terdengar begitu ambigu.

"Pritam itu seperti pelanggan tetap, bukan menyewa pelayanan seks, dia suka menyewa gadis-gadis untuk diajak berkencan. Hubungannya tidak pernah bertahan lama, paling lama satu minggu. Dia selalu mengajukan keluhan di malam kencan pertama." Pakde tertawa ringan, sepertinya ini lucu, untuk dirinya sendiri.

"Dia tau caranya menghambur-hamburkan uang," tukasnya di sela tawa. "Dia itu playboy," ucapnya lagi, menatap Lova.

Gadis itu hanya diam, semalaman dia berpikir, seperti apa Pritam itu. Dia berandai-andai jika saja mereka bertemu suatu saat nanti. Lagi, untuk yang kesekian kalinya.

"Dia pria baik," jawab Lova, asal. Yang penting terkesan mengapreasi pembicaraan mereka.

Pakde merangkulnya, berjalan layaknya sedang bersama anak perempuannya. "Lova ...." Dia memanggilnya, membuat Lova menoleh sedikit mendongak sebab dia hanya setinggi bahu pria itu. "Jangan jatuh cinta padanya," imbuh Pakde.

Cukup mengejutkan, padahal dia tidak membahas cinta di sini, menyinggung perasaan saja tidak.

"Aku melihatnya dari caramu menatap, aku melihatnya dari caramu membelanya dengan bilang kalau dia pria baik," tukasnya lagi. "Dia bukan pria baik."

"Tau dari mana?" sahut Lova, masih ngeyel dengan pendiriannya. "Pakde bahkan bukan orang tuanya. Pakde tidak paham dia." Lova tertawa kecil kemudian. "Kalau hanya sebatas pelanggan tetap yang sering mondar-mandir ke sini, itu tidak bisa jadi patokan untuk menilai seseorang."

"Yang jelas dia bukan pria yang baik," katanya. Menegaskan tanpa mau berbicara banyak, dia tidak suka basa-basi, anggap saja begitu.b

Mereka sampai di kawasan kantin yang dibangun di sisi bangunan paling pojok, letaknya jauh dari pintu utama, tempat orang keluar dan masuk.

"Pesan, aku yang bayar," kata Pakde. Memberi pilihan pada Lova.

Gadis itu hanya diam, keadaannya begitu mendadak.

"Pesan saja. Aku yang traktir. Kamu sudah bekerja sangat bagus," imbuhnya. Menepuk pundak Lova. "Aku tunggu di sana," katanya. Hampir saja dia pergi dari hadapan Lova, tetapi gadis itu menyela.

"Pakde! Gak pesen juga?" tanyanya, membuat pria itu tertawa dengan ringan. Sepertinya Lova lupa siapa yang diajak berbicara di sini. Mr. Rex Samuel, orang yang punya gedung ini. Bosnya!

"Mereka sudah tahu pesanku." Dia tersenyum mengakhiri kalimatnya. Setelah itu pergi beranjak meninggalkan Lova di sana. Menepi, memilih tempat yang paling ujung. Tepat di sisi jendela besar, menghadap ke taman belakang bangunan ini.

Ini benar-benar mirip kantor besar, bergerak dalam bidang pangan impor dan ekspor, produknya cukup dikenal masyarakat luas. Semua yang menggunakan embel-embel nama perusahaan ini selalu saja laris manis di pasaran.

"Pacar barunya, Pak Rex?" --sapaan yang aneh saat Lova datang untuk memesan. Dia tidak menyangka kalau akan mendapat sapaan begini. Seharusnya, akan lebih wajar jika ibu ini menanyakan namanya.

"Lova," jawabnya, memperkenalkan. "Temannya Pakde," imbuhnya. Yang diberi kalimat hanya manggut-manggut.

Lova menunjuk nasi goreng telur di dalam menu, ditambah teh hangat dengan jeruk di dalamnya. "Aku duduk di—"

"Aku tahu," sambung si ibu. Menatap Lova dalam diam, sebelum akhirnya tersenyum. "Nanti aku antar."

Lova manggut-manggut, mengiyakan. Tempat ini asing dan aneh untuknya.

Dia kembali pada Pakde, berjalan menghampirinya. Menarik kursi tepat di depan pria tua itu. Usianya jauh lebih mirip kalau dibilang 'pakde' sungguhan oleh Lova, atau juga bisa seorang ayah yang nikah muda dulunya.

"Pakde usia berapa?" tanya Lova tiba-tiba, basa-basi yang aneh.

"45," jawabnya. Alakadarnya. "Aku menipu dengan usia 43," katanya lagi, terkekeh.

Lova mengangguk lagi. "Si ibu bilang aku pacarnya Pakde," tutur Liga, menggerutu. Bibirnya manyun sembari duduk di atas kursi. Meletakkan Tote bag yang dia bawa untuk mengembalikan gaunnya.

Awalnya, dia datang bukan untuk makan pagi bersama pak tua ini, tetapi hanya mampir lalu pergi cari kerja.

"Dia bilang begitu?" tanyanya Pakde memastikan, anehnya dia tidak marah dibilang laki-laki tua yang doyan gadis muda. Tawa itu seakan menghina, pada dirinya sendiri. "Sudah biasa. Monica, Angelia, dan semuanya ... anak-anak baru yang dulunya datang pertama kali selalu aku traktir di minggu pertama mereka bekerja, Mbak Nani selalu bilang dengan pertanyaan yang sama ... pacarnya Pak Rex?" Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia tertawa lagi.

Sedangkan Lova hanya menggelengkan kepalanya. Entahlah, pak tua ini memang aneh!

"Abaikan saja, itu wajar di sini."

Lova melipat tangannya. Menatap pria tua yang ada di depannya sekarang. "Pakde ini ... masih perjaka?" tanyanya. Dia menarik wajahnya ke belakang, terus mengamati dan meneliti. Seakan-akan dia bisa menerawang pria itu. "Istri dan anak?"

"Lebih tepatnya aku duga ... kamu bertemu dengan Madam," imbuhnya.

Lova menepuk jidatnya. "Ah, benar! Madam."

"Kami hanya menikah tiga bulan," sahut Pakde. Membuat pengakuan yang cukup mengejutkan. "Mungkin empat bulan?" Dia menyanggah kalimatnya sendiri. "Entahlah, aku tidak menghitung."

"Kenapa bercerai secepat itu?" tanyanya kemudian. Lova mulai penasaran dengan itu, padahal dia bukan siapa-siapa di sini.

Dia kenal pria ini dari Nike, begitu juga dengan sebaliknya.

"Namanya juga nggak cocok, mau dipaksa tetap saja nggak cocok." Dia tersenyum pada Lova. Seseorang datang menyela pembicaraan, menghantarkan pesanan secangkir kopi dengan aroma arabika yang khas.

Ah, inilah yang disebut mereka sudah hafal dengan pesanan Mr. Rex.

"Makanya kalau cair suami, kamu yang teliti dan hati-hati." Tiba-tiba saja dia menjadi ayah untuk anak perempuannya. "Mau cari orang Jakarta atau pulang ke kampung halaman?"

Lova diam, tidak menjawab. Dia cari kerja, bonusnya adalah dapat jodoh. Teman-temannya sudah menikah dengan orang-orang yang hebat, sedangkan dari dan Nike punya hidup yang 'melenceng'.

"Kalau cari orang Jakarta, kamu harus seleksi dengan benar. Bajingan punya topeng kelinci yang manis, serigala suka pakai bulu domba, singa menyamar menjadi kucing yang lucu. Itulah Jakarta," sambungnya. Sok bijak. "Kalau mau orang Jakarta, kamu mau seperti siapa?" tanyanya pada Lova.

Gadis itu menatap jauh ke belakang Mr. Rex. Lalu lalang orang yang keluar masuk mencuri fokus Lova.

"Mau seperti siapa?" tanyanya, mengulang.

"Pritam!"

... To be continued ...