webnovel

Love Mare

Love Mare, Love and Nightmare. Love is never a nightmare. Nightmare never relates to love. Pasalnya, malam itu, Suzumi Yukiko membuktikan bahwa kisah cintanya menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya, menjadi satu-satunya unsur minus dalam hidupnya yang hampir sempurna. Di malam ketika Ryoma Ayato ㅡkekasihnyaㅡ melamarnya, di malam itu juga, ia harus berjuang sendiri untuk mencapai epilog bahagia bagi kisah cintanya, sekaligus hidupnya.

Seasonal_Girls · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
10 Chs

Chapter 2

"S-Syarat? Syarat apa?" Aku terbata, terlewat terkejut dengan tawaran yang tiba-tiba beliau berikan. Bodohnya, aku hampir langsung menyetujui, hanya karena mendengar nama Ayato. Aish, aku merindukan Ayato separah itu, huh?

"Oh, Nona merindukan Tuan Ayato separah itu? Anda hampir saja menerima tawaranku tanpa berpikir. Sederhana, syaratnya adalah nyawa Nona."

Aku terkejut kemudian terdiam. Nyawaku? Apakah maksud beliau aku menukarkan nyawaku untuk nyawa Ayato?

Nenek itu terkekeh. "Tidak ada poinnya bila aku hanya menukar nyawa Nona dan kekasih Nona."

"Eh?"

Nenek ini sedang membaca pikiranku?!

"Haha, aku iri melihat antusiasme-mu, Nona muda. Sudah lama sekali sejak aku seantusias dirimu. Aku tidak akan menukarkan nyawamu untuk membangkitkan kekasihmu, melainkan aku memberimu satu kesempatan lagi untuk mengubah jalan cerita hidupmu."

Mengubah jalan cerita hidupku? Aku menatap nenek ini skeptis, meyakinkan diri bahwa aku tak percaya pada perkataan beliau. Otak dan hatiku benar-benar sedang berdebat sengit. Tidak, Yukiko, mungkin nenek ini hanya meracau. Tidak, berhenti mempercayai omong kosong seperti ini, kau membuat dirimu sendiri gila.

Namun, aku tidak dapat bohong. Aku ingin kembali ke masa itu, aku merindukan Ayato. Aku tidak dapat berbohong bahwa aku ingin egois, aku masih menginginkannya bersamaku.

"Wajar bila kau meragukanku, Nona. Tidak ada orang waras yang akan mempercayaiku, aku mengerti. Tapi, sepertinya hatimu kali ini lebih mendominasi keputusanmu."

Aku menatapnya bingung, perkataannya benar.

"Baiklah, itu berarti kau setuju denganku, Nona. Aku akan mengabulkannya untukmu." Nenek itu berdiri, menatap ke arah luar.

"A-apa?! Aku tidak bilang aku setujuㅡ"

Angin berhembus kencang sekali, mengejutkanku, membuatku sontak melindungi tubuhku dari angin.

"T-Tunggu! Apa ini?!"

"Aku memutar waktumu agar kau kembali ke tahun 2013. Kau akan kembali menjadi murid SMA, di tahun pertamamu tepatnya." Nenek tua itu terlihat seperti memutar jam tua yang ia keluarkan dari sakunya.

Aish, apa-apaan ini?!

"Nek, Nek! Tunggu sebentar, apa yang harus kulakukan?!"

Nenek itu tersenyum hangat. "Buatlah akhir bahagia untuk kisah percintaanmu dan juga untuk kisah kehidupan Tuan Ayato. Kalian berdua harus mencapai akhir kisah yang bahagia. Kalian berdua pantas mendapatkannya."

Debu-debu berterbangan, membuatku reflek menutup mataku. Aku membuka paksa mataku, melihat Nenek itu masih tersenyum hangat kepadaku sebelum mataku kupejamkan sekali lagi.

Tok tok tok!

Aku cukup yakin aku hanya memejamkan mataku barang dua atau tiga detik, tapi kenapa rasanya tubuhku baru saja terbangun dari tidur selama hitungan jam?

Aku melayangkan pandanganku ke sekitar. Ah, ini kamarku. Sudah kuduga, semuanya halusinasi. Aku hanya bermimpi. Aku tersenyum miring, menertawakan diriku sendiri, bisa-bisanya aku percaya pada hal seperti itu. Aku memang sudah gila sampai mimpiku pun menjadi aneh.

"Yukiko!"

Aku membuka paksa kedua mataku, menatap jam dinding yang tidak jauh dariku. Setengah tujuh. Aku tidak perlu bangun pagi lagi. Toh, aku sudah lulus kuliah.

"Yukiko! Kau akan telat!"

Aku menghiraukan teriakan Ibuku. Apa yang telat? Aku sudah lulus kuliah dan aku ingat tidak ada interview kerja yang harus kuhadiri hari ini.

Ibu membuka paksa pintu kamarku.

"Hei, ini sudah setengah tujuh. Kau akan masuk pukul tujuh hari ini!" sergah Ibu.

Aku mengerutkan keningku. "Aku sudah lulus kuliah, Bu. Aku juga tidak ada interview kerja."

Ibu menjitak keningku. "Kau ini bicara apa? Segera mandi dan turun untuk sarapan pagi!"

Aku melihat kalender ponselku. 15 Juni 2013.

2013?!

Bahkan, kalendar meja belajarku pun menunjukkan tahun 2013. Bahkan, aku menggantung seragam SMA-ku di pegangan lemari. Aku tidak ingat menggantungnya semalam. Tidakkah itu kebiasaanku saat SMA?

Apa.. ini artinya aku benar-benar kembali ke 2013?

"Yukiko!!" teriak Ibu lagi.

Aish, aish, aku tidak punya waktu untuk berpikir lama-lama.

Aku mandi dan bersiap-siap seperti orang dikejar. Aku tidak percaya bahwa aku akan kembali ke masa ini, di mana aku harus bangun pagi, mandi dan buru-buru.

Aku turun ke bawah dan melihat ayah serta ibu sedang menyantap semangkuk Tamago Kake Gohan sembari berbincang.

(Tamago Kake Gohan= nasi yang dicampur dengan telur mentah, menu sarapan yang cukup populer di Jepang)

"Bawalah roti dan makan sepanjang perjalananmu, ini sudah tujuh kurang 10 menit." ucap Ibu, menyadari aku yang buru-buru.

"Aku pergi dulu, Ibu, Ayah!" Aku meraih sepotong roti berselai stroberi dan berlari ke sekolah. Untungnya aku tahu sebuah jalan pintas yang sering kulalui bila aku khawatir aku akan telat.

"Silahkan tutup gerbangnya." pinta guru konseling pada satpam sekolah.

Aku berlari sekuat tenaga hingga aku masuk ke dalam sekolah, tepat ketika pintu gerbang sekolah hampir tertutup. Aku bahkan bisa melihat satpam sempat menggeleng maklum melihatku.

Aku berhenti sejenak, beristirahat karena lelah berlari dan terkejut karena mendengar suara teriakan marah dari guru konseling.

"HASEGAWA! KAMU TERLAMBAT LAGI!!"

Tepat pada saat itu, seseorang mendarat ke tanah. Sepertinya ia baru saja melompati pagar. Ia menghela napas.

"Aduh, Pak, ini belum pukul tujuh pas. Ketika saya sampai di tanah, barulah tujuh pas. Saya sempat mengecek jam tangan, waktu saya melompat itu masih 6.59, Pak."

Guru konseling itu tampak menyerah dalam masalah berdebat mengenai waktu.

"Tapi, kamu kenapa melompati pagar? Kamu membuat saya terkejut, tahu tidak jantung saya hampir terkeluar dari tubuh saya karena terkejut."

"Pak, karena saya masih muda, maka saya menggunakan tenaga saya untuk melompati pagar begitu. Kalau Bapak, saya sarankan tidak, karena Bapak sudah tua. Maka dari itu, jangan banyak marah, Pak, agar Anda tidak menjadi tua. Saya sedih bila Bapak menjadi tua." jawabnya tidak nyambung.

"Pfft!" Aku tertawa oleh jawaban absurd-nya. Di situasi serius ini, seharusnya aku tidak tertawa. Bagaimana ini? Apalagi tampaknya ia adalah seniorku.

"Eh, wah! Selama ini jarang sekali aku melihat gadis, terutama yang manis dan cantik begini. Apakah kau terlambat juga?" tanyanya padaku dengan cengiran lebar.

"T-Tidak, senior. Aku tidak terlambat." balasku malu, dipuji di depan wajahku membuat aku sedikit merasa malu.

"Hasegawa! Kamu belum selesai dengan saya!" hardik guru itu.

"Ayo lari!" Pria itu menarikku sehingga aku mau tak mau ikut dengannya berlari ke dalam sekolah.

Rasanya aku kembali mengingat masa SMA-ku. Aku tidak menyangka bahwa aku pun merindukan masa-masa ini. Baiklah, bila aku membenci masa yang menyebalkan ini dulu, biarkan aku menikmatinya sekarang.

Pria itu melepaskanku setelah kami sampai di bagian gedung sekolah yang aman.

"A-Anu, senior..." panggilku.

"Ah, maafkan aku. Ke mana sopan santunku, astaga. Aku Hasegawa, Hasegawa Eiji." ucapnya cepat.

"EIJI?!" balasku terkejut. Eiji?! Sahabat Ayato?! Kenapa aku tidak menyadarinya?

"Oh, kau mengenalku? Kau anak kelas 1, bukan? Apakah aku seterkenal itu hingga kau langsung mengenalku?" Eiji menyisir rambutnya ke atas, menjawabku dengan gaya narsisnya. Ah, ini memanglah Eiji.

"Bukan begitu, aku sering sekali melihatmu terlambat dan mendengar guru memarahimu. Karena itu aku mengenalmu." jawabku, mengarang-ngarang alasan.

"Aish, malunya aku..."

Aku tertawa. Eiji tetaplah Eiji yang selalu membuat orang tertawa. "Senior, kau begitu lucu!"

Eiji menggaruk tengkuknya malu, jujur aku belum pernah melihatnya malu seperti ini. Diam-diam, aku bahkan sudah memberinya nama 'Eiji si Tak Tahu Malu'.

Aku tersadar. Bila aku benar-benar kembali ke masa lalu, maka ini berarti aku belum akrab dengan Eiji. Aish, bisa-bisa ia menganggapku tidak sopan

"Maaf, senior. Aku tidak bermaksud tertawa." Aku membungkuk padanya.

"Haㅡ Ya? Ah, tidak apa-apa." jawabnya tergagap.

"Senior, aku ijin pergi duluan, aku harus segera ke kelas. Dan, oh, ya! Aku Suzumi Yukiko, panggil saja aku Yukiko. Sampai jumpa, Senior!" Aku membungkuk sekali lagi.

"Y-Ya, bye-bye!" Eiji melambai dengan canggung.

Setibanya aku di kelas, seorang gadis berwajah lugu (sekaligus manis) dengan rambutnya yang panjang menghampiriku terburu-buru. Ekspresinya terlihat cemas sekali.

Aku tersenyum kepada diriku sendiri. Ini Hatsumi, sahabat karibku sejak SMP. Sepertinya aku terbiasa dengan rambutnya yang selalu ditata bergelombang selama kuliah, aku lupa bahwa rambutnya selalu lurus saat SMA.

"Yukiko!!! Apakah kamu terlambat?! Aku sudah meneleponmu berkali-kali sejak pagi tetapi kau tidak menjawabnya. Aku pikir ada yang terjadi denganmu di perjalanan. Atau kah kau bangun terlalu siang?!" Hatsumi mengomeliku.

Hatsumi memang lugu, tapi dia akan seram saat marah atau mengomel. Karenanya, aku percaya akan kata-kata 'jangan membuat orang sabar marah'.

"Maaf, Hatsumi. Aku bangun terlalu siang."

"Aish, baiklah. Untunglah kau tidak terlambat. Ayo duduk, guru akan datang sebentar lagi." Hatsumi menarikku duduk.

Guru Matematika datang, membuat beberapa murid mengeluh diam-diam.

"Selamat pagi, hari ini kita akan melanjutkan materi lagi. Silahkan buka buku kalian. Ah, sebentar, kita absen terlebih dahulu." ucap Guru itu.

Aku menatap jendela yang berada di sebelah kiriku, kebetulan mejaku berada di samping jendela. Aku melihat sekumpulan anak laki-laki lengkap dengan seragam olahraga mereka berlari antusias menuju lapangan.

Aku memandang kegiatan mereka dan berhenti pada satu lelaki berambut hitam pekat. Tubuhnya yang memang tinggi menarik perhatianku.

Bibir tipisnya yang membentuk garis tipis, hidung mancungnya, mata tajamnya dan rambutnya yang tertata seadanya.

Aku menangkup mulutku. Ia mirip sekali dengan Ayato. Jujur saja, aku tidak tahu apakah aku sedang ada di dunia mimpi atau apa, tapi bolehkah aku berharap bahwa ia Ayato?

Air mataku memaksa turun meski aku sudah mencoba menahannya. Ayato... Ayato-ku.

"Suzumi Yukiko!"

"Ah, hadir, Guru!" ucapku, sontak berdiri.

"Kau menangis? Ada apa? Apakah kau sedang tidak enak badan?" tanya Guru itu.

Oh, ya. Aku lupa aku sedang menangis.

"Tidak, Pak. Ada debu yang masuk ke mata saya." jawabku.

Guru itu mengangguk kemudian lanjut mengabsen murid lain.

"Psst!" bisik Hatsumi.

Aku menatap Hatsumi, ekspresinya seakan khawatir denganku.

"Yukiko, kau baik-baik saja?"

Aku tersenyum, wajah lugunya yang khawatir imut sekali. "Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, sedikit kelilipan."

Guru pun mulai menjelaskan materi. Tangan kananku memutar-mutar pensil sementara pikiranku melayang ke mana-mana.

Sejenak, aku menatap Ayato di bawah sana. Kemudian, aku melihat ke arah Hatsumi yang sibuk mencatat.

Haruskah aku bercerita kepada Hatsumi? Rasanya, aku pun tak akan bisa melakukan ini sendiri. Hatsumi sahabat terdekatku, sejak kami berteman, tak ada yang kami sembunyikan dari satu sama lain.

Bagaimana pun, cepat atau lambat, aku akan memberitahunya. Sengaja atau tidak sengaja.

***

Sungguh, aku bahkan terkejut setengah mati oleh bunyi bel sekolah yang menandakan bahwa jam pelajaran sudah berakhir. Aku terlalu larut dalam pikiranku.

Saat aku sadar, aku buru-buru berdiri untuk memberi salam pada Guru. Detik selanjutnya, Hatsumi langsung mengguncang-guncang tubuhku.

"Yukiko! Ayo ke kantin! Aku lapar!" rengeknya.

Aku terkekeh. "Iya, ayo."

Sembari memegang dompet, aku menatap menu yang dipajang.

"Bulgogi, bulgogi!!" Hatsumi berteriak antusias.

Mataku berbinar, aku sekarang ingat. Sekolah kami memang sering menyediakan bulgogi, salah satu menu Korea kesukaanku, dan Hatsumi.

Aku sering meminta Ibu memasakkannya, karena meski kebanyakan orang Jepang tidak terbiasa dengan rasa pedas, aku merupakan salah satu penggemarnya.

Aku dan Hatsumi memesan masing-masing satu mangkuk.

"Yukiko, Guru Matematika memberi tugas. Mau mengerjakannya bersama?" tanya Hatsumi antusias.

Aku bahkan tak mendengarkan bahwa Guru memberikan kami tugas. Lantas, aku mengangguk.

"Kita langsung saja ke rumahku setelah pulang sekolah." ajak Hatsumi.

Aku dan Hatsumi sibuk membicarakan berbagai macam topik, ada saja yang kami bicarakan. Rasanya sudah lama sekali sejak aku mengobrol seperti ini dengan Hatsumi.

Sejak tragedi yang menimpa Ayato, aku menutup diri dari Hatsumi dan Eiji, meski mereka berdua tetap berusaha selalu menemaniku. Aku berlagak baik-baik saja, dan menangis sepanjang hari saat sendirian.

"Ah, gadis cantik, kita bertemu lagi!"

Aku menoleh ke belakang saat mendengar guyonan itu.

Eiji?! Sejak kapan ia ada di sebelahku?

"Jangan bilang kau lupa pada wajah tampanku? Ckck, kakak senior kecewa padamu, Nona Suzumi." ucapnya sembari mendecak, pura-pura kecewa.

Aku bahkan belum sempat menjawab ketika lelaki itu menatap Hatsumi.

"Oh, apakah ini temanmu? Lucky! Ada 1 gadis cantik lagi! Baiklah, Senior memaafkanmu karena temanmu manis." sanggahnya. Oke, baiklah, terserah ia saja. Meski aku pun tak mengerti apa korelasinya Hatsumi yang cantik dan aku dimaafkan.

"Ayo. Sedang apa kau di sini?"

Aku menatap lelaki yang baru saja datang itu. Berambut hitam, tubuh tinggi, ekspresi datar...

"Tentu saja untuk makan. Aku menunggumu lama sekali sampai sudah selesai berbicara pada mereka, Toto-kun." sergahnya.

Toto? Kenapa aku merasa familiar dengan panggilan ini?

"Berhenti memanggilku dengan panggilan kekanakan itu." ujarnya dengan suara datar dan berat. Darahku berdesir mendengarnya, suaranya bahkan cara bicaranya seperti Ayato. Ia lelaki yang kukira Ayato tadi.

Hah... pikir apa aku. Ini dunia mimpi, 'kan? Hatsumi dan Eiji bisa saja benar, tapi meski di mimpi, aku harus sadar Ayato sudah tidak ada. Penampilannya memang persis seperti Ayato. Aish, aish! Tidak, dia bukan Ayato, mungkin dia hanya kembaran jauhnya.

"Ah, Nona siapa namamu? Aku Hasegawa Eiji, dan ini temanku Ryoma Ayato. Toto, iniㅡ"

"Humph- UHUK!" Aku tersedak.

Dunia mimpi apa ini?! Lelaki yang tadi kukira Ayato benar-benar Ayato. Aku berusaha untuk tidak gila, tapi mimpi ini mengarahkanku untuk mengkhayal.

Tanganku berusaha menggapai minuman yang jauh dari tempatku. Kemudian, seseorang mendorong gelas minumanku ke dekat tanganku. Lelaki itu, Ayato-ku, dia yang memberikanku minumanku.

Perhatian ini... perhatian yang selalu dia berikan. Apakah semesta sedang bercanda denganku? Aku sudah cukup gila dengan kepergiannya, aku sudah hampir gila mencoba merelakannya. Semudah ini aku kembali merindukannya.

"Eh, adik kelas, kau tidak apa-apa?" tanya Eiji.

Aku memberi isyarat 'OK', menandakan aku tidak apa-apa. Kulihat Ayato menatap aku dan Hatsumi bergantian kemudian berakhir pada Eiji.

"Toto-kun, ini adik kelas yang tadi pagi bertemu denganku. Suzumi Yukiko." Eiji mengenalkanku pada Ayato.

"Senang bertemu kakak senior." sapaku canggung, disertai dengan senyum manis.

"Ah, aku Mai Hatsumi. Senang mengenalmu, kakak senior." ucap Hatsumi.

"Adik kelas, boleh kami duduk di sini?" tanya Eiji ramah.

"Silahkan, kakak senior." Hatsumi menggeser duduknya, yang segera ditempati oleh Eiji. Sementara Ayato duduk di sebelahku.

Eiji dengan guyonannya sukses membuat suasana di meja makan itu menjadi menyenangkan. Aku dan Hatsumi beberapa kali tertawa karenanya.

"Yuki...ko." gumam Ayato di sebelahku. Ia bergumam dengan sangat pelan, tapi aku bisa mendengarnya.

"Ya, Kakak Senior?" tanyaku, berusaha sopan.

"Yuki ㅡ ARGH! Kepalaku!" erang Ayato.

"Ayaㅡ Kakak senior!" Aku bahkan hampir menyebut namanya.

Aku mencoba membantunya tetapi, aku terkejut saat ia menepisku kasar.

"Jangan sentuh aku." Ia menatapku tajam, seakan aku adalah penyebab sakitnya.

Wajahnya pucat pasi, tampak dari rautnya ia sedang menahan sakit yang luar biasa.

"Ayato, hey, kenapa kau?!" tanya Eiji panik.

"Bisakah kau berhenti bertanya?" Ayato menggeram.

Eiji segera memapah Ayato.

"Aku permisi ke UKS, adik kelas." Eiji tersenyum sekilas kemudian fokus memapah Ayato ke UKS.

Hatsumi menatapku bingung sekaligus iba pada Ayato, tampak terkejut terhadap apa yang terjadi.

Ayato... Ayato, kenapa denganmu? Kuharap kau tidak apa-apa. Katakanlah ini dunia mimpiku. Kau sudah tiada di dunia asliku, setidaknya aku tak ingin kehilanganmu di dunia mimpi ini.