Kurang lebih pukul 08:20, meeting yang harus Binar hadiri pun akhirnya dimulai. Meeting tersebut mundur lima menit dari seharusnya, karena ternyata sang wanita bersetelan blus biru langit tidak berhasil mempersiapkan segala hal yang diperlukan tepat waktu. Meskipun tidak dimulai tepat waktu, semua dapat terlaksana dengan cukup baik. Meeting berjalan tanpa hambatan yang begitu berarti. Partisipan yang ikut hadir mengelilingi meja rapat terlihat aktif berinteraksi dan memberi pendapat menurut pandangan mereka masing-masing. Kepala direksi yang biasanya cukup cerewet dalam mempertimbangkan ide-ide baru juga tampak cukup terkesan, dan memutuskan untuk tersenyum puas dengan rapat yang baru saja selesai.
Seharusnya, Binar juga bisa merasa lega dan puas karena semua yang sudah disiapkan dari jauh hari, pagi ini berhasil menuai hasil seperti yang telah diharapkan. Namun, semua itu harus luruh ketika melihat bagaimana Dita menatapnya saat satu per satu peserta rapat mulai meninggalkan ruangan. Pada saat itu juga, Binar tahu bahwa harinya pasti akan terasa sangat melelahkan.
Setelah meeting benar-benar usai, seperti yang sudah diduga, Binar langsung dipanggil untuk menghadap Dita. Dia dikeramasi selama lebih dari setengah jam. Mempermasalahkan hal-hal sepele, yang semuanya bermula dari keterlambatan Binar untuk mempersiapkan semuanya. Menurut Dita, seandainya saja Binar tidak terlambat, mereka dapat membuat impresi yang jauh lebih baik. Bahkan, dengan keputusan kepala direksi yang memberi mereka 90% dari total budget yang dicanangkan–padahal biasanya kepala direksi hanya memberi budget sekitar 70% dari yang diajukan dalam proyek lain, Dita merasa itu tetap tidak cukup. Menurutnya, budget 100% harusnya bisa mereka capai seandainya saja Binar dapat bekerja dengan lebih baik.
Jika saja mau, wanita dengan kulit almond itu bisa saja membela diri atas pencapaian yang telah mereka dapat. Namun, berdasarkan banyak sekali pengalaman sebelumnya, Binar telah belajar bahwa mendebat atasannya yang selalu bertindak seenaknya ini tidak akan pernah berakhir baik. Malah bisa membuatnya semakin dibenci. Jadi, dia pun memutuskan untuk lebih banyak mengangguk sambil berkata 'iya', 'maaf', dan kata-kata lain yang gunanya untuk merendahkan diri.
Setelah Dita merasa puas melampiaskan seluruh emosi, akhirnya Binar diizinkan meninggalkan ruangan. Menampilkan senyum yang dipaksakan, sampai pintu ruangan tempat Dita berada benar-benar ditutupnya rapat.
"Binar."
Suara lembut itu terdengar tepat ketika Binar baru saja duduk untuk menghela napas. Melihat ke sebelah kanan, pada sumber suara yang baru saja memanggilnya. "Kenapa?"
"Bukannya tadi hasil rapatnya bagus, ya?"
Memasang wajah cemberut. "Kamu, kan, tahu sendiri Bu Dita benci banget sama aku, Lin."
Belinda hanya bisa tersenyum pahit mendengar jawaban itu. Bukan hanya dirinya, tetapi semua orang dalam divisi mereka tahu bahwa Dita sangat membenci Binar. Padahal, Binar adalah karyawan dengan performa terbaik dalam divisi mereka. "Iya, sih …. Tapi, kamu engga apa-apa, kan?"
"Maksud kamu?"
"Kamu engga dimarahin sampai gimana-gimana gitu, kan?"
Untuk beberapa detik, Binar memikirkan seluruh omelan yang keluar dari mulut Dita di ruangan tadi. "Engga, kok. Cuma marah-marah kayak biasa aja."
Dengan gerakan yang agak kasar, Belinda menggeser kursi duduknya hingga berada cukup dekat dengan teman yang sedang diajak bicara. "Padahal budget-nya tembus sampai 90%, kan?" ucapnya dalam suara yang dipelankan.
"Iya. Tapi, kamu tahu, lah, Bu Dita kayak gimana."
"Dendam kesumat kali Bu Dita sama kamu. Makanya sensi banget gitu."
'Dendam karena apa coba?"
"Ah, kamu. Segala pura-pura engga paham."
Tanpa sadar Binar menaikkan sebelah alis matanya. Dia tahu persis kejadian apa yang baru saja Belinda maksud. Hanya saja, menurutnya hal seperti itu seharusnya tidak menjadi sesuatu yang akan berlangsung panjang sampai sekarang. Bahkan hal itu sudah berlalu cukup lama. Terlalu lama, sampai dia tidak lagi mengingat persis kapan waktunya.
"Heh! Malah bengong."
"Siapa yang bengong," tolak Binar dengan penuh percaya diri. "Udah, ah. Daripada nanti aku diterkam lagi sama Bu Dita, mendingan sekarang aku kerja dulu. Kamu juga, tuh! Laporan yang kemarin udah selesai belum?"
"Ah, kamu engga asyik, nih. Padahal aku punya gosip baru, loh." Sorot mata Belinda tampak bercahaya, seolah dia akan menceritakan sebuah gosip yang sangat-sangat rahasia.
Satu tangan Binar mendorong kursi beroda Belinda, hingga wanita itu kembali ke tempat dia semula duduk. "Jangan ngegosip terus. Soalnya nanti aku yang kena semprot."
Melihat Binar mulai sibuk memperhatikan layar komputer dan berkas-berkas yang harus dikerjakan, Belinda akhirnya menyerah untuk mengajak wanita itu bergosip. Meski tidak bisa mengalahkan kinerja Binar yang cemerlang, Belinda juga sama sekali tidak pernah berniat untuk membuat wanita itu menjadi lebih buruk. Bahkan, melihat sang wanita yang pagi itu rambutnya dikuncir ke belakang, Belinda menjadi cukup bersemangat untuk mengerjakan tugasnya sendiri. Jika seorang Binar yang baru saja dimarahi oleh atasan mereka masih bisa begitu semangat untuk bekerja, Belinda tidak punya alasan untuk tidak ikut bersemangat.
***
"Jadi, kamu beneran dimarahin lagi?"
Binar mengangguk pelan atas pertanyaan kekasihnya. Masih sibuk menyeruput es teh manis yang sudah dihabiskannya setengah.
"Padahal kalian bisa dapat budget sebesar itu?"
Untuk kali kedua, Binar mengangguk.
Melihat sang kekasih yang begitu asyik menikmati minumannya, Farhan pun tergoda untuk meminum es jeruk yang belum dia sentuh. "Aku bingung, deh, sama atasan kamu itu. Maunya dia apa, sih?"
"Coba," ucap Binar sambil menatap lekat-lekat mata kekasihnya yang tidak begitu besar, "kamu tanya aja langsung ke orangnya."
Seorang pelayan ketika itu datang untuk mengantarkan dua mangkuk bakso urat yang sudah mereka nanti-nanti. Menjeda perbincangan mereka untuk beberapa detik.
"Biar aku ikut dimarahin, gitu?"
Binar tertawa kecil. Memutuskan untuk tidak menanggapi pertanyaan yang kekasihnya ucapkan. Mulai sibuk menuangkan saus ke dalam kuah bakso yang akan disantap.
Farhan menunggu hingga Binar selesai menuang saus di mangkuk baksonya, lalu mengambil botol saus tersebut dan mulai menuang ke mangkuknya sendiri. "Padahal ide proyek itu dari kamu, kan?"
Sejenak perbincangan mereka hanya terisi oleh suara kipas angin yang terus berputar. Binar yang awalnya sibuk mengaduk kuah baksonya, kini memutuskan untuk berhenti total. Mengalihkan pandangannya dari santapan, dan mulai menunjukkan raut wajah kesalnya di hadapan sang kekasih.
"Bukan cuma idenya, Yang. Tapi, bahkan semua detail proyek itu aku yang siapin. Materialnya, hitungan bugdet-nya, teknis detail pelaksanaannya. Semuanya! Itu semua aku yang urus, loh, padahal." Nada ucapan Binar menunjukkan emosi yang dari tadi tidak dia perlihatkan. Tetapi, rasanya semua itu mulai mengalir begitu saja jika Farhan yang mengajaknya bicara. "Dan kamu tahu, kan, presentasi tadi itu bisa dibilang sukses?"
Sang kekasih mengangguk mantap. "Sukses besar malah. Sampai-sampai jadi bahan obrolan di divisi aku."
"Padahal aku udah luangin waktu banyak banget untuk bikin rencana proyek itu. Sampai di rumah pun masih aku kerjain juga. Ini, lah. Itu, lah. Sampai hal-hal yang paling sepele, semuanya tadi bisa aku jelasin. Dan kepala direksi tadi bahkan sempat bilang kalau proyek itu nilainya bagus. Tapi tetap aja…."
Farhan tahu betapa kesalnya Binar dengan perlakuan Dita padanya. Dia lekas meraih kedua tangan kekasihnya, menggenggamnya dengan erat. Tersenyum. Memberikan seulas senyum yang menurutnya paling indah. Senyum yang Farhan harap bisa membuat Binar merasa lebih baik. "Kalau orang-orang bilang, haters gonna hate. Mau sebaik apa pun kamu, tetap aja akan ada orang yang benci. Dan kita sama-sama tahu, Bu Dita itu memang … rada-rada?"
Raut kesal Binar perlahan memudar. Meski tidak berhasil membuat seluruh kekesalannya hilang, setidaknya sebagian besar emosi itu sudah menguap ke udara. Sisanya, Binar tinggal meluruhkan kekesalannya dengan tiap suapan bakso yang akan dia santap.
Tidak lama, mereka pun mulai menyantap makan siang sambil memperbincangkan hal-hal lain sebagai pengalihan.
"Tapi, Yang," Farhan mulai kembali bicara setelah menenggak habis es jeruk miliknya. "Aku masih penasaran, deh, kenapa kamu tadi pagi bisa telat? Padahal biasanya kamu selalu siap untuk momen-momen kayak gini. Aku bahkan tadi pagi sampai nyesel, loh, engga telepon untuk bangunin kamu."
"Hmm. Engga ada apa-apa, sih. Mungkin aku cuma kecapekan aja karena semalam begadang untuk nyiapin presentasi ini." Binar berbohong sekenanya.
"Berarti lain kali kamu kalau ada kayak gini lagi, jangan begadang kalau besoknya presentasi."
Binar mengangguk sambil tersenyum.
Di saat yang sama, ponselnya yang tersimpan di atas meja mulai bergetar. Seseorang meneleponnya dengan nomor yang sama sekali tidak Binar kenali. Senyum tersebut seketika lenyap tak bersisa. Hanya ada satu orang yang ketika itu juga langsung memenuhi pikiran wanita tersebut. Dan dia berharap, bahwa kali ini pikirannya tidak sesuai dengan kenyataan.