webnovel

Love Mare

Love Mare, Love and Nightmare. Love is never a nightmare. Nightmare never relates to love. Pasalnya, malam itu, Suzumi Yukiko membuktikan bahwa kisah cintanya menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya, menjadi satu-satunya unsur minus dalam hidupnya yang hampir sempurna. Di malam ketika Ryoma Ayato ㅡkekasihnyaㅡ melamarnya, di malam itu juga, ia harus berjuang sendiri untuk mencapai epilog bahagia bagi kisah cintanya, sekaligus hidupnya.

Seasonal_Girls · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
10 Chs

Chapter 6

Lagi dan lagi, aku sampai di rumah ini. Rumah Ayato. Rumah megah nan minimalis yang dulu menjadi salah satu tempat favoritku kini menjadi seperti rumah hantu bagiku. Dengan kantung plastik berisi kopi dan susu coklat, aku menyentuh knop pintu itu.

Suara pecahan kaca terdengar. Aku sadar ini adalah mimpi, mimpi buruk yang sudah menghantuiku selama seminggu ini. Aku sadar se-sadar-sadarnya bahwa ini mimpi. Tapi, ketika aku ada di sini, semuanya masih terasa nyata dan membekas.

Tanganku bergetar dan air mataku kembali jatuh. Tidak bisakah aku pergi? Aku tidak mau melihat kejadian ini lagi. Adegan di mana Ayato dibunuh oleh pamannya, kemudian rumah akan meledak. Kejadian ini menyiksaku.

Layaknya orang bodoh, aku tetap membuka pintu itu. Dan lagi, aku meneriakkan nama Ayato.

"AYATO!"

Lagi, semuanya terulang. Ayato yang mencoba melindungiku sambil menyuruhku pergi. Ditikam, dan aku sampai lagi di saat Ayato menyuruhku untuk pergi.

Lagi, aku mendengarkan Ayato mengatakan ia mencintaiku dan kata-kata ini justru menyakitiku sekarang.

Aku bangkit berdiri, aku tidak ingin melihat adegan di mana Ayato menembak tabung gas itu. Namun, ketika aku siap berlari, kakiku ditarik tiba-tiba hingga aku terjatuh.

"ARGH!" erangku. Aku melihat ke belakang dan berteriak semakin histeris melihat kakiku ditarik oleh tangan yang berlumuran darah.

"Yuu...kiihh..."

Aku bergidik ngeri ketika pemilik tangan itu mendongak dan melihatku. Perawakan dan suaranya terdengar seperti Ayato, tetapi, yang ini sangat mengerikan. Suaranya seperti tersendat, separuh merintih. Wajah dan seluruh tubuhnya berdarah, bahkan aku tak bisa mendeskripsikannya.

"LEPASKAN AKU!" teriakku skeptis.

"Yu.. kih...."

"Yuki...ko..."

"AAAA!"

Kini, dua orang lainnya, sepasang laki-laki dan  perempuan yang sepertinya adalah orang tua Yukiko ikut menggenggam pergelangan kakiku.

"Yukiko... seh-lamatkan.. kamii.."

"AKU TIDAK BISA!!"

"Selamat...kan kamih...."

Ketiganya menarikku kuat, hingga aku sama sekali tak bisa kabur.

"AAAAAAAAAAAAAAA!!!"

"AAAA!!!"

Aku langsung terduduk. Aku mengusap wajahku. Aku bahkan benar-benar menangis. Seluruh tubuhku basah dengan keringat dingin.

Mimpi mengerikan macam apa ini. Bahkan, butuh waktu berjam-jam bagiku untuk menenangkan diri setelah nenek itu memberitahuku. Sekarang, aku akan dihantui setiap hari?

Semesta tidak lagi sedang bercanda denganku, semesta sedang mempermainkanku.

Aku berjalan gontai ke toilet kamarku untuk mencuci wajahku yang benar-benar basah oleh keringat kemudian mengganti piyamaku.

Berusaha tidur, aku berbaring dan menutup mataku, mencoba menghilangkan sisa bayang-bayang dari mimpi tadi.

***

Pada akhirnya aku tidak bisa tidur lagi setelah terbangun dari pukul 3 malam. Aku beranjak bangun dan langsung mandi pada pukul setengah enam pagi. Setelah mengenakan seragam dan mempersiapkan barang-barang seperti buku, aku turun ke bawah dan bahkan sempat membuatkan sarapan untuk kedua orang tuaku.

Ibuku bahkan terheran-heran. Aku tidak pernah bangun sepagi itu. Setelah sarapan, aku langsung ke sekolah.

Aku tersenyum sekenanya kepada beberapa orang yang mengenalku, hanya agar aku masih terkesan ramah. Meski tersenyum pun rasanya menyebalkan bagiku sekarang mengingat kondisi hatiku yang porak-poranda.

Sesampainya aku di kelas, aku langsung menghampiri kursiku dan menyadari bahwa Hatsumi belum datang. Tumben sekali, aku datang lebih awal daripada Hatsumi.

Tidak ada yang bisa kulakukan, jadi aku mengeluarkan buku catatanku hanya untuk berhenti dan terdiam, menyadari bahwa aku tidak tahu harus menyalin catatan siapa. Biasanya bila aku sakit, Hatsumi akan selalu ke rumahku, melihat keadaanku dan meminjamkan catatannya. Ada kalanya ia bahkan menemaniku (bila sakitku parah) dan menyalinkan catatanku.

Tapi, sepertinya perbuatanku fatal, Hatsumi memang membantuku membereskan benda-benda di tas yang harus kubawa pulang dan membantu menjelaskan kepada ayahku apa yang terjadi padaku. Namun, ia sama sekali tidak ke rumahku, tidak seperti biasanya.

Lamunanku dibuyarkan oleh bunyi kaki kursi dan lantai keramik di samping kananku. Hatsumi bahkan tidak menyapaku dan langsung saja duduk.

"Pagi, Hatㅡ"

Hatiku mencelos saat Hatsumi melipat tangannya di atas meja dan langsung membenamkan wajahnya di lipatan tangannya. Tanda bahwa ia tak mau bicara denganku.

Aku menggigit bibirku sementara kedua jariku bertautan. Se-fatal itukah kesalahanku? Apakah aku benar-benar harus memberitahunya?

Tidak, aku tidak mau gegabah. Aku harus berpikir matang-matang, aku tidak mau apa yang menimpaku mencelakakan Hatsumi. Jadilah, aku beralih ke teman sekelas yang duduk di depanku dan akhirnya memberanikan diri untuk menepuk bahunya.

"Miura.." Aku menepuk bahu gadis berambut pendek yang sepertinya tampak tertidur itu.

"Ya?" tanyanya sembari mengucek matanya.

"Ehm... apakah aku boleh meminjam semua catatanmu untuk pelajaran kemarin? Aku tidak mengikuti pelajaran karena sakit dan harus pulang."

"Maaf, Suzuki, aku tertidur di semua pelajaran dan tidak mencatat apapun."

Kemudian, ia langsung berbalik dan kembali tidur.

Baik, ini salahku. Mengapa juga aku meminjam catatan pada Miura Eri yang jelas selalu tidur?

Pandanganku kembali mengedar dan kali ini berhenti di Ikeda Takeo yang tempat duduknya terlampau dua kursi di depan Hatsumi. Aku tidak pernah berbicara dengannya, tapi dari penampilannya, seharusnya ia anak rajin, 'kan?

"Ikeda!" panggilku.

Ia berbalik sejenak dan menatapku terkejut, seolah ia baru saja dipanggil malaikat pencabut nyawa.

"Y-Ya, Suzumi?"

"Apakah aku boleh meminjam semua catatan pelajaranmu kemarin?"

"H-Huh catatan..ku? Yaㅡ YA! Tentu saja boleh!" jawabnya gugup.

Ada apa, sih, dengannya?

Dengan tangan yang bergetar pula, ia mengambil beberapa buku yang ada di lacinya kemudian menyerahkannya kepadaku.

"Terima kasih." Aku tersenyum ramah dan ia mengangguk singkat lalu langsung berbalik.

Aneh, tapi akan kumaafkan karena ia baikㅡ maaf, aku ralat. Oke, lagi-lagi ini salahku. Kenapa aku tidak meminjam dari perempuan saja? Sekarang, bagaimana aku akan menyalin bila membaca tulisannya pun mataku sudah berteriak menyerah.

Catatannya memang terlihat lengkap, tapi bagaimana aku akan menyalin tulisan yang lebih mirip cacing tanah ini? Oke, Suzumi Yukiko, pertajam penglihatanmu. Kau bisa, kau bisa.

Maka, aku membenarkan jepit rambutku yang tadi tergantung di ujung rambutku, menyisir naik poniku dan menjepitnya.

Aish, tapi tetap saja, mau bagaimana pun, tulisan-tulisan ini terlalu menyakitkan bagi mataku.

Plak!

Aku terkejut setengah mati ketika ada buku catatan A5 berwarna merah muda yang tak asing bagiku dilempar begitu saja ke depanku. Itu jelas buku Hatsumi.

Gadis itu kemudian mengeluarkan beberapa buku lainnya dan menaruhnya dengan bunyi keras di mejaku, dengan wajah yang sama sekali tidak mau melihatku. Hatsumi berdiri dan langsung melenggang pergi.

Bahkan, Ikeda Takeo kini melihatku terkejut dan kebingungan. Aku menatapnya kembali kemudian mengambil buku catatan miliknya dan mengembalikannya.

"Terima kasih, aku akan menggunakan milik Hatsumi saja." ucapku berusaha sopan.

Aku membuka buku catatan itu dan menghela napas. Aku tahu Hatsumi marah padaku, sangat. Dan, mengapa kebaikannya sekarang justru menyakitiku?

***

Bunyi bel yang berbunyi menyadarkanku bahwa jam pelajaran telah berakhir. Tanganku berhenti menulis dan aku mengedip beberapa kali. Pikiranku memang benar-benar menakutkan. Sedari tadi, aku yang biasanya mencoba aktif di kelas ㅡmeski aku bukan termasuk murid yang sangat geniusㅡ bahkan diam saja. Yang kulakukan hanyalah mencatat apapun yang dikatakan oleh guru. Aku benar-benar tertelan oleh pikiranku sendiri.

Aku menoleh ke samping dan Hatsumi sudah melenggang pergi sendirian. Aku menghela napas dan akhirnya meninggalkan tempat dudukku menuju kantin.

Tidak ada Hatsumi di sini, mungkin ia memakan bekalnya di suatu tempat. Hariku benar-benar hampa tanpanya. Aku menghela napas sekali lagi kemudian berjalan menuju pojok kantin untuk mengambil nampan.

Gubrak!!

Aku mengedip beberapa kali untuk menyadari apa yang terjadi. Rasa perih tiba-tiba terasa bersamaan dengan suara tawa histeris dari tiga perempuan.

"Duh... sayang sekali dia belum mengambil nampan. Kalau saja ia jatuh dengan makanan, huhh... sempurna!"

Aku mengenal suara itu. Sakai Rin. Sialan. Ternyata, ia menjebakku dengan kakinya agar aku tersandung dan jatuh.

"Senior-senior yang tampan, apakah tidak ada yang mau membantu gadis manis ini?"

Aku menghela napas keras-keras dan beranjak berdiri sendiri. Aku bahkan tak punya tenaga lagi untuk berdebat dengannya.

Aku menepuk seragam sekolahku, menyingkirkan debu yang ada dan beranjak pergi dari kantin.

***

"Psst! Psst! Ayato!"

Aku melirik anak tengil yang duduk di sebelah kiriku itu. Apa maunya? Aku menatap Eiji dengan sebelah alisku yang terangkat, mengisyaratkan 'apa?'.

"Nomor 31!" bisiknya kepadaku.

Aku sudah tahu ia pasti memanggilku untuk meminta jawaban. Aku mengangkat bahu, menyatakan bahwa aku tidak tahu.

Padahal aku menyelesaikan soal itu dengan mudah.

Namun, Eiji belum menyerah. Kali ini, ia menendang tiang penyangga mejaku dan melotot, memaksaku memberikannya jawaban nomor 31. Lagi, aku mengangkat bahuku. Enak saja meminta jawaban.

Jadilah, saat ia menendang lagi tiang penyangga mejaku, aku menginjak kakinya kuat.

"Akh!!" erangnya kesakitan separuh terkejut.

"Ryoma, Hasegawa, ada apa?" tanya guru matematika yang tampak langsung mengarahkan pandangannya pada kami.

"Ah, tidakㅡ"

"Ia meminta jawaban kepadaku, Guru." aduku jujur.

"Kauㅡ Tidak, Guru. Ayato mengada-ada."

Guru perempuan itu menatapku dan Eiji bergantian, seakan mempertimbangkan siapa di antara kami yang mengatakan kebenaran.

"Ia tadi memaksaku memberikan jawaban nomor 31, bahkan menendang  tiang penyangga mejaku dua kali. Maka dari itu aku menginjak kakinya."

"Aku tidakㅡ"

"Benarkah itu, Hasegawa?"

Eiji tampak masih ingin memberontak namun, seakan tahu semua orang pada akhirnya akan mempercayaiku, ia menyerah dan mengangguk lemas.

"Hasegawa, saat jam istirahat, datang ke ruangan saya untuk menulis laporan sebanyak dua puluh halaman."

Eiji mendesis dan melotot padaku. "Sialan." umpatnya.

"Hasegawa!"

"Ah, maaf, Guru. Saya tidak sengaja!"

"Tiga puluh halaman karena kamu mengumpat."

Aku menahan senyum kemenanganku. Siapa suruh menyontek padaku?

Saat jam istirahat, Eiji menggerutu sembari berjalan menghentak-hentak keluar kelas sambil sesekali menatapku tajam. Sementara aku hanya menertawakannya dalam hati.

Aku berpikir sejenak, haruskah aku ke kantin sendirian? Ah, sepertinya tidak, akan banyak perempuan yang mengerubungi dan menggangguku nantinya tanpa Eiji. Lagipula, Eiji pasti akan menyelesaikan laporannya lima menit sebelum istirahat berakhir. Dan, lima menit itu akan ia habiskan untuk mengomeliku bila aku menetap di kelas.

Baiklah, mari makan di rooftop sekolah yang selalu sepi.

Aku merogoh tasku, mengeluarkan buku pelajaran sastra Jepang dan satu lunchbox ber-ornamen kayu yang disiapkan Ibu-ku. Kemudian, membawa dua barang itu, aku berlari ke rooftop.

Rooftop memang tak diragukan. Di sini, angin yang sepoi-sepoi membuat cuaca tidak panas. Tenang sekali.

Sambil melahap bekalku, aku membolak-balik halaman demi halaman buku sastra Jepang, menggarisi hal penting yang harus kupelajari ulang nantinya.

Aku benar-benar belajar dengan tenang selama beberapa saat, sampai aku dikejutkan oleh bunyi pintu yang dibuka kuat-kuat. Pintu besi yang merupakan satu-satunya akses untuk ke rooftop kini terbuka lebar dan menunjukkan sesosok gadis yang keluar dari sana.

Suzumi Yukiko?

Aish, kenapa gadis ini lagi? Tidak bisakah aku tenang darinya?

Gadis itu membanting pintu besi tersebut dan berjalan dengan amarah yang kentara sekali. Untuk sejenak, aku bahkan berhenti menghabiskan bekalku dan menatap gadis itu.

Kupikir ia akan menghampiriku dan entahlah... menggangguku? Namun, ia sepertinya bahkan tidak menoleh ke sana kemari, yang berarti ia tidak menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya di sini.

Ia berjongkok kemudian menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Terus begitu hingga beberapa waktu. Barulah aku menyadari bahwa penampilannya cukup berantakan kali ini.

Ia... sedang kesulitan?

Aish, kenapa juga aku peduli? Dengan sumpit di tangan kananku, aku mengibaskannya di depan wajahku. Kemudian, aku fokus menghabiskan bekalku dan juga kembali membaca buku sastraku.

Ya, hanya sejenak sampai aku mendengarnya terisak.

Gadis itu terisak kuat sementara ia mulai menjatuhkan dirinya ke lantai, membiarkan tubuhnya terduduk. Ia menangis kuat-kuat, sesekali mengacak rambutnya.

Sungguh? Gadis yang kupikir kelewat ceria ini bisa menangis? Bahkan, saat ia sakit kemarin, ia tidak sehancur dan seberantakan ini?

Kali ini, aku benar-benar terdiam. Apakah ia benar-benar sedang kesulitan?

Seperti tersihir, aku berdiri dan melangkah. Namun, aku langsung tersadarkan. Apakah aku baru saja mau membantunya? Ya, bahkan aku sudah berpikir untuk bertanya apa yang terjadi padanya.

Aish, Ryoma Ayato, kau ini kenapa?