Mengetuk!!
Mengetuk!!
Mengetuk!!
Derap langkah kaki terdengar meski sayup-sayup dari hutan hujan di pesisir barat pulau NU.
Pulau NU, atau yang dijuluki pulau kematian oleh penduduk sekitar, terletak di tengah lautan Negara Sunrise. Pulau tak berpenghuni yang hanya berisi hutan dan sungai mempunyai rumor akan keangkeran pulau tersebut, jarang ada manusia yang berani menapak 'kan kaki di sana jika bukan seseorang dengan seribu nyali. Namun, kini sepertinya hari ini menjadi bermakna. Melihat seorang gadis berlari terseok-seok menelusuri jalur terjal dengan napas memburu bahkan pakaian di tubuhnya tidak layak menutupi kulitnya dari pandangan dunia luar.
Gadis tersebut beberapa kali menengok ke belakang, terlihat raut ketakutan mengakar kuat di indera penglihatannya.
"Cepat kejar, aku yakin gadis sialan itu lari kesana!" seruan terdengar dari belakang membuat Madalika nyaris tersungkur ke tanah karena gugup.
"Tapi Tuan, di depan adalah batas kita masuk ke hutan hujan pulau NU. Jika kita melanggar …" ucap pria lain lalu menutup mata sebentar, kemudian menatap pria gendut yang memberi perintah. "Kita bisa mati."
Pria gendut mendelik tajam. "Halah…dasarnya pengecut. Tuan Agraham selama ini melatihmu dengan keras untuk menjadikanmu seorang penakut? Cuih," ludahnya kesamping. "Jika kamu takut pergilah. Kalian semua, bersamaku masuk ke hutan atau pergi dengan dia."
Beberapa pria yang tersisa saling dipandang. Sejujurnya mereka juga ragu saat disuruh masuk kehutan, jika mendengar rumor yang tersebar luas di seluruh pelosok negeri. Tapi mereka juga tidak bisa membantah perintah atasan untuk menangkap gadis bernama Mandalika yang kini berada di dalam hutan. Alhasil mereka sepakat meninggalkan pria yang tadi ragu-ragu sendirian. Karena hukuman Tuan Agraham lebih nyata dibandingkan rumor mengerikan yang beredar.
Sekarang, pria gendut dengan pongah tersenyum licik. "Kau lihat, harusnya seperti inilah bawahan tuan Agraham berpikir, berani tanpa rasa takut. Tidak sepertimu! Sia-sia. Takut sesuatu yang konyol seperti rumor beredar yang belum tentu kebenarannya. Ayo kita pergi, tinggalkan saja si pengecut ini." Pria gendut berjalan memasuki hutan ditemani lima hingga enam orang di belakangnya.
Puk!! tepukan di bahu menyadarkan pria itu, membuatnya menoleh ke arah samping. Lalu trcengang "Kamu … kenapa masih disini? Kamu tidak ikut bersama mereka?"
Menganguk teman-nya berkata. "Jangan masuk 'kan ke hati. Mario, orangnya memang seperti itu. Dari dulu dia iri melihatmu menjadi kaki tangan Tuan Agraham. Padahal jabatanya lebih tinggi dibandingkan dirimu," jelasnya sambil mendesah pelan. "Sudahlah Alex, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik,"
Ragu, Alex mencekal lengan sahabatnya.
"Ada apa?"
Alex tak langsung menjawab. Di rogohnya saku kiri hingga tampak sebuah liontin berpola latin dengan warna perak hadir di gengaman-nya. "Bawalah ini bersamamu.Entah kenapa aku berkata kau lebih membutuhkan daripada aku." Alex langsung memberikan benda tersebut kepada sahabatnya.
"Ini apa?"
Alex mengedikkan bahu, "Jujur aku sendiri tidak tahu jelas apa benda itu. Liontin ini diberikan oleh nenekku sebelum dia meninggal. Beliau hanya berpesan agar aku selalu membawa benda ini kemanapun aku pergi."
Minatnya terusik, dengan menatap Alex teman-nya tersenyum lembut. "Terima kasih Alex. Baiklah aku pegi dulu sebelum kehilagan jejak mereka, kau tunggulah disini"
Alex mengungkap kepergian sahabatnya hingga hilang ditelan rimbunnya hutan rimba. Sekarang, tinggal Alex sendirian dia memilih duduk di bawah pohon sambil mengingat kenjadian yang membuat mereka terdampar di hutan hujan pulau NU.
.
.
.
"Kau dengar! Tuan Agraham, kemarin membawa seorang gadis. Dia di sekap dan dijadikan tahan di sini."
Dua pria berjalan sambil mengobrol di lorong pajang.
Alex yang berpapasan cuma mengeryit.
"Benarkah!" ucap pria lain takjub.
Teman-nya mengaguk antusias mendapat gosip terbaru. "Dia sangat cantik. Tidak ada yang tahu dari mana asal-usul gadis itu," bisiknya pelan. Tapi Alex masih bisa mendengarnya meski setelahnya dia tidak bisa mendengar lagi.
Hari itu, di jadwalkan Tuan muda Arnold putra Tuan Agraham, akan pergi ke pesisir barat daya Negeri Sunrise. Karena letak negeri yang strategis dengan hasil yang melimpah di segala macam bidang perekonomian menjadikan negara itu pusat jantung perdagangan untuk negeri sekitar. Namun, yang menjadikan cacat adalah satu, keberadaan Pulau NU.
Alex menjadi salah satu orang dari tujuh orang kepercayaan yang di utus Agraham mengawal putra semata wayangnya tersebut mengarungi lautan lepas menuju pesisir barat bersama Marlo, Leon dan Mario. Karena Agraham tidak ingin sesuatu terjadi mengigat kapal harus melewati garis Pulau NU. Dalam perjalanan semua berjalan mulus sampai suatu peristiwa terjadi, dimana kapal tiba-tiba berhenti secara tiba-tiba.
Marlo berdecih kesal. "Mengapa laju kapal tiba-tiba berhenti. Apakah ada masalah?" ungkapnya sambil mengacak rambut frustasi. "Leon coba kau turun ke bawah, suruh beberapa awak kapal memeriksa kondisi mesin." yang dijawabi anguk, kan Leon.
Saat tiba di dek kapal, Leon berpapasan dengan Alex. "Ada apa Leon? Kenapa kapalnya tiba-tiba berhenti."
Kini Leon mengeleng. "Ntahlah, Marlo baru saja menyuruhku ke bawah. Siapa yang tahu ada masalah dengan mesin."
"Mesin?!" Alex ragu. "Sebelum berangkat semua dicek dan dalam kondisi stabil. Apalagi ini salah satu kapal terbaik yang kita miliki, kurasa kecil kemungkinan ada masalah."
Leon berpikir sama dengan Alex, dia juga ikut memeriksa kondisi kapal sebelum berlayar saja. "Kerusakan bisa saja terjadi kita tidak bisa memprekdisi semuanya. Meski kecil kemungkinannya, itu tetap ada." Leon berpikir rasional. "Sudahlah lebih baik aku memeriksanya. Kau temani Marlo nanti aku menyusul."
Alex menerima usulan dan pergi ke dek depan. Daripada suntuk di kamar lebih baik keluar menghirup udara laut. Baru menginjak kabin Alex terkesima melihat pemandagan di depan. "Pulau yang sangat indah, sayang kenapa harus dijuluki pulau kematian. Padahal itu pulau paling indah di antara kekayaan alam milik Negeri kita." Alex berseru takjub melihat Pulau NU menjulang tinggi hingga kelangit. Bahkan tak terlihat puncak pulau tersebut karena tertutup awan.
Mario yang kebetulan ikut nibrung juga mengungkap keberadaan pulan NU mau tak mau menganguk setuju. Namun kemudian, dia bersinar. "Vampir? Heh… itu mungkin karangan paling tak masuk akal yang pernah kudengar selama ini. Mana ada hal begituan, jika ada kemarilah moncong pistolku akan melenyapkan mereka satu persatu tanpa sisa, hahaha" tawanya membuat perut buncit bergetar.
Alex mengeleng lemah, hingga dua bunyi letupan kapal pistol terdegar dari dalam.
Dor!!
Dor!!
"Apa yang terjadi?" tanya Leon Gusar. Dia terkejut bukan kepalang. Baru saja dia naik hanya suara tembakan yang mencapai telinga.
Marlo, dan Mario bingung, sedangkan Alex punya tebakan kasar dihatinya. Belum sempat ke tiganya berlari suara Arnodl mengelegar memenuhi kabin.
"Bawa gadis sialan itu kemari, ahhh" ujar Arnodl sambil merintih kesakitan.
Alex, Mario dan Leon yang masih bingung malah mematung di tempat. Wanita? Jika seingat mereka di dalam kapal hanya ada pria saja bahkan tukang memasak pun seorang pria lalu dari mana datangnya wanita yang berbicara dengan Arnodl. Tapi tebakan mereka segera terjawab saat gadis cantik tengah berlari ke arah mereka. Alex akui baru pertama kali ini dia bertemu dengan sosok wanita yang begitu cantik.
"Dasar goblok. Apa kalian semua tuli, tidak mendengar perintahku. Cepat! Seret gadis itu kemari." Arnodl keluar tertatih sambil memegang perut. Giginya bergeletuk menahan amarah.
"Tuan Arnodl!!" seru serempak keempat bawahan melihat kondisi Arnodl yang mencengangkan.
"Ba-bawa gadis itu kemari." desis Arnodl di sela-sela giginya.
Gadis itu bingung melihat kedatangan Marlo dan Mario yang coba menghadangnya. "Jagan mendekat kalau tidak aku terjun ke bawah." ucapnya menantang.
Marlo dan Mario menghentikan perintah mana yang harus diikutsertakan. Mereka takut gadis itu benar-benar melompat dan Arnodl akan memarahi mereka karena tidak menangkap wanita itu.
Arnodl nyaris gila melihat ketololan bawahan Ayahnya. "Bodoh!!! Kalian semua Persetan. Bruk," kemudian dia pingsan saat selesai memaki.