webnovel

Part 7. Mencari Pelarian dalam Kesenangan

Sudah pukul hampir tujuh malam ketika Binar akhirnya melangkar keluar dari lift. Berjalan menyusuri koridor besar tempat para tamu biasa menunggu. Malam begini, sudah tidak ada lagi tamu yang duduk mengisi sofa-sofa yang tersedia di sana. Lampu yang hidup pun hanya menyala sebagian. Tidak seluruhnya hidup untuk menghemat penggunaan listrik gedung kantor tersebut.

Entah untuk alasan apa, wanita cantik itu membelokkan langkah dan menjatuhkan dirinya di salah satu sofa berwarna hitam putih. Menyandarkan punggung dan lehernya ke sofa, sambil memandangi langit-langit yang tidak begitu menarik layaknya siang hari. Wanita itu lalu memejamkan mata. Merekam ulang kepergian Farhan tadi sore, ketika dia meminta acara mereka untuk dibatalkan.

Menurut Binar, sebenarnya Farhan merupakan kekasih yang cukup pengertian. Dia tidak banyak ikut campur dalam seluruh pilihan hidup yang harus Binar ambil. Pria itu juga tidak bicara secara berlebihan. Tahu kapan harus diam dan bertindak seolah tidak ada masalah yang terjadi. Keseluruhan hal itu dilakukan untuk menunjukkan betapa besar rasa sayangnya pada Binar. Kecintaan dan kepeduliannya pada sang kekasih. Dan untuk alasan itu pula, Binar benar-benar merasa bersalah karena telah membuat Farhan pergi dengan wajah murung, yang berusaha keras untuk dia sembunyikan.

Bodoh, Binar! Kamu bodoh! ratapnya pada diri sendiri. Bisa-bisanya kamu bikin Farhan sedih kayak tadi!

Ratapan itu berlangsung cukup lama. Cukup untuk membuat security yang berjaga di depan pintu kaca sadar akan keberadaan Binar di sana.

Mata terpejam. Pada saat itu juga rasanya Binar ingin sekali pergi dan mendatangi Farhan ke tempat pria itu tinggal. Meminta maaf atas tindakannya yang seolah tidak memikirkan perasaan Farhan sedikit pun. Memeluknya dengan begitu erat, hingga tubuh mereka akan dapat saling membagi kehangatan. Meresapi kasih sayang yang begitu intim. Menceritakan seluruh beban yang hari itu harus dia jalani.

Dia bisa membayangkan betapa menyenangkannya berada di sana, menghabiskan malam sambil meminum secangkir kopi dan pembicaraan tak berarti. Akan tetapi, semua pemikiran tersebut perlahan luruh bersama ingatannya atas semua kata-kata Dita. Beberapa kalimat penutup yang Dita ucapkan dalam suara yang sama sekali tidak nyaring. Potongan ucapan yang membuat Binar ragu atas langkah apa yang kemudian harus dia perbuat.

Lagi-lagi hening.

Keheningan yang lekas terpecah saat ponsel di dalam tas kerja Binar tiba-tiba saja berbunyi nyaring. Wanita itu berniat mengabaikannya. Sampai telepon akhirnya berhenti berbunyi, tetapi lekas bernyanyi dalam suara yang seolah terdengar makin lantang.

Setelah mengambil dan melihat siapa yang tengah menelepon, rasa enggan yang memerangkapnya semakin menjalar naik. Akan tetapi, dia memutuskan untuk menjawab telepon tersebut.

"Halo."

"Kamu udah selesai kerja, kan?"

"Udah," balas wanita itu dengan enggan.

"Nanti malam belum ada acara?"

Untuk sejenak Binar merapatkan kedua bibir seolah tidak mau menjawab. "Engga ada. Tapi, aku juga engga ada niatan sama sekali untuk melayani siapa pun malam ini."

"Karena?"

"Aku lagi engga mood. Lagi mau sendiri."

"Masalah kantor, kan? Kalau gitu, berarti kamu justru harus ambil job yang mau aku tawarin."

"Aku-lagi-engga-mood."

Sosok yang berada di sisi lain ponsel justru tertawa. "Yakin, kamu engga mau cuma sekedar nemenin orang lain makan, tapi dibayar mahal? Malah bisa jadi, mungkin kamu bisa sejenak lupa sama masalah kantor. Gimana?"

"Nemenin makan?"

"Iya. Cuma nemenin makan. Engga lebih."

"Bayarannya?"

"Full. Tarif normal kamu full service."

Mendengar jawaban itu membuat Binar merasa ada yang aneh. Memang benar bahwa dia memiliki beberapa klien loyal yang terkadang rela membayar sekedar untuk mengajaknya makan malam, atau menemani pada suatu acara. Namun, biasanya tarif untuk melakukan hal itu pun harus disesuaikan. Tidak sampai setengah dari bayaran normal yang biasa ditarik. Dan kali ini, dia akan dibayar penuh untuk menemani makan malam?

"Siapa orangnya?"

"Kamu tahu aku engga akan pernah bocorin nama klien kita sampai kamu ketemu mereka."

"Udah pernah aku layani?"

Untuk beberapa detik, sosok di ujung sana hanya diam. "Maaf, Clare, peraturan tetap peraturan. No spoiler."

Selama beberapa waktu, sekarang giliran Binar yang terdiam. Sepanjang siang sampai sekarang suasana hatinya benar-benar kacau. Ditambah lagi tindakannya pada Farhan tadi sore, membuatnya semakin merasa terpuruk. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sekarang, dia memang sedang butuh pelarian.

"Kapan dan di mana?"

"Sekarang. Jemputan kamu sebentar lagi harusnya sampai. Nanti aku kirim detailnya via WhatsApp."

Dulu, ketika pertama kali bergabung dalam bisnis mahal ini, Binar sempat terkejut saat agennya tahu di mana dia berada. Namun, sekarang dia tidak pernah lagi mempermasalahkan hal itu. "Oke," jawabnya singkat.

"Dana udah dikirim. Selamat bersenang-senang, Clare."

Tanpa ada basa-basi lagi, telepon itu terputus. Meninggalkan Clare untuk memikirkan sejenak calon-calon klien yang mungkin akan dia hadapi. Beberapa klien loyalnya masih cukup muda dan tampan, dan menemani mereka makan malam tidak terlihat sebagai sebuah ide yang buruk untuk melepas penat. Akan tetapi, bagaimana kalau yang harus ditemaninya adalah orang-orang yang sudah beruban?