Meskipun jalanan Kota Jakarta cukup padat, Binar beruntung untuk bisa tiba tepat lima menit sebelum dirinya dinyatakan datang terlambat. Ketika datang, seperti biasa ada seorang security yang menyambut dengan sekedar senyum tipis. Terus saja berjalan melewati pintu kaca besar yang terbuka secara otomatis. Resepsionis tampak mulai melayani beberapa tamu, padahal jam kerjanya belum terhitung hingga setidaknya tiga menit lagi.
Ruangan yang kemudian Binar lewati tergolong cukup luas dan rapi. Ada beberapa pasang sofa yang biasa digunakan oleh para tamu untuk duduk menunggu. Setengahnya terisi oleh pria atau wanita yang sudah datang dari setengah jam lalu. Sebagian besar tamu memiliki wajah yang tidak begitu asing karena memang sudah sering datang ke sana. Ada juga beberapa orang yang baru pertama Binar lihat. Baik itu orang-orang yang memang datang untuk keperluan bisnis, atau para pelamar pekerjaan.
Tanpa begitu banyak memperhatikan, wanita dengan setelan biru langit itu terus saja melangkah dengan teratur. Berhenti tepat di depan pintu lift dan menunggu dengan tidak sabar. Sekali lagi memeriksa jam tangan yang dia kenakan.
"Mau kamu lihat jam sampai seratus kali sekalipun, tetap aja liftnya engga akan turun lebih cepat."
Suara yang baru saja terdengar itu sudah sangat familier. Tanpa perlu menoleh, sebenarnya Binar tahu siapa yang baru saja bicara. Hanya saja demi bersikap sopan, tetap saja wanita itu menoleh. "Selamat pagi juga untukmu, tuan menyebalkan," ungkapnya dengan nada sesinis mungkin.
"Jadi, sekarang julukanku berubah lagi?"
"Dari dulu kamu engga punya nama tetap."
Pria itu justru tertawa. "Padahal ini masih pagi, loh, Binar. Tapi, kamu udah marah-marah."
Binar tidak ikut tertawa. "Lagian kamu ada-ada aja! Aku udah hampir telat untuk meeting, tapi malah kamu ledek."
Mendengar ucapan wanita itu yang sedikit melunak, sang pria dengan kemeja abu-abu itu mendekatkan kepalanya ke arah Binar. "Padahal kemarin sore aku udah ingetin kamu, loh, tentang meeting hari ini."
"Aku juga engga ada rencana ketiduran, Farhan. Cuma mata aku aja engga mau kerja sama." Bukannya membaik, raut wajah sang wanita justru terlihat semakin kesal. Dengan tangan kirinya Binar menjauhkan wajah pria itu. "Udah, kamu geser jauh-jauh aja sana! Jangan bikin aku tambah kesal!"
Sebelum pria bernama Farhan itu sempat menjawab, seorang wanita muncul di belakang mereka. Rambutnya pendek bergelombang dan tertata rapi. Dia mengenakan setelan putih dari atas hingga ke bawah. Bahkan sepatunya pun putih dan tampak mahal. Tanpa diminta, wanita itu ikut menimpali kedua orang yang ada di hadapannya. "Duh duh duh! Ini masih pagi, tapi kalian udah main dorong-dorongan aja! Habis ngeributin apa, sih?"
Binar dan Farhan menoleh di saat yang hampir bersamaan, lalu sama-sama tersenyum. Senyuman yang sama-sama dipaksakan.
"Pagi, Bu Dita," ucap Farhan lebih dulu.
Hampir sebelum kalimat Farhan berhenti, Binar juga ikut berkata, "Pagi, Bu."
Dita adalah seorang wanita yang umurnya hanya terpaut dua tahun lebih tua daripada Binar. Namun, karena dia sudah lebih dulu bergabung di perusahaan tersebut, Dita sudah berhasil memegang posisi satu tingkat di atas Binar.
"Data yang saya minta kemarin udah siap, ya, Binar?"
"Sudah, Bu. Nanti tinggal presentasi saja."
"Tapi, bukannya kemarin saya minta supaya datanya disiapin lima belas menit sebelum meeting dimulai?"
Senyum yang Binar paksakan di wajahnya menjadi semakin ciut. "Iya, Bu. Maaf …. Saya …."
Sebuah bunyi kecil yang menandakan bahwa lift sudah terbuka berhasil memotong kalimat yang tidak secara penuh Binar sampaikan. Jika menjawab jujur kalau dirinya kesiangan, semua urusan akan menjadi semakin rumit. Dia juga belum berhasil memikirkan alasan lain untuk menutupi kedatangannya yang tidak sesuai perintah. Dan pintu lift yang terbuka baru saja menjadi satu-satunya hal baik yang dia rasakan pagi ini.
Tanpa memedulikan bahwa Binar dan Farhan sudah lebih dulu berada di sana, Dita lebih dulu berjalan masuk ke dalam lift. Tidak sedikit pun mengindahkan apa yang sebelumnya akan Binar ucapkan. Walau hal itu sebenarnya menguntungkan untuk Binar, tetapi tetap saja rasanya menyebalkan melihat wanita tersebut melakukan segala sesuatu seenaknya. Kabar baiknya, sang wanita berpakaian blus biru langit tersebut mampu mengontrol emosi dengan cukup baik. Dia ikut melangkah masuk ke dalam lift, disusul oleh Farhan yang kemudian menekan lantai tujuan kedua wanita tersebut. Lalu menekan satu tombol lagi, yang berada dua lantai lebih tinggi.
Selama lift berangsur naik, suasana di dalam sana terasa bagai padang ilalang yang sudah lama tidak diguyur hujan. Dengan begitu jelas Dita menunjukkan rasa tidak inginnya untuk berbicara. Sementara Binar memutuskan untuk ikut diam karena keadaan tidak memungkinkan untuk kembali melanjutkan perbincangan dengan Farhan.
Akhirnya lift kembali berdenting, disusul pintu yang terbuka perlahan. Binar ikut menyusul turun beberapa langkah di belakang Dita. Namun, sebelum pintu lift kembali tertutup, wanita itu menoleh dan menyunggingkan senyum yang sebelumnya dia sembunyikan. Lalu bicara dalam suara yang lebih terdengar seperti bisikan, "Nanti aku kabari lagi, ya."
Melihatnya, Farhan ikut tersenyum. "Iya, Sayang. Sukses, ya, presentasinya!"
Sebelum pintu lift benar-benar tertutup, pria itu juga sempat melambaikan tangan. Namun, sepertinya Binar sudah sepenuhnya berbalik dan tidak melihat gerakan tersebut. Tidak masalah memang, karena hal-hal kecil seperti itu tidak pernah menjadi sesuatu yang mereka perdebatkan. Meski sudah berpacaran selama satu tahun lebih, mereka selalu menganggap hal-hal kecil seperti itu tidak begitu berarti. Selama mereka saling memiliki, itu terasa lebih dari cukup.
Namun, sebenarnya ada satu hal yang Farhan tidak pernah benar-benar tahu. Selama ini dia selalu menganggap bahwa Binar adalah miliknya seorang. Tanpa pernah sedetik pun terlintas dalam benaknya, atas apa yang sering kali kekasihnya lakukan tanpa dia ketahui. Tanpa pernah Farhan tahu, bahwa Binar tidak pernah benar-benar menjadi miliknya seorang.