webnovel

«1» Berlibur ke Desa

Ellen duduk di antara baju-baju yang berserakan di atas kasur. Tangan kecilnya cekatan menumpuk baju merah dengan rok hitam selutut, disusul baju putih dengan celana kain abu-abu, dan begitu seterusnya sampai mendapat tujuh pasang baju. Tujuh baju untuk tujuh hari menghabiskan liburan sekolah.

"Nah, sip. Tinggal masukin bajunya ke kopel." Bocah tujuh tahun yang masih cadal itu berbicara pada dirinya sendiri. Secepat kilat, semua bajunya sudah tertata di koper biru. Tidak lupa juga dia memasukkan boneka-boneka, satu set bola bekel, dan tali skippt untuk lompat tali.

Melihat isi kopernya masih longgar, dia bergumam, "Diisi apa lagi, ya?" Jari telunjuk mengetuk-ngetuk dagunya, membantu anak itu berpikir. Tidak butuh waktu lama untuk mendapat barang yang akan dibawa.

Dia bangkit dari duduknya dengan energi berlebihan. Dari atas dipan, anak hiperaktif itu melompat ke lantai. Kaki kecilnya yang kuat dilantamkan di setiap langkah, meski hanya untuk mengambil tali rambut, jepit, dan bando. Padahal, semua pihak keluarga tahu, anak tomboy itu tidak akan betah mengenakan riasan apapun di kepala. Baru lima belas menit bertengger di rambut, pasti pernak-pernik cantik itu akan dilepas dari kepalanya.

"El?" sapa Bunda di daun pintu. Perempuan paruh baya berjalan mendekat, melewati pintu yang tidak pernah ditutup. Begitu melihat isi koper, dia terkejut. Tumpukan baju yang sama sekali tidak rapi, mainan yang diselip-selipkan, hingga riasan rambut yang akan dimasukkan, juga entah apa lagi yang akan ditambahkan, membuatnya mengulas senyum.

Sela-sela jari Bunda menyisir lembut rambut Ellen. Sembari itu, Bunda menanyakan alasan anaknya membawa masing-masing benda itu. Lalu, mulai mengajarinya apa saja yang tidak perlu dibawa dan apa saja yang perlu ditambahkan saat berpergian, pun cara menata barang yang rapi dalam koper.

Ellen kembali mengemas sabun mandi, sikat gigi, dan odolnya ke poket anti air. Sat, set, sat, set. Kopernya sudah penuh sekarang. Ellen menutup resleting koper dan tersenyum lebar. Pagi itu, dia telah menyelesaikan satu tantangan menyenangkan dari Bunda: menata sendiri barang bawaannya.

Sejoli anak dan bunda itu pergi ke dapur, mempersiapkan bekal, oleh-oleh, dan barang lain yang perlu dibawa nanti. Jadi, begitu tengah hari, mereka sudah siap berangkat.

Di balik kaca mobil, Ellen menatap pohon-pohon yang menjulang tinggi. Gelap malam menyelimuti hutan ini. Tidak ada lampu jalan. Hanya sinar rembulan dan lampu depan mobil saja yang menerangi perjalanan mereka.

"Bunda, lumah Nenek masih jauh?" tanya Ellen sembari berpegangan pada dinding pintu karena mobil yang bergetar. Jalanan yang mereka lewati sudah tidak lagi beraspal, melainkan batuan-batuan kecil yang disatukan agar tidak tumbuh rumput di sepanjang jalan.

"Enggak. Itu, sudah kelihatan." Bunda menunjuk satu rumah di ujung jalan. Kini, laju mobil melambat. Begitu selesai diparkir, mereka beringsut turun dari mobil.

Entah dari mana, sekumpulan anak kecil berlari ketakutan. Mereka semua terlihat seumuran dengan Ellen. Ellen yang tidak tahu mereka, dan tidak tahu apa yang terjadi, sontak menghakimi, "Dasar aneh!"

Salah satu dari gerombolan anak kecil itu berlari ke rumah Nenek. Ellen mengenalnya. Namanya Ani. Dia saudara sepupu yang hanya beda setahun di bawah Ellen. Begitu sampai, perempuan itu langsung menggenggam erat tangan Ellen sambil mengatur napas. Penasaran, Ellen langsung menjejalnya dengan pertanyaan, "Emang ada apa, sih?"