"Dia sudah pergi," bisik Henny pada Nuning dan Hargus.
Berhubung lampu ruang tamu dipadamkan, ketiganya dapat mengawasi si penguntit dari dalam rumah.
"Siapa dia? Buat apa dia menguntit Mbak Henny?" tanya Nuning, masih dengan berbisik-bisik.
"Orang jahat." Hargus berkata singkat tapi padat.
"Hah? Dia sudah jahat pada Mbak Henny? Apa yang dilakukannya??" tanya Nuning was-was.
Henny beranjak sambil menarik tangan Nuning. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting dia sekarang sudah pergi," tukasnya.
"Tapi ... tapi kita harus tetap hati-hati, apalagi dia sudah tahu rumah ini," ucap Nuning.
"Tentu saja, sejak saat ini kita harus hati-hati," kata Hargus setuju.
"Jadi kita harus bagaimana, Kak?" tanya Nuning pada Hargus.
"Kunci pintu dan jangan terima tamu orang yang tak dikenal," jawab Hargus.
"Itu saja?" Nunung mencoba terus bercakap-cakap dengan pemuda dingin di depannya itu.
"Hmm, sudah. Besok saja lagi tanyanya. Oh ya, kamu masak apa malam ini? Kami sepertinya lapar," ujar Henny dengan tampilan muka memelas.
"Lho, Mbak Nuning belum makan? Tadi sore bilangnya tak usah masak, karena mau makan malam di luar," ungkap Nuning.
"Makan malamnya nggak jadi, 'kan terus diikuti orang nggak jelas itu," terang Henny.
"Oh gitu. Oke, sekarang mau makan apa?" tanya Nuning.
"Adanya apa?" Henny balik bertanya.
"Telor ada, mie ada ... Mau apa?" tanya Nuning antusias.
"Pastanya masih ada?" tanya Henny sambil tersenyum. Ia merencanakan sesuatu.
"Ada. Mau itu saja?" kata sang pembantu.
"Boleh. Dia suka sekali makan pasta,"ujar Henny sembari mengarahkan padangan pada Hargus.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Pemuda itu balik bertanya, sedikit keheranan.
"Entahlah, aku menebak saja. Ternyata benar, kamu suka pasta," ucap Henny.
"Ya, aku memang suka itu. Mamaku dulu sering memasakkannya untukku," terang Hargus.
"Mama yang mana ini?" tanya Henny, sedikit menggoda.
Hargus tak menjawab. Ia mengalihkan padangan ke arah lain. "Tak usah dijawab sudah paham," gumamnya.
Henny tertawa kecil. "Good boy," ujarnya.
Nuning tampak kebingungan melihat interaksi dua orang di depannya itu.
"Ada apa ini? Sepertinya aku kehilangan gosip terbaru," gerutunya.
"Bukan gosip, sekedar ... ya sekedar lucu saja hidup ini," tanggap Henny.
"Ah sudahlah, aku mau ke dapur dulu," ucap Nuning.
Tak lama tubuhnya menghilang dibalik pintu dapur.
***
Sebagai gadis yang berasal dari pelosok kampung, Nuning termasuk cekatan dalam bekerja. Ia juga dengan mudahnya menangkap pelajaran dari Henny, termasuk mengolah sajian pasta hingga terasa sangat enak.
"Hmm, sempurna," ujar Hargus saat mulai menyuapkan pasta ke dalam mulutnya.
"Apa rasanya masih sama?" tanya Henny. Ia berusaha mengorek keterangan ssbanyak-banyaknya dari pemuda itu.
"Ya, masih sama. Aku takkan lupa," jawabnya.
"Oke, baguslah kalau begitu," ujar Henny.
"Terima kasih," kata Hargus. Bibirnya sedikit mengembang.
Dering telpon terdengar dari telepon genggam Henny. Sekilas dia melihat siapa yang menelponnya. 'Mas Bayu', bisik hatinya.
Henny mengangkat perangkat pintar juga. Langsung saja dia mendengar serentetan pertanyaan dari kakaknya itu.
"Oo dia, cuma karyawanku yang kebetulan lewat." Henny menjelaskan pertanyaan yang seolah memojokkannya. "Sama seperti yang lain, sekedar menginap karena rumahnya jauh," jelas perempuan itu lagi.
Hargus menghentikan makannya. Ia jadi tak enak mendengar Henny didesak keluarganya karena dia berada di sana.
"Tak apa-apa, santai saja. Lanjutkan makannya," bisik Henny.
Mendengar itu, Hargus kembali makan dengan lahap.
Henny segera menutup telpon saat di seberang sana Bayu juga tak bertanya lagi. Hanya saja ia berpesan,'hati-hati'.
Henny tersenyum datar mendengarnya. 'Iya, aku memang harus hati-hati dengan temanmu itu,' batin Henny.
"Mbak Henny kalau sudah selesai teleponnya segera makan. Ingat penyakit lambungnya," ujar sang pembantu itu.
"Iya, iya," jawab Henny sambil menyendok pasta ke dalam piringnya.
"Kak Hargus mau lagi?" tawar Nuning pada pemuda itu saat melihat piringnya sudah bersih dan licin.
"Nggak, terima kasih," jawab Hargus diplomatis.
"Jangan malu-malu, biasa saja di sini. Anggap saja rumah sendiri," ucap Henny.
Hargus diam saja. Ia mengambil ponselnya sendiri.
"Aku kirim pesan dulu untuk keluargaku di rumah, biar mereka tidak cemas," katanya.
"Sure. Tentu saja harus begitu," tanggap Henny.
Perempuan itu cepat menyelesaikan makanannya.
Hargus menunggunya dengan sabar.
Selesai makan malam, Henny menunjukkan kamar yang bisa dipakai oleh Hargus.
Benar saja, kamar di dekat ruang tamu itu memang dirancang khusus untuk tamu.
Hargus masuk dan mengucapkan terima kasih. "Bagus sekali kamar ini, aku jadi agak sungkan," katanya.
"Sudahlah biasa saja. Oke, selamat malam, Hargus. Aku juga mau istirahat," kata Henny sambil berlalu dari tempat itu.
***
Sepeninggal Henny, Hargus langsung merebahkan tubuhnya yang terasa letih. Seharian dia bekerja dan beberapa waktu yang lain harus menyetir.
Matanya terpejam tapi pikirannya belum bisa diam, masih berputar-putar seolah merangkai kepingan puzzle yang sudah berhasil dikumpulkannya.
"Kalau dia anggota komplotan pembunuh itu, esok pasti muncul juga teman-temannya.
Hargus menarik nafas berat.
"Kali ini kami tak akan menyerah pada kalian. Giliran kalian yang akan menerima karma," gumam Hargus.
Lelah berputar-putar dan menganalisa peristiwa demi peristiwa, akhirnya pemuda itu tertidur juga.
Tidur yang nyenyak dan nyaman, sampai ketika lewat dini hari, ia terbangun dengan kaget saat mendengar teriakan dari kamar Henny.
"Haaanss!! Tolong, Hans. Tolong kamiiii...!!!" teriaknya dengan histeris.
Terdengar pintu kamar Nuning berderit dan ia keluar berlari-lari mengetuk pintu kamar Henny untuk membangunkannya.
"Mbak! Kenapa, Mbak? Buka pintu!" ujarnya sambil menggedor-gedor pintu. .
Mendengar hal itu, Hargus berpikiran sesuatu yang tidak baik pasti telah terjadi.
Ia keluar kamar dan menyusul Nuning ke kamar Henny.
"Kenapa dia?" tanyanya dengan mata masih separuh mengantuk. Kacamatanya lupa ia taruh di mana, tak sempat dipakainya.
"Kurang tahu, Kak. Tapi biasanya kalau teriak begitu, dia mimpi buruk lagi," jelas Nuning.
"Oh cuma mimpi buruk, saya kira kenapa," ujar Hargus.
"Bukan begitu, memang sekedar mimpi buruk, tapi kondisi mbak Henny juga benar-benar buruk," jelas Nuning lagi.
Ia kembali menggedor pintu.
"Mbaak! Buka pintunya!!" ucapnya lagi berulang-ulang.
Pintu terbuka, Henny muncul dengan wajah pucat pasi. Setengah menakutkan karena rambutnya yang panjang acak-acakan. Dan dia ... menangis.
"Ka-kamu, temani aku tidur. A-aku takut," gumam Henny masih sesenggukan.
"Iya, iya. Aku temani Mbak Henny.. Memangnya mimpi apalagi sih?" tanya Nuning.
"Mimpi dia ... Hansen. A-aku mau minta tolong. Aku mau dibunuh ... anak-anakku mati di tengah kebakaran, a-aku diperkosa lelaki-lelaki jahat itu ... sakit.. Huhuhu ..."
Tak ada yang dapat dilakukan Nuning selain mempererat pelukannya.
"Sudah, Mbak. Itu 'kan cuma mimpi. Bunga tidur saja. Sekarang kita di sini, tidak ada apa-apa. Tenang ya," katanya.
"Dia ... Dia ... Aku lihat dia jatuh tersungkur di ujung pedang." Henny menangis lagi.
***
"Ambilkan dia minum air putih," ucap Hargus tenang pada Nuning.
"Air putih?" ulang Nuning.
Hargus mengangguk. "Iya, segelas air putih," katanya.
Nuning melepaskan pelukannya. Perempuan itu segera beranjak ke tempat minuman. Tak ada satu menit, ia sudah kembali lagi. "Minum, Mbak," ucapnya.
Henny menerima segelas air itu dan kemudian meminumnya. Tangisannya mulai reda, kepalanya mulai terasa terang lagi.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Hargus pada Henny yang duduk bersandar di dinding. Ia kelihatan lemas dan kacau sekali.
Henny menggelengkan kepala. "Entahlah. Aku takut, sedih, sakit … tapi tak tahu untuk apa," ucapnya. Pandangan matanya masih kosong.
"Bagaimana rupa lelaki yang kamu lihat ditusuk pedang?" Hargus kembali menodongnya dengan pertanyaan yang tajam.
"Haruskah aku terus mengingat hal seperti itu? Aku hanya ingin hidupku tenang," ungkap Henny lirih.
"Tidak apa-apa. Kita mengingat untuk mengambil pelajaran, lalu kita akan meninggalkannya," jawab Hargus bijaksana. Sekarang ia ikut duduk di samping Henny. Kakinya selonjor dan punggungkan tersandar di dinding.
Nuning mengikuti kedua orang itu duduk di lantai. Meskipun masih mengantuk, ia tak mungkin pergi dari situasi yang aneh itu.
"Sebenarnya ada apa? Aku dari tadi bingung," ungkapnya jujur.
Hargus mengusap wajah dan rambutnya. "Mau saja aku cerita, tapi aku tak yakin kalian mau mempercayaiku," ucapnya.
"Aku sekarang percaya," kata Henny cepat. "Hanya saja aku belum yakin dengan semua perasaan dan pengalamanku ini, apalagi ingatan. Ingatanku tak setajam kamu," ujarnya pada Hargus.
"Tidak apa-apa, tidak usah terlalu dipikirkan. Seperti yang aku bilang saat meminta pekerjaan padamu, aku sebenarnya datang untuk menjagamu." Hargus menatap Henny.
"Apa kau tahu yang seperti ini akan terjadi?" tanya Henny penuh minat. Tangannya mengelap bekas air mata di pipinya.
"Aku memang tak yakin seratus persen, tapi perasaanku kuat mendorongku untuk melakukan ini semua," jelas Hargus.
"Dan sekarang satu persatu kepingan puzzle itu seperti terbuka," simpul Henny.
Hargus mengangguk. "Aku setuju. Mungkin akan semakin banyak kepingan yang terbuka, mengingat lelaki itu ada di sini juga," ujarnya.
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Henny lagi. "Orang yang tadi malam menguntit kita atau yang barusan aku mimpikan?"
"Orang yang ada di mimpimu … dia juga mengalami peristiwa yang sama. Ia juga mengenal orang yang tadi menguntit kita, makanya memori itu muncul dari alam bawah sadarmu," ucap Hargus.
Henny terdiam. "Aku tak sepenuhnya paham, tapi aku coba memahaminya."
"Ya, memang begitu yang sebaiknya kita lakukan. Menjaga diri jangan sampai jatuh ke peristiwa menyakitkan yang sama," tambah Hargus.
"Aku tak tahu apa-apa. Bingung aku dengan kalian," sungut Nuning.
Henny tersenyum nyaris menertawakan Nuning. "Bagus malah tidak tahu dan tidak merasa apa-apa. Aku yang cuma tahu sedikit saja merasa stress, tertekan," ungkapnya.
"Tenang saja, semua itu nanti akan lewat," ucap Hargus.
"Benarkah begitu? Nanti kita bisa melewati semua ini?" Henny seolah menemukan secercah cahaya dari kebuntuan pikirannya.
"Ya, kita akan keluar sama-sama dari masalah ini," janji Hargus.
Henny tersenyum. "Terima kasih, my boy," ucapnya dengan lucu.
Hargus tersenyum kecil, kecil sekali. Seolah memang senyumannya sangat berharga.
"Ehem! Mbak Henny ngomong apaan sih?" tanya Nuning setengah protes majikannya memanggil pemuda itu dengan sebutan yang terlalu akrab.
Henny ketawa. "Dia anakku, kamu jangan salah paham. Apa kamu percaya?" tanyanya pada Nuning.
Tentu saja Nuning melongo, matanya membesar. "Anak? Aku tak percaya," katanya.
"Nah, karena kamu tak percaya, bagaimana aku bisa cerita semuanya? Cukuplah prasangka baikmu atas kami," ucap Henny bijak.
"Hmm, iya, iya … aku selalu berpihak pada Mbak Henny kok," jawab Nuning pasrah.
"Ah sudahlah. Masih belum subuh, apa kita tidak mau tidur lagi?" Hargus terlihat mengantuk dan ingin kembali ke kamarnya.
Henny menatap Nuning. "Kamu tadi berjanji tidur menemaniku," ucapnya mengingatkan.
"Iya, iya. Ayo tidur lagi," ujar Nuning sambil mendahului Henny masuk ke kamar. "Aku juga masih ngantuk, mana besok mau ke pasar pagi-pagi," keluhnya.
"Nggak usah ke pasar nggak apa-apa, tidur saja sepuasmu besok," ucap Henny. Ia menyusul masuk.
"Yang benar, Mbak? Halah, pasti besok di suruh-suruh lagi." Nuning masih belum percaya.
"Ya sudah kalau tidak percaya, sudah diam. Kita tidur," ujar Henny. Tangannya terulur hendak mematikan lampu tapi diurungkannya.
"Biar menyala sajalah, biar tidak mimpi buruk lagi," gumamnya.
Nuning tak menanggapi. Perempuan itu sudah lelap di atas kasur.