webnovel
avataravatar

2. Orangtua Baru

Bukan tanpa alasan Edmund merasa ketakutan setiap kali Kara menakut-nakutinya. Dia selalu mendapatkan mimpi buruk setiap kali Kara bercerita tentang legenda-legenda dan cerita-cerita seram yang entah dimana didapatkan Kara.

Selesai mandi dan bersiap, Edmund kembali mengetuk pintu kamar Kara. "Edmund, mau bahkan tidak membiarkan aku berhias dengan tenang," gerutu Kata.

Edmund tentu saja langsung tertawa dan mengacak-acak rambut bob pendek milik Kara. Dia tak pernah melihat Kara berhias sekalipun. Bagaimana mungkin Kara mengatakan kalau dia ingin berdandan?

"Tak akan ada bedanya, ikut denganku," ujar Edmund. Dia menarik tangan Kara. Gadis itu hanya bisa mengikuti langkah Edmund yang terburu-buru. Kara melihat kamera polaroid yang dibawa Edmund di lehernya. Sedikit banyaknya, Kara tahu apa yang ingin dicari oleh anak itu.

Edmund mengajak Kara ke halaman samping bangunan panti asuhan itu. Dia masih saja menyeret Kara menuju Pohon Oak di halaman samping. "Kita naik," ujarnya pada Kara sambil menunjuk rumah pohon yang sekarang ada di atas mereka.

"Edmund, kita terlalu tua untuk rumah pohon itu sekarang," ujar Kara. Kara hanya bisa terpana melihat Edmund yang sudah mulai memanjatnya.

Rumah pohon itu sudah ada sejak mereka kecil. Kara dan Edmund memang termasuk anak-anak tahun pertama yang diasuh oleh Helga dan suaminya Orvar. Mereka baru saja mendapatkan izin membuka panti asuhan ketika Kara dan Edmund ditinggalkan di tempat itu.

Pada masa kecil mereka dulu, rumah pohon itu adalah tempat persembunyian mereka berdua. Seiring mereka beranjak remaja, mereka sudah jarang naik ke atas rumah pohon itu kecuali untuk memeriksa anak-anak lain ketika senja mulai datang.

"Naiklah kemari, cepat. Mungkin kita tak punya banyak waktu!" Edmund yang sudah sampai di atas memandang Kata yang masih malas menjejakkan kakinya di anak tangga pertama.

"Baiklah, baiklah, kau memang ribut sekali," omel Kara. Dia tentu saja tetap menuruti Edmund. Kara sadar kalau Edmund mungkin ingin mengingat semua memori dan kenangan mereka tentang tempat itu.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, hah?" ujar Kara. Tubuh mereka berdua sudah lebih tinggi dibandingkan ruangan rumah pohon itu sehingga mereka harus membungkuk.

"Duduk disini, aku akan mengambil foto kita berdua disini," ujar Edmund. Tebakan Kara tentu saja benar, Edmund membutuhkan foto sebagai kenang-kenangan tempat mereka dibesarkan.

Kara tak punya pilihan lain selain menuruti Edmund. Lebih menurut pada permintaan Edmund akan lebih baik, semuanya akan berlangsung lebih cepat. Kara duduk di samping Edmund dan menatap kamera.

"Katakan, 'cheese'," ujar Edmund, senyumnya sudah mengembang lebih dulu sembari menghadapkan kamera ke wajah mereka berdua.

"Apa itu 'cheese' dan mengapa kita harus mengatakannya?" tanya Kara dengan wajah lugu. Dia menatap Edmund dengan kerutan di keningnya.

"Hey, kau ini hidup di abad keberapa? Kau benar-benar tidak kekinian. Itu adalah formula dari fotografer untuk menciptakan senyuman natural," ujar Edmund menjelaskan.

"Kau bisa menyuruhku tersenyum saja." Kara kemudian memiringkan sedikit wajahnya dan tersenyum manis.

Klik! Splash!

Edmund memencet tombol kamera, sesaat setelahnya selembar foto keluar dari kamera polaroid yang dipegang Edmund. Dia langsung mengibaskan foto itu, tak sabar menanti hasil jadinya. Sementara Kara duduk memandang seluruh area bangunan panti asuhan tersebut.

Bangunan rumah dua lantai dengan cat warna merah maroon dengan pintu dan jendela putih itu tampak cantik di bawah matahari musim panas. Kara menarik nafas panjang, mungkin saja dia akan segera merindukan tempat ini nanti. Terlebih Nyonya Helga dan Tuan Orvar yang telah membesarkannya seperti anak mereka sendiri.

Kara melirik pada Edmund yang masih sibuk dengan aktivitas memotretnya. Sejenak kemudian mata Kara membesar melihat sebuah mobil masuk ke dalam gerbang. "Edmund, lihat! Mungkin mereka sudah datang," seru Kara.

Kara menarik tangan Edmund agar berhenti dengan segara kegiatannya dan ikut memperhatikan. Tentu saja dia berhasil menarik perhatian Edmund. Pemuda itu langsung merunduk di samping Kara, memperhatikan mobil hitam yang sekarang berhenti tak jauh dari pintu utama bangunan rumah utama.

Seorang lelaki tua berjenggot putih dan seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal nan menawan turun dari mobil tersebut. Lelaki itu mengenakan jas berwarna putih dilengkapi tongkat dan topi fedora, sementara yang perempuan mengenakan baju berwarna hitam legam dengan model klasik.

"Apakah mereka ayah dan ibu baru kita?" tanya Edmund. Pertanyaan itu membuat mereka berdua tertawa. Edmund mengucapkannya seolah mereka berdua sedang mendapatkan hadiah baru.

"Pantas saja mereka mengambil kita, lelaki itu terlalu tua untuk mengasuh anak sebesar Jena dan Tianor," lanjut Edmund. Jena dan Tianor adalah anak paling kecil yang ada di panti tersebut, usia mereka masih terhitung bulan.

"Sebelum kau menambah lagi asumsimu tentang orangtua baru kita, sebaiknya kita turun dan segera masuk. Helga pasti akan segera mencari kita," ujar Kara. Dia sudah mulai turun dari tangga rumah pohon. Kali ini Edmund yang harus menurut padanya.

Sampai di bawah, mereka segera berlari ke arah pintu samping. "Sssttt, jangan ribut. Kalau kita ribut, sama saja kita tengah mempermalukan Nyonya Helga," bisik Kara pada Edmund ketika mereka sudah berjalan ke selasar menuju ke tangga. Dari selasar tersebut, Kara dan Edmund bisa mendengar suara Nyonya Helga yang berbicara dengan kedua orang itu.

"Terimakasih sudah merawat mereka berdua dengan baik selama delapan belas tahun ini, Helga," ujar suara perempuan itu.

"Apapun untuk kepentingan Halsgrof dan demi kebaikan masa depan mereka," jawab Helga.

Pernyataan Helga memberikan pertanyaan di pikiran Kara dan Edmund. Mereka saling berpandangan. "Halsgrof?" bisik Kara. Raut wajahnya tampak ingin tahu. Kara menarik tangan Edmund, memberikan isyarat agar mereka berdua menepi di dinding, mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut.

"Kara, apa kau tahu tentang Halsgrof?" tanya Edmund sambil berbisik di belakang Kara.

"Tentu saja tidak," jawab Kara cepat, sekedar ingin membuat Edmund diam dan tak mengganggu kegiatan mereka menguping pembicaraan. Kara ingin mendengar seluruh pembicaraan antara Nyonya Helga dan kedua orang tua baru mereka.

"Ini tak baik, kita tidak boleh mencuri dengar pembicaraan orang tua." Edmund mencoba memperingatkan.

Kara tentu saja tak mengindahkan peringatan Edmund. "Kau bisa tutup mulutmu dulu?" sentak Kara. Bagaimanapun kasih sayang Nyonya Helga kepada mereka, Kara tetap saja tidak bisa terlalu percaya pada orang lain. Kara sendiri tak pernah bisa mengerti mengapa dirinya selalu diliputi perasaan tidak aman.

Edmund tetap tak mau menerima. Pandangan matanya menghakimi Kara, seolah gadis itu sedang mengajaknya melakukan hal yang tercela. Seolah tak punya pilihan, Edmund berdiri berkacak pinggang di belakang Kara.

Baru saya Edmund akan menarik Kara, kata-kata Nyonya Helga kembali membuat mereka berdua terdiam.

"Terutama untuk Kara. Kalian benar-benar harus mengupayakan yang terbaik untuknya. Dengan kekuatan sebesar itu, namun disertai luka yang juga begitu dalam ... Kara benar-benar harus jatuh di tangan yang tepat," ujar Helga. Edmund kembali merunduk, sekarang dia tahu, Kara tak akan tinggal diam. Kara selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri.