webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Cómic
Sin suficientes valoraciones
43 Chs
avataravatar

30

Kembali ke Tokyo, Neji masih memperhatikan gerak-gerik Hinata, tidak ada yang pantas dicurigai, seorang gadis lebih mudah terlihat jika dia sedang berada pada masa kasmaran. Tapi Neji tidak menjumpai pada diri Hinata ciri-ciri yang paling umum seorang gadis jatuh cinta.

Saat Hinata selesai menumpuk mangkuk dan piring-piring kecil yang digunakan untuk menampung lauk makan malam mereka, gadis itu terkejut melihat kakaknya memandang ke arahnya seolah tengah meneliti. Ia pikir, apakah ada nasi di bawah bibirnya? Atau di hidungnya? Ia yakin, tidak pernah ceroboh ketika makan.

"Apa yang sedang kau lihat?" pandangannya kembali fokus ke dalam kenyataan, Neji melihat adiknya sedang tidak senang diteliti sedemikian. "Terjadi sesuatu? Sakit perut? Masakanku tidak enak?" hari ini, Hinata ingin memasak makan malam untuk Neji, karena selama ini sang kakak yang selalu memanjakan lidahnya, apa salahnya untuk berganti peran sekali-sekali.

Neji tersenyum kikuk. "Enak kok, aku hanya kepikiran sesuatu."

"Kepikiran? Kalau sampai melihat aku seperti itu, sepertinya itu ada hubungannya denganku juga. Apakah selama di Okutama ayah membebankan tugas padamu terlalu banyak? Atau ini tentang Miru yang melaporkan sesuatu yang tidak benar-benar kulakukan padamu?" Hinata mendesis, kalau Miru berulah lagi, sepertinya dia harus menyebar fitnah keji agar wanita itu lebih baik dikembalikan saja ke Okutama. "Err, aku benci dengannya."

"Miru tidak melaporkan apa-apa kepadaku, ayahku juga tidak memberikan tugas, aku bahkan hanya bertemu saat makan malam saja ketika berada di Okutama kemarin," ungkap Neji, lalu ia menarik napas, menenangkan dirinya sendiri tentu saja. "Aku hanya ingin tahu, apakah Tokyo menyenangkan bagimu? Dan, mungkinkah kau punya teman?"

"Teman?" Hinata memutar bola matanya, dan itu sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan seorang gadis bangsawan. "Aku tidak memilikinya, tapi ada satu cewek yang selalu bertanya hal-hal aneh. Lembaga bimbingan belajar mana yang aku masuki? Siapa guru privatku? Atau, rambut panjang lurusmu itu, kau menggunakan jenis sampo apa? Apakah ke setiap pagi kau pergi ke salon? Ugh, dia berisik sekali, tapi sebenarnya aku tahu, kalau dia sangat kesepian."

Neji mencermati Hinata tengah bercerita, dan ia jarang sekali menjumpai adiknya dapat menilai seseorang. "Gadis itu agaknya menderita, mungkin karena kugeser namanya ke urutan kedua saat ujian harian kemarin. Ada yang bilang dia kutu buku dan sombong," Hinata menerawang—mengingat bagaimana persisnya Ino Yamanaka di matanya. "Dia sebenarnya butuh seorang teman untuk berbicara, tapi kukira dia tidak dapat memulainya."

"Mungkin kau bisa menjadi temannya."

Hinata mengamati Neji, dan memandangi kakaknya terheran-heran. "Aku tidak butuh teman!"

"Terlihat sebaliknya," balas Neji, yang kemudian berdiri dari duduknya, mengambil alat-alat makan mereka. "Biar aku yang cuci, kau masuklah kamar, silakan belajar."

"Aku mau teh, buatkan sekalian, ya?" Neji mengangguk untuk menyetujui. "Terima kasih."

Kembali ke kamarnya, Hinata membuka jendela untuk memandangi malam dan membiarkan suara-suara bising perkotaan menghiburnya. Satu-satunya alasan yang dapat diterima sebab dia ingin selalu tersadar, dia tidak lagi berada di Okutama, juga memandangi pohon sialan nan menyebalkan itu sepanjang waktunya.

Ia telah bersumpah untuk mencari seorang laki-laki—tidak peduli dari kalangan mana, kehidupannya seperti apa, maupun sikapnya yang tak terkontrol sekalipun—untuk dijadikan sebagai pendamping mungkin saja, atau seorang kekasih, yang mau menghancurkan segala kontrak menyebalkan pernikahannya dengan sang Dewa Rubah. Ini akan dimulai. Ia harus mencari siapa pun, dan ini Tokyo, orang-orang tidak akan tahu siapa dirinya, dan itu sangat mudah.

Namun, bagaimana dengan Naruto Namikaze yang ternyata mendekati target diinginkan olehnya? Hanya masalahnya lelaki itu dekat dengan Neji, lelaki itu pun terlihat tidak peduli pada seorang gadis. Ia harusnya mencoret laki-laki itu dari daftar yang diinginkannya. Tapi Hinata merasa Naruto mungkin saja dapat membantu dalam permainan yang sudah direncanakan olehnya itu.

"Tidak, Naruto harus dicoret, dia teman baik Neji, bisa-bisa sebelum rencana itu berhasil, aku akan diseret kembali ke Okutama," gumamnya sambil memicingkan kedua matanya, seolah-olah Naruto ada di depannya untuk diteliti secara cermat.