webnovel

living in a nightmare

Waktu kecil kita sangat mudah menyuarakan mimpi kita. Namun, seiring berjalannya waktu kita sadar akan arti dari sebuah mimpi tersebut dan keadaan itulah yang menuntut kita untuk lebih memahami diri sendiri. Mimpi Ve hanya satu ketika dia mulai menginjak umur belasan tahun: ingin hidup damai dan normal tanpa tekanan dari pihak manapun. Namun, tuhan belum mengabulkan mimpi tersebut, bukan kebahagiaan dan tawa yang menghiasi harinya justru hari-hari Ve bertambah buruk setiap hari. Hingga suatu hari takdir mempertemukannya dengan Elios, laki-laki yang memiliki senyum secerah mentari dan penuh percaya diri. Bersama Elios dan kedua temannya, Ve merasa diperlakukan sewajarnya walau terkadang diacuhkan. Namun, itu lebih baik daripada mendapat tekanan setiap saat. Ve merasa dirinya lebih hidup dan berwarna bersama mereka walau dia tahu bahwa hari yang buruk akan datang. Petualangan demi petualangan bermunculan di hidup Ve, gadis itu tumbuh menjadi lebih pemberani dan percaya diri. Namun, saat kepercayaan dirinya mulai berkembang bencana yang memukul hati datang menghujam. Dunia mimpi dan kenyataan bagaikan jebakan untuk Ve dan Ve harus memilih sebuah pilihan sulit, akankah dia memilih dunia mimpi yang penuh fantasi untuk ditinggali ataukah kembali ke dunia asalnya dan mengejar mimpi yang sempat tertunda? Apa mimpi Ve yang sempat ia tunda? Dan apakah hidupnya baik-baik saja atau dia hanya berada dalam khayalan semu?

Acha_bii · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
2 Chs

Chapter 2 : Dream

Ve diseret menuju ke tengah pertarungan sengit tersebut, Ve yang semakin ketakutan hanya bisa menuruti perintah dari orang dibelakangnya.

"Hentikan atau temanmu akan mati!" seru seseorang di belakang Ve.

"Aku bukan...." perkataan Ve terpotong karena pisau yang menempel di leher Ve.

Keringat membasahi dahi Ve, tubuhnya bergetar hebat dan telapak tangannya mulai berkeringat, hal biasa yang terjadi saat Ve merasa cemas dan takut.

"Apa-apaan ini? aku bahkan tidak mengenal mereka berdua." batin Ve.

Mereka berdua menatap Ve dan tajam seolah Ve adalah pengganggu yang harus dimusnahkan. Namun, pemilik pedang hitam itu terkekeh pelan.

"trik licik seperti biasanya, kali ini siapa yang kamu sandera?" tanyanya dengan senyum miring.

"Sedari awal aku mengetahui kalau kamu tidak datang seorang diri, Rizam." balas pemilik pedang kristal.

"Namanya Rizam?" tanya Ve dalam hati sambil menatap sosok yang acuh jauh di depannya.

"Tapi aku tidak menyangka kamu datang dengan seorang gadis". Sebuah tatapan mengarah kepada Ve, suaranya yang dalam seolah terekam jelas di kepala Ve. Membuat bulu kuduknya merinding di seluruh tubuhnya.

"Tenang Ve ini hanya mimpi, seperti yang sudah-sudah kamu hanya tinggal memejamkan mata lalu saat kamu buka lagi mata kamu, kamu udah ada di dalam kelas yang berisik." batin Ve sambil menerapkan apa yang dia pikirkan. Namun, nihil berkali-kali Ve melakukannya dia masih berada di tempat yang sama dengan pisau yang menempel di leher.

"Pertama, jangan sebut namaku dengan mulut kotormu itu. Kedua...." pemilik pedang hitam yang memiliki nama Rizam melirik Ve dan tanpa sadar mereka bertatapan.

"Dia bukan temanku." Lanjut Rizam setelah memutuskan kontak mata dengan Ve.

"Barusan dia menatapku." batin Ve, Ve merasa mati kutu dengan posisi dirinya saat ini, bahkan dia kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri.

"Benarkah?" tanya orang dibelakang Ve, Ve merasakan pisau itu mulai menekan kulitnya perlahan.

Ve merasakan rasa sakit di bagian lehernya, rasa sakit yang nyata jika harus dibilang mimpi buruk. Ve menatap mata pemilik pedang kristal tapi, laki-laki itu hanya tersenyum miring membuat Ve semakin merinding melihatnya.

Ve beralih menatap Rizam dengan harapan laki-laki itu dapat menolongnya. Namun, jangankan menoleh melirik saja dia enggan.

"Ya... mau bagaimana lagi, Rey lakukan tugasmu!" seru pemilik pedang kristal dengan ekspresi tidak minat.

Laki-laki di belakang Ve tersenyum lalu membisikkan beberapa kata kepada Ve, "Padahal kamu tipe ku. Tapi, aku harus menghabisimu sekarang." Terdengar suara kekehan pelan sebelum dia melanjutkan perkataannya.

"Tapi, jangan khawatir tubuhmu akan aku jaga dengan baik."

Bagaikan tersengat listrik Ve bergidik ngeri mendengar bisikan tersebut, bahkan gadis itu tidak berani membuka mata dan tanpa sadar Ve tidak bernapas selama beberapa detik hingga seseorang menepuk pundaknya keras.

"Kebiasaan tidur mulu kerjaannya!" Seru seseorang yang Ve kenal, suaranya yang nyaring berasa tiada duanya. Bersamaan dengan itu terdengar suara benda jatuh di sampingnya.

Ve membuka mata dengan ragu, dan mendapati Airyn yang tengah menatapnya dengan kedua tangan di pinggang, "aku di kelas." gumam Ve pelan.

"Kamu memang di kelas dan tidak kemana-mana, diajak jajan aja gak mau." Ujar Airyn yang duduk di samping Ve.

Ve memegangi lehernya yang terasa pegal akibat tertidur dengan posisi duduk menyender ke belakang, beruntung dia tidak lupa menutupi wajahnya dengan buku.

"Jadi itu cuma mimpi kan?" batin Ve sambil mengusap keringat yang bercucuran di dahinya.

"Udah jangan tidur lagi, sebentar lagi pelajaran fisika dimulai." Airyn mengguncang tubuh Ve kuat, membuat Ve kembali tersadar dari pikirannya sendiri.

"Iya aku tahu." balas Ve sambil melepas tangan Airyn pada bahunya.

###

Kring...

Suara bel terdengar nyaring membuat siapapun yang berada di sekolah mengetahui bahwa waktu pulang telah tiba, tak sedikit dari mereka yang bergegas keluar kelas lebih dulu terkecuali Ve. Gadis itu masih anteng duduk di kursi kesayangannya bersama Airyn di sampingnya, mereka terbiasa menunggu beberapa saat untuk keluar dari kelas.

"Kamu gak mau pulang?" tanya Airyn yang sudah siap dengan tas punggungnya.

Ve menggangguk, walau jauh di dalam hatinya dia enggan untuk kembali ke rumah.

Mereka berjalan beriringan hingga koridor lantai satu, Ve bertemu dengan Pak Gun seorang guru matematika di sekolahnya.

"Aku duluan aja deh." Bisik Airyn.

"Pak, permisi saya duluan." ucap Airyn kepada Pak Gun sebelum dia berjalan mendahului mereka.

"Baiklah, bapak akan terus terang sekarang." ucap pak Gun dengan sorot mata serius.

Ve menghela napas panjang, sepertinya dia mengetahui arah pembicaraan yang akan berlangsung.

"Sekolah ini membutuhkan kamu sebagai perwakilan sekolah dalam olimpiade matematika tingkat provinsi Vero, bapak tidak memiliki banyak kandidat sekarang." pak Gun membenarkan kaca mata kotaknya.

"Maaf sebelumnya pak, dari kemarin kan saya sudah jawab dengan berat hati saya menolak karena saya tidak mungkin bisa membayar biaya pendaftarannya." Jelas Ve, dia tidak mau meminta uang kepada Audrey dan berakhir dengan amukan sang ibu, Ve tidak ingin menyusahkannya.

"Untuk biaya pendaftaran biar bapak yang bayar, kamu tidak perlu memikirkan itu. Pelatihan akan dilaksanakan mulai besok sepulang sekolah, bapak harap kamu hadir Vero." Ucapan yang terngiang di kepala Ve selama perjalan pulang.

"Aku pulang...."

Ve melepas sepatu dan menaruhnya di rak, Ve melangkahkan kakinya langsung ke lantai dua dimana letak kamarnya berada.

Baru dia menaruh tas di atas meja seseorang membuka pintu kamar Ve dengan kasar, "Ve aku sedang malas mengerjakan soal ini, besok pagi aku ambil ya." Felicya datang dengan sebuah buku tulis.

Falicya melempar buku tersebut ke atas kasur, tanpa melihat Ve gadis itu berbalik kembali menuju pintu.

"Itu pr mu dan itu tugasmu sudah seharusnya kamu yang mengerjakan tugas itu." ucap Ve ketus.

Felicya berbalik, "apa susahnya saling membantu sesama saudara? kalau punya ilmu jangan pelit-pelit." Ucapnya dengan sinis.

Ve menggelengkan kepalanya, dia sudah muak dengan suruhan adiknya setiap saat.

"Aku tidak akan mengerjakannya." Ve mengembalikan buku itu ke dalam kamar Felicya yang berada di depan kamarnya.

"Hei!" seru Felicya dengan kedua mata melotot.

Ve mengabaikannya dan mengunci pintu kamarnya dari dalam, "tidak semua yang kamu inginkan akan kamu dapatkan tuan putri." gumam Ve.

Perlahan dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandangi langit-langit kamarnya yang sengaja dia tempelkan bintang-bintang kecil.

"Sebenernya untuk apa aku hidup?"

Tok...tok...tok....

"Veronica!" Terdengar teriakan dari pintu disertai dengan suara gedoran pintu yang tidak beraturan.

Ve menghela napas, "Iya...."

Setelah pintu itu terbuka Ve dihadapkan dengan omelan Audrey, "kenapa kamu menolak menolong adikmu? apa kamu lupa kalau dia tidak boleh kelelahan?"

"Aku hanya ingin dia mengerjakan tugasnya sendiri, memangnya itu salah?" balas Ve dengan lebih tenang.

"Kamu itu pintar tapi tidak mau mengajarkannya pada adikmu, malah ngunci diri di kamar sedangkan adikmu kesusahan sendiri."

Ve menaikkan alisnya mendengar penjelasan Audrey, "sejak kapan Felicya mau belajar denganku?"

"Dari tadi aku udah minta tolong kamu buat ajarin aku tapi malah dicuekin terus." jawab Felicya dengan penuh penekanan, dia masih memegang buku miliknya.

Ve menggeleng, "tadi jelas-jelas kamu nyuruh aku buat ngerjain. tapi...."

"Cukup!" seru Audrey sekaligus memotong perkataan Ve.

"Ajari adikmu, mamah mau pergi kerja." Setelah mengatakan itu Audrey pergi ke lantai satu dan beberapa menit kemudian terdengar suara pintu pagar yang ditutup.

Felicya tersenyum licik, "Kerjain ya, aku mau buat konten."

Ve menghentakkan kakinya setelah pintu kamar di depannya tertutup, "kenapa aku punya saudara modelan dia?" gumam Ve sambil memasuki kamarnya.