webnovel

15 - Poison

"Ingat, Nona Muda Helia," ucap kepala pelayan wanita di hadapan sebuah pintu yang menjulang. "Yang Mulia Pangeran adalah pribadi yang dingin dan tidak berperasaan. Anda harus mengingatnya."

Tanpa menunggu balasan gadis kecil di sampingnya. Kepala pelayan langsung membuka pintu.

"Yang Mulia Pangeran, perkenalkan, beliau adalah Nona Muda Helia Floral."

Kepala pelayan wanita yang memiliki raut wajah tegas dan garis tanda penuaan memanggil Pangeran yang duduk di atas kusen jendela.

"Dan tolong turunkan tubuh Anda dari jendela, Yang Mulia. Anda harus menunjukkan martabat Anda sebagai pangeran."

"Lagipula aku bukan pangeran sungguhan, Nevada."

Nevada, kepala pelayan wanita di Istana Jersville, tetap mempertahankan sorot wajahnya yang tegas.

"Anda merupakan pangeran di sini. Tolong jaga kehormatan Anda."

"Terserah."

Kemudian tiba-tiba, seorang gadis mungil, yang tinggi tubuhnya tidak lebih dari satu meter mengintip dari balik tubuh Kepala Pelayan.

"Nevada, bawa keluar dia. Aku tidak membutuhkannya," ujar sang Pangeran tanpa repot-repot menatap tamu yang dibawa Kepala Pelayan.

"Tidak bisa," tegas Kepala Pelayan, Nevada. "Saya sudah diberi tahu agar Nona Helia menjadi teman bermain Anda, Yang Mulia Pangeran."

Sosok itu mendengus kesal. Kemudian, ketika laki-laki yang mendekati usia remaja itu menoleh sambil menampakan iris safir yang menawan, waktu seakan dibekukan bagi Helia.

Helia membulatkan mata. Di hadapannya, Helia yakin kalau yang dia lihat bukanlah manusia, melainkan malaikat. Sebuah porselen memabukkan yang indah, mengirimkan sensasi kejut di hatinya. Sebuah perasaan kagum.

Lihat saja. Kanvas sempurna di wajahnya begitu menawan dengan tatanan mata, hidung, dan bibir yang menakjubkan. Helaian-helaian abu keperakan itu dipadukan dengan iris berwarna safir yang menenangkan, layaknya burung beterbangan di angkasa yang lepas.

Helia tersadar lalu melakukan salam untuk menyapa keluarga kerajaan.

"Salam Yang Mulia Pangeran Allan Teratia," ujar Helia dengan anggun dan etiket yang sempurna. "Perkenalkan, nama saya adalah Helia Scarlett Floral, putri dari Duke Holland Floral. Merupakan sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda secara langsung seperti ini."

"He?" Allan menaikkan sebelah alisnya, terkesan. "Etiket yang sempurna."

"Saya merasa terhormat atas pujian Anda."

"Kamu bilang, kamu putri dari Duke Holland?" Allan turun dari kusen pintu dan melangkahkan kakinya untuk mendekati gadis yang mengenakan gaun berwarna hijau.

"Anda benar, Yang Mulia Pangeran."

"Oh." Tangan Allan naik, dia meraih helaian rambut hitam Helia dan mengelusnya. "Rambut hitam." Lalu melirik iris mata Helia. "Mata merah khas Keluarga Floral."

"Yang Mulia?" Helia sedikit memiringkan kepala, tetapi langsung menegakkannya.

"Berapa usiamu?"

Pertanyaan tidak terduga dari Allan membuat Helia kelabakan. "Sembilan tahun, Yang Mulia."

Allan tersenyum miring. "Usiaku empat belas tahun."

"Ah, terima kasih sudah memberi tahu saya."

"Nevada, keluar dari sini." Allan menggerakkan tangannya sebagai kode agar kepala pelayan keluar.

Nevada membungkuk singkat dan keluar dari ruang tengah Istana.

"Kau." Allan menunjuk Helia. "Duduk."

Helia menurut, dia duduk di atas sofa beludru yang empuk.

Di atas meja pula, sudah terhidang camilan manis dan teh yang baru saja diantar oleh beberapa pelayan kemari.

"Minum tehmu, tapi jangan sentuh kuenya," kata Allan.

Helia mengerjap, tetapi hanya mengangguk santun. Tangannya menarik cangkir teh di atas meja dan meneguknya anggun.

"Kau ke sini untuk menjadi teman bermainku?" tanya Allan, dia menopang dagunya dengan telapak tangan.

"Itu benar, Yang Mulia Pangeran."

"Oh. Yang Mulia Raja, kan?"

"Jika yang Anda maksud dengan Yang Mulia Raja yang mengirim saya untuk menjadi teman bermain Anda, itu benar."

"Oh. Sudah kuduga."

Lalu hening. Allan hanya menatap hidangan kue manis yang tersaji di atas meja.

Atensinya lalu kembali pada gadis sembilan tahun yang duduk di hadapannya.

Helia Scarlett Floral, putri bungsu dari Duke Floral. Secara undang-undanh, Helia merupakan perempuan yang paling terhormat setelah keluarga kerajaan. Hal itu tentu membuat Helia—anggap saja begitu—memiliki kekuasaan. Kalau pun tidak, orang-orang akan tetap menghormati putri Duke.

"Yang Mulia Pangeran? Apa ada yang salah?" Helia mengerjap ketika Allan hanya menatap Helia seolah mengobservasi.

Allan terkekeh kecil. "Tidak. Tidak ada yang salah."

Allan mengangkat cangkir teh. "Apa kamu yakin mau menjadi teman bermain bagi anak haram sepertiku?"

Helia tetap mempertahankan ekspresinya. "Tentu saja, Yang Mulia. Menjadi teman bermain Anda merupakan sebuah kehormatan besar bagi saya."

"Kamu pandai bicara."

Tak.

Allan meletakkan cangkir di atas tatakan.

"Kalau begitu. Katakan padaku semua tentangmu."

"Tentang saya?"

"Iya. Makanan, warna, jenis teh, perhiasan, butik favorit. Katakan saja semuanya padaku, termasuk hal yang kamu benci."

"Mengapa, Yang Mulia?"

Allan hanya tersenyum miring. "Agar aku bisa mengenalmu lebih baik."

Helia mengerjap. Namun, sesaat kemudian, wajahnya bersinar. Kedua mata merah tersebut menampilkan sinar antusias.

Helia lalu membuka bibirnya.

***

Allan melirik Helia yang membuka bukunya. Dilihat dari sampul buku berwarna cokelat, Allan yakin kalau gadis berusia sembilan tahun itu membaca buku sejarah kerajaan dalam bahasa asing.

"Apa itu menarik?" tanya Allan. Dia meraih cangkir teh di atas meja.

Terbilang sudah satu minggu semenjak pertemuan pertama mereka. Dan Helia dengan rutin tanpa absen selalu mampir ke Istana Jersville, yaitu istana untuk para selir yang berasal dari rakyat biasa atau kasta bangsawan yang paling rendah. Letaknya juga sangat jauh dari Istana pusat dan utama. Akan tetapi, istana ini digunakan oleh Allan semenjak usianya sepuluh tahun. Lebih tepatnya, setelah diketahui bahwa terdapat anak haram dari raja Teratia saat ini.

Allan diketahui berasal dari hubungan tidak sah antara raja dan pelayan. Namun, sosok Allan yang sangat identik dengan raja membuat raja memutuskan untuk menyiapkan istana Jersville sebagai tempat tinggal Allan. Allan kemudian meninggalkan ibunya yang merupakan putri Baron. Pada akhirnya, ibunya meninggal karena sakit.

Helia menatap Allan. "Saya pikir ini cukup menarik, Yang Mulia Pangeran. Saya cukup menyukai sejarah kerajaan dan saya—"

"Allan," potong Allan dengan santai. Dia mengambil kue kering di atas meja dan mengunyahnya dengan santai.

"Maaf, Yang Mulia?"

"Panggil aku Allan saja. Tidak perlu Yang Mulia atau Pangeran. Itu menyebalkan."

"Mengapa? Bukankah panggilan tersebut menunjukkan bahwa saya menghormati Anda?"

Allan mendengus. "Menghormati anak haram dari raja? Jangan buat aku tertawa. Sampai sekarang juga, Louise tidak pernah menengokku. Aku hanya bertemu dengannya satu kali."

Kedua mata Helia melebar ketika Allan memanggil raja mereka dengan nama langsung tanpa perlu embel-embel. Helia melirik sekeliling, tidak ada pelayan yang mendengar. Lalu menghela napas lega.

"Kenapa denganmu?" tanya Allan, masih mengunyah kue kering.

"Tidak. Hanya saja, memanggil Yang Mulia Raja dengan nama beliau sangat bertolak belakang dengan norma dan etiket."

Allan menghela napas. "Kamu menghormati bajingan itu?"

Helia tersentak lagi. "Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia Pangeran. Akan tetapi, saya ingin memeringati Anda untuk tidak memanggil Yang Mulia Raja dengan ucapan tidak senonoh seperti itu."

Allan tertawa kecil ketika melihat ekspresi tegas Helia.

"Coba tebak, ada berapa pangeran di Teratia?"

Helia mengernyit, tetapi menjawab lugas, "Ada enam, termasuk Anda."

"Tidak, sebenarnya ada dua belas. Enam lainnya, tidak, tujuh denganku adalah anak haram. Mereka tidak diumumkan pada khalayak karena hal itu hanya akan membuat citra raja di mata rakyat menurun dengan tajam."

Terdengar bunyi kue yang dikunyah sebelum laki-laki itu membuka mulutnya lagi.

Allan mengabaikan eskpresi terkejut Helia.

"Sekarang," lanjut Allan. "Ada berapa putri di Teratia?"

"Dua ...?"

"Ada lima. Tentu tiga putri lainnya tidak diumumkan pada publik karena mereka anak haram." Allan mengangkat bahu, dia meneguk teh yang sudah setengah dingin. "Seperti yang kamu tahu. Louise adalah pria bajingan yang melecehkan banyak wanita. Aku tahu dia juga melakukan tindakan korupsi berupa miliaran tera, menggelapkan dana masyarakat untuk kepentingan pribadi, dan dia juga kan yang menyebabkan Teratia menjadi musuh Magnolia? Louise tidak cerdas, dia bodoh. Aku tidak tahu caranya naik tahta, tapi dia memang bodoh."

Helia mengerjap. "Bagaimana Anda bisa—"

"Bagaimana aku bisa tahu semua itu?" Allan menyandarkan punggungnya di sofa beludru. "Aku mengeluarkan banyak uang untuk ini. Dana untuk Istana Jersville tidak kugunakan untuk kemewahan, sebaliknya, aku menggunakannya untuk informasi. Sebagai senjata."

Jeda.

"Jika aku tidak beruntung, aku pasti tidak akan diumumkan pada publik seperti anak haram lainnya. Namun, aku sangat identik dengan Louise, itulah sebabnya aku menjadi Pangeran. Alasannya sederhana. Dia tidak mau orang-orang mengetahui kalau ada anak yang mirip dengannya, berkeliling negeri dengan menyandang gelar anak tidak sah. Hal itu akan memperburuk citra dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadapnya."

Allan memberi jeda dengan meneguk teh hingga tandas.

"Kamu tahu ada berapa pangeran yang diumumkan pada publik?" Allan melirik Helia. "Enam, termasuk aku. Apa ini tidak gawat? Bagaimana dengan tahta? Karena kamu juga tahu sendiri. Tahta diwariskan dengan melihat kelayakan si calon penerus tahta. Kamu tidak bisa menjadi raja meski kamu anak pertama. Makanya, banyak persaingan secara terang-terangan atau bawah tanah. Seperti trik murahan ini."

Allan meraih kukis di atas meja, menggoyangkannya di udara, lalu mengunyahnya.

"Yang Mulia ...?" Helia terkejut, kedua bola matanya membulat. Selain cerdas, Helia juga cukup peka.

Allan menyeringai. "Ya, ada racun di sini. Makanya, aku tidak memperbolehkanmu untuk makan kue. Kalau kamu memakannya, kamu bisa mati."

"Tapi bagaimana dengan Anda?!" Helia meletakkan bukunya di atas meja dengan kasar. "Bukankah Anda juga sama saja? Bagaimana keadaan tubuh Anda?"

Allan kini mengerjap, dahinya menampilkan garis kerutan. "Kamu khawatir?"

"Apa? Tentu saja saya khawatir! Yang Mulia, racun itu berbahaya. Anda tidak bisa mengonsumsinya dengan bebas seperti ini!"

Allan terkekeh kecil, lalu melirik kue di atas meja. "Aneh sekali."

"Aneh, Yang Mulia?"

"Ini pertama kalinya ada orang yang khawatir padaku. Ibuku bahkan tidak pernah mengkhawatirkanku. Setelah dilahirkan, aku dibesarkan pelayan. Kakekku, Baron Poluchka, bahkan mengirimku racun setiap hari agar aku mati. Dan berhasil, aku nyaris mati. Tapi sayangnya, aku selamat. Lalu, seluruh pelayan di Istana ini adalah orang milik pangeran pertama dan kedua, mereka mengirim racun setiap hari. Sedikit demi sedikit. Berharap aku mati agar tahta mereka tidak direbut. Dan aku mengikuti permainan mereka dengan mengonsumsi racun ini. Bukankah ini menyenangkan? Karena sudah terbiasa dengan racun, kekebalan tubuhku meningkat. Racun murahan seperti ini tidak akan berbahaya bagiku."

Helia menggigit bibir.

"Mengapa Anda memberi tahu saya ini?"

Allan mengambil kue kering lagi, tetapi tangan Helia menahannya.

Allan tersenyum kecil, urung mengambil kue kering. "Entah, ya. Kenapa aku memberitahumu ini, ya?"

Allan mengembuskan napas. "Mungkin karena kamu tiba-tiba muncul, lalu mau menjadi teman bermainku."

Helia rasanya melihat sesuatu yang sangat indah dalam senyuman terbalut cahaya luna, mirip sekali. Purnama yang gelap, kelam, tetapi sekaligus lembut dan menyenangkan.

Degup jantungnya meledak. Usianya sembilan tahun. Dan Helia mulai merasakan jatuh cinta. Namun, gadis kecil itu belum tahu perasaan mengerikan apa yang akan mengejarnya setiap saat di masa depan.

***

writer's corner:

holaaa! masuk arc masa lalu Allan dan Helia hihi. Kamu menikmati ini? Kalau iya, nggak ada salahnya dengan vote dan komentar, ya! Sekalian menghargai penulis <3! Seeyaa!

26 Juli 2022