Kami berjalan ke atas menggunakan eskalator dan mengantri lama sekali, aku memakluminya karena hari ini adalah hari minggu, mungkin saja banyak orang yang ingin berpergian atau sekedar refreshing atau bahkan mencari bahan untuk tugas seperti kami bertiga.
Srek
Pintu kereta terbuka otomatis.
"Kereta dengan tujuan Kota Troya akan segera berangkat, pastikan anda membawa tiket dan barang-barang anda, duduklah di kursi yang telah disediakan, selamat menikmati perjalanan anda, keselamatan adalah hal yang paling utama."
Kami berbaris dengan tertib mengikuti penumpang lain, tidak sampai 5 menit kami bertiga sudah masuk kedalam kereta. "Disini, disini." Eli mengajakku untuk duduk dekat dengannya bersama Henry. Aku mengikutinya, Kami bertiga duduk dekat dengan pintu keluar. "Kau baik baik saja?" Eli menanyakannya lagi. Aku mengangguk.
Srek
Pintu kereta tertutup.
"Kereta akan berangkat dalam hitungan 1…2….3…"
Hush
Kereta pun meluncur. Awalnya pelan namun ketika sudah melewati stasiun, kereta mulai melaju lebih cepat, dari sini aku bisa melihat keramaian kota , jam besar di tengah kota, mobil terbang, polisi yang sedang bertugas, gedung yang tinggi, gedung warna warni dan tentu saja robot. Mereka terlihat kecil, Kereta mengantung ini berbelok ke kanan, aku melihat sekolahku. Kereta berbelok lagi, itu adalah taman dengan pohon yang rindang dan semak belukar yang hijau, kali ini kereta sedang melaju di jalan yang lurus. Aku melihat kincir angin berjajar rapi. 'Menyenangkan', itulah yang ada dalam pikiranku. Aku terus mendengar Henry dan Eli bercerita, sesekali melihat keluar jendela. Kali ini Henry menceritakan bagaimana ia mendapatkan hukuman karena terlambat masuk ke sekolah, ia telat karena sarapan yang dibuat ibunya terlalu enak sampai sampai tak sadar Henry sudah memakan semuanya, ia kekeyangan dan akhirnya tertidur, untung saja aku menelponnya. Aku tertawa. Namun itu tak berlangsung lama.
Aku mulai merasa mual sekaligus pusing. Jantungku kembali berdegub kencang padahal ini masih setengah perjalanan. Aku menahan mulutku menggunakan tangan kananku. Aku mengingatnya. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk tidak mengingatnya.
Darah,
Pistol,
Tangan,
Kepala.
Aku benar benar mengingat kejadian itu. Keringat dingin mulai mengalir.
"A-Aku ingin kekamar mandi, sebentar." Sepertinya mereka tau aku sudah tidak bisa menahannya. "Bawa ini." Eli menyodorkanku botol kecil. Botol ini berisi semacam cairan penghangat, Eli selalu membawanya.
"Terima kasih." Aku mengambilnya.
"Aku akan mengantarmu." Henry menopang tubuhku. "Maaf merepotkanmu." Henry menggelengkan kepalanya. "Sudahlah. Ayo." Henry membawaku ke depan pintu kamar mandi.
"Aku akan menunggu di kursi bersama Eli, jika kau butuh sesuatu telepon atau kirim pesan saja oke." Aku hanya mengangguk.
Aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak bisa menahannya lagi, aku mengunci diriku disalah satu toilet, aku memuntahkannya. Aku memuntahkan sarapan omeletku. Keringat mulai mengalir, nafasku menjadi tak beraturan. Aku melihat diriku di depan cermin, pucat pasi. Aku kembali memuntahkannya, memuntahkan apa saja yang kumakan tadi pagi bahkan kemarin malam. Kloset itu membersihkannya otomatis, berputar kebawah dan mengganti air yang sudah ada dengan yang baru, aku mengambil tisu dan mengelap mulutku. Aku kembali mual, aku mengingatnya kembali. Darah itu darah yang keluar tepat di depan mataku, keringat mulai membasahi tubuhku, ingatanku tentang hari itu terus saja menghantui.
Aku mengingatnya kembali.
Waktu itu aku masih berumur sekitar 7 tahun, aku dan kakakku pergi ke kota Troya untuk membeli bahan makanan dan alat masak yang baru, kebetulan disana ada potongan harga yang lumayan besar. Kakek dan nenek tinggal di rumah, nenek menyarankan aku untuk ikut bersama kedua kakakku, kakek pun menyetujuinya. Aku pun ikut bersama kedua kakakku, awalnya perjalanan kami berjalan normal saja, aku menikmatinya, kami bertiga sampai di kota Troya dengan selamat dan ketika kami siap untuk pulang kembali ke rumah, ketika masuk ke dalam kereta. Semuanya berubah. Seharusnya aku menolak untuk ikut. Aku menyesalinya. Namun itu sudah terlambat.
Pintu kereta tertutup, aku duduk di tengah kedua kakakku, 5 menit berjalan normal 6 menit seterusnya lampu darurat mulai menyala di dalam kereta.
"Perhatian, kepada seluruh penumpang diharapkan tenang, jangan bertindak gegab—" Suara itu terpotong diganti dengan suara tembakan yang sangat keras
Ting!
Peluru itu seakan terpantul. Penumpang mulai panik, tak terkecuali kakakku, mereka memelukku dengan erat.
"A-ada apa ini?" "Apa yang terjadi!?" "Aku harus menghubungi polisi." "To-tolong aku!" Kericuhan mulai membuat suasana di dalam kereta menjadi tidak terkendali. Aku hanya bisu terdiam.
Srek
Pintu kereta di ujung dekat masinis terbuka. Semuanya diam.
Aku tidak pernah melupakan wajah itu, 3 orang pria bertubuh besar memasuki gerbong penumpang, sialnya gerbong itulah dimana aku dan kakakku berada. Mereka perampok. Mereka bertiga berjalan perlahan sambil menodongkan pistol kepada para penumpang. Aku takut. "Rio, tenang saja, kakak disini." Kak Diana memelukku dengan erat.
"Hahaha, kalian semua cepat keluarkan dompet kalian, kalau tidak aku akan membunuh kalian semua!! Ingat! Jangan ada yang menghubungi polisi atau siapapun, kalau kalian ingin tetap hidup." kata kata itu terdengar dari salah satu perampok. Sepertinya itu pemimpinnya, aku melihat sekilas.
"Apa kalian mendengarnya!!?" Pria satunya lagi mulai memaksa seorang gadis melepaskan tas miliknya, gadis itu memberontak. "Ti-tidak." Perampok itu terus memaksanya.
Krek,
Duar!
Waktu lebih lambat ketika aku mendengar suara tembakkan itu, aku melihat jelas dengan mataku, semuanya terkejut. Aku melihat pria yang satunya lagi menembak tepat di kepala gadis itu, darahnya keluar membasahi jendela dan kursi disekitarnya, gadis itu ambruk dengan kepala penuh darah, pria itu seperti menikmatinya, ia terlihat menjilat darah yang berceceran di dekat mulutnya, kejam. Semua penumpang menjerit. Napasku berhenti. Jantungku terpompa cepat. Aku ketakutan. Aku menangis.
Duar!
Pemimpin yang memakai baju merah dengan ikat kepala hitam di dahinya itu kembali menembakkan pistolnya, kali ini ia menembak robot yang berada didekatnya, robot itu terkapar tak berdaya, ucapan yang terakhir aku dengar adalah "E-e-e-Error, IM123 error, e-rror,." dan akhirnya robot itu berhenti bergerak. Tangisanku tak berhenti. Kedua kakakku mencoba untuk tetap tegar, mereka mendekapku lebih erat, menutup kepalaku, air mataku membasahi baju Kak Diana. Kak Allie mendekapku di sisi lainnya, Kak Allie tak sekuat Kak Diana, ia menangis pelan, jantungnya berdetak lebih kencang, aku dapat merasakannya karena ia memelukku begitu erat. Penumpang lainnya histeris, tak ada seorangpun yang berani menghubungi polisi, mereka semua ketakutan. Takut akan kematian.
"SEMUANYA DIAM!" Ia seperti memberi peringatan kepada kita semua.
Kami semua perlahan berhenti menjerit, semuanya hanya ingin selamat. Akhirnya satu per satu mulai tenang dan satu per satu perampok itu mulai mendekati kami semua untuk memberikan dompet dan barang berharga lainnya, tidak ada yang melawan. Pemimpin berbaju merah itu mendekati kami bertiga. "Serahkan dompetmu, cepat!" Ia mengatakannya dengan nada memaksa. Kak Diana menyerahkan dompet miliknya. "Bagus." ia tersenyum licik. Aku hanya bisa melihatnya sekilas, tubuhku gemetar, aku hanya terisak ketakutan. Ketakutanku bertambah, perampok itu memegang tanganku dan menyeretnya keluar dari kedua kakakku.